Kelas Menulis

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
13 Februari 2020 17:20 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Fotografierende/Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
(Fotografierende/Pexels)
ADVERTISEMENT
Langit semburat merah. Senja turun.
Ia setengah berlari di trotoar Sudirman. Duh, hampir telat. Kelas segera dimulai. Bosnya yang gahar kurang menoleransi keterlambatan; dan terjebak macet adalah alasan kelewat sepele. Siapa suruh tak beranjak lebih awal?
ADVERTISEMENT
Setiba di lobi gedung, ia melesat menuju lift yang membawanya ke lantai 31—kantor dan rumah keduanya. Ia melangkah lurus menuju ruang kaca, nyaris tersengal-sengal. Ruangan itu penuh. Ia mungkin yang terakhir masuk, dan karenanya jadi tak enak hati. Serasa jadi anak paling bengal. Si bos memandang tajam ke arahnya. Ia tak berani menatap balik.
Ini kelas menulis pertamanya sebagai wartawan; dan kelas pertama berskala besar di kantor itu. Sejak jauh hari para reporter di lapangan mendapat pemberitahuan untuk meninggalkan liputan apa pun saat kelas berlangsung.
Kelas dibagi menjadi dua gelombang supaya aliran berita tak tersendat. Separuh wartawan di kantor itu ikut gelombang pertama, sisanya di gelombang kedua. Ia masuk yang pertama. Di situ, tak semua wartawan baru. Ia salah satu yang paling junior, dan itu mestinya jadi alasan kuat untuk serius memperhatikan materi. Tapi dasar badung, ia malah beberapa kali menahan kuap dan kehilangan konsentrasi. Apa sih yang ia pikirkan saat itu?
ADVERTISEMENT
Banyak. Misalnya, agenda nonton bioskop jam 21.45 malam. Sambil melihat sang guru—yang editor bahasa di media ternama—menuliskan contoh-contoh kalimat efektif dan tak efektif, ia menghitung-hitung waktu tempuh dari kantornya di Menara Standard Chartered ke Grand Indonesia. Memang dekat saja, tapi ia naik kendaraan umum. Durasi jalan kaki juga perlu dihitung. Ia harus lekas kabur begitu kelas bubar. Betul-betul bukan wartawan teladan.
Ketika kelas berakhir, ia bergegas keluar ruangan. Di luar pintu kaca, suara bariton menyapa. “Mau ke mana buru-buru?” Ia terpaksa berhenti sejenak, tersenyum kecut kepada si pemilik suara—bosnya, dan menjawab ala kadarnya, “Ada janji sama teman.”
Si bos mengangguk, dan ia ambil langkah seribu sebelum sapaan lain menghentikannya lagi.
ADVERTISEMENT
Ia adalah aku 12 tahun lalu.
(Startup Stock Photos/Pexels)
Belum lama ini, aku terheran-heran saat tahu bosku yang dulu itu mengambil kelas menulis. “Buat apa?” tanyaku, tak percaya alasan awal yang ia berikan bahwa ia “kerap merasa punya tulisan buruk”. Sepanjang aku mengenalnya, dia tak pernah menulis jelek.
“Kelas itu sangat berguna, loh. Coba deh kamu ikut,” katanya. Aku termakan penasaran, dan mendaftar untuk kelas periode berikutnya.
Aku jadi ingat beberapa waktu lalu saat mengisi kuliah umum di salah satu perguruan tinggi. Kami membahas tentang cara menulis luwes dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saat itu, aku tertawa dalam hati. Bisa-bisanya anak badung yang ikut kelas menulis wartawan dengan ogah-ogahan 12 tahun lalu jadi “dosen tamu” buat anak-anak jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Tapi, terlepas dari kelakuan minusku di masa lalu, aku memang senang menulis. Itu salah satu bidang yang kukuasai cukup baik, meski bukan berarti tulisanku selalu bagus.
Kadang, aku tak puas dengan tulisanku. Ada saja momen ketika aku merasa tulisan itu kurang enak dibaca karena sisipan diksi yang kurang pas atau kalimat yang tak efektif.
Ini contoh tulisanku yang sempat kurombak beberapa kali untuk membuatnya lebih lentur. Padahal cuma cerpen ringan, tapi ternyata tetap butuh upaya untuk memolesnya.
Kalau lagi “kumat” mengutak-atik tulisan begitu, aku bisa membongkarnya berkali-kali sampai merasa betul-betul sreg.
Kebiasaan itu membuatku tersenyum saat membaca postingan Mas Sulak (AS Laksana) yang penggalannya berbunyi, “... jika anda tidak membatasi hasrat melakukan perbaikan, saya perlu mengingatkan, novel anda tidak akan pernah selesai hingga 17 tahun kemudian.”
ADVERTISEMENT
Aku tak sedang bikin novel. Kalimat di atas bisa saja berbunyi, “... jika anda tidak membatasi hasrat melakukan perbaikan, saya perlu mengingatkan, artikel/cerpen anda tidak akan pernah selesai hingga 1 tahun kemudian.”
(Lisa Fotios/Pexels)
“Kenapa kamu masih mau belajar nulis padahal sudah bisa nulis bagus?” tanya seorang rekan sekantor. Giliran aku yang mendapat pertanyaan itu.
Hmm, sebetulnya bagus atau tidak itu relatif. Tergantung selera pembaca. Ada yang cocok dengan model naratif deskriptif yang “menjuntai” panjang-panjang, ada juga yang suka gaya stakato—penuturan pendek-pendek; meminjam istilah musik ketika nada pendek-pendek atau putus-putus mengalun.
Gaya stakato itu, aku rasa, banyak terlihat pada tulisan Dahlan Iskan. Seperti ini misalnya:
Singapura menaikkan bendera oranye. Kemarin. Pertanda wabah virus Wuhan sudah mengancam negara tetangga itu dengan serius.
ADVERTISEMENT
Di Tiongkok sendiri kemarin mencatat rekor: yang bisa disembuhkan mencapai 389 orang. Dalam sehari.
Sudah delapan hari berturut-turut jumlah yang sembuh lebih banyak dari yang meninggal.
Sampai tanggal 30 Januari, yang meninggal terus lebih banyak dari yang sembuh. Hari itu saja yang meninggal 38 orang. Yang sembuh hanya 21 orang.
Apalagi tanggal-tanggal sebelumnya.
Buatku, gaya mana saja bukan soal asal enak dibaca. Tulisan Tio, misal, hampir selalu kusuka. Tio salah satu asredku di kantor. Ia amat berbakat soal tulis-menulis, dan kerap bereksperimen dengan teknik penulisan. Yeah, orang memang punya kelebihan (dan kekurangan) masing-masing. Ini salah satu tulisan Tio:
Yang jelas, keahlian akan terkikis kalau tak diasah. Keterampilan tak akan mekar dengan dipendam. Aliran ilmu akan terhenti bila tak dibagi.
ADVERTISEMENT
Jadi, kalau aku buka kelas menulis untuk saling berbagi, adakah yang kira-kira mau ikut? ;)