Konten dari Pengguna

Lagu Kebangsaan dan Upacara Bendera: Nasionalisme atau Seremoni?

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
25 April 2017 8:22 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lagu Kebangsaan dan Upacara Bendera: Nasionalisme atau Seremoni?
zoom-in-whitePerbesar
Punya akar memberontak sejak kecil. Begitulah satu-dua orang kerabat mengomentari saya yang kala itu masih remaja. Dan saya tak pernah terlalu peduli, sebab secara umum saya merasa masih manis dan penurut, kok.
ADVERTISEMENT
“Memberontak” secara harfiah memiliki arti “melawan” atau “tidak mau menuruti perintah”. Saya, kan, tidak begitu. Seperti biasa, saya orang yang “abu-abu” karena saya tidak percaya dunia ini bisa dilihat dan dibaca sekadar hitam dan putih. It’s bullshit.
Se-bullshit kewajiban mengikuti upacara bendera tiap hari Senin untuk murid sekolah dari Sekolah Dasar, bahkan Taman Kanak-kanak, hingga Sekolah Menengah Atas.
Lagu Kebangsaan dan Upacara Bendera: Nasionalisme atau Seremoni? (1)
zoom-in-whitePerbesar
Buat apa sih upacara? Buat apa sih menjajarkan siswa-siswi dalam deret-deret barisan rapi selama entah 30 menit atau lebih, sampai kadang kaki kaku --termasuk para guru yang menahan pegal berdiri bersama murid-murid mereka.
Coba saya ingat-ingat, apa saja yang dilakukan pada sebuah upacara: mengibarkan Sang Saka Merah Putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, memberi hormat pada bendera, mendengarkan pembacaan Undang-Undang Dasar 1945, beramai-ramai mengucapkan lima sila dalam Pancasila, mendengarkan pidato guru, mendengarkan pengumuman sekolah atau “pameran” murid berprestasi, dan berdoa bersama.
ADVERTISEMENT
Ada yang terlewat pada ingatan saya itu, tidak?
Harus diakui, Orde Baru jenius. Susunan acara dalam upacara Senin itu jadi cara jitu untuk menanamkan ingatan akan lagu kebangsaan dan atribut nasionalisme lain pada jiwa seorang bocah.
Ibarat selembar kertas putih, jiwa bocah-bocah Indonesia sedari dini dilukis dengan tinta merah dan putih.
Lagu Kebangsaan dan Upacara Bendera: Nasionalisme atau Seremoni? (2)
zoom-in-whitePerbesar
Upacara ialah “Perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting.” Contohnya, pada peringatan kemerdekaan Indonesia, pada pelantikan bupati, atau peresmian gedung baru.
Itu arti upacara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Nah, upacara bendera tiap Senin di sekolah-sekolah itu masuk ke kategori perayaan atas peristiwa penting yang mana? Kok rasanya tak setiap pekan ada peristiwa penting yang mesti diperingati atau dirayakan.
ADVERTISEMENT
Atau mungkin ada Undang-Undang atau payung hukum lain yang mengatur tentang kewajiban upacara bendera di sekolah-sekolah tiap hari Senin? Maafkan keterbatasan pengetahuan saya.
Saya sering berpikir, kenapa indoktrinasi atau penanaman mengenai nasionalisme tak dibuat dengan cara yang lebih menyenangkan, sehingga murid sekolah dan guru tak perlu capek-capek berdiri dijemur di lapangan.
Misalnya saja, pengajaran wawasan kebangsaan dilakukan di aula sekolah secara berseri, dengan karpet atau tikar digelar sederhana sebagai tempat duduk para murid, lalu seorang guru bercerita dengan gaya mendongeng tentang sejarah perjuangan para pahlawan bangsa, mengapa mereka mesti dikenang dan dihormati, bagaimana cara konkret melanjutkan perjuangan para pahlawan, bagaimana agar tak terjebak dengan nasionalisme sempit.
Juga tentang riwayat bendera Indonesia kenapa bisa berwarna merah dan putih, narasi terbentuknya UUD 1945 sebagai konstitusi negeri, kisah hidup WR Supratman sang pencipta lagu Indonesia Raya, disusul pemutaran kaset lagu kebangsaan yang mengharukan itu, barulah semua orang berdiri untuk menyanyikannya bersama, dan ditutup dengan dialog antara murid dan guru mengenai materi-materi yang disampaikan tersebut.
ADVERTISEMENT
Asyik dan tidak melelahkan, bukan? Dan bisa jadi, hasilnya akan lebih efektif ketimbang menjemur seluruh murid di lapangan sehingga sebagian dari mereka kehilangan konsentrasi ketika kaki pegal dan malah balik mencerca upacara “sialan” itu --seperti saya misalnya.
Untuk melatih kedisiplinan? Yeah, disiplin di permukaan saja hasilnya seperti yang terjadi pada saya. Tak semua orang cocok dilatih disiplin ala militer --dengan upacara atau baris-berbaris.
Apakah kalau tidak suka upacara lantas dia tidak nasionalis dan cinta bangsa? Lalu cinta bangsa macam mana dulu yang dimaksud? Jangan jadikan nasionalisme sebagai dalih atas kepentingan tertentu.
Maksud saya, siapa berani mengatakan Sukarno tak nasionalis atau Suharto tak nasionalis? Jadi tolong pisahkan soal cinta dan politik. Sekali lagi, hidup ini tak hitam-putih.
ADVERTISEMENT
Cinta bangsa mestinya menjadikan seseorang cinta sesama, membuat kita ringan tangan membantu manusia lain. Intinya: mempersatukan.
Itu pula kan kenapa semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”?
Menumbuhkan cinta bangsa dengan menjemur para murid sekolah sudah jelas gagal dilakukan terhadap saya. Saya menghargai para pahlawan dan mencinta bangsa ini bukan lantaran upacara, tapi karena membaca buku dan mencoba mempelajarinya.
Oke, itu soal upacara. Sekarang soal lagu kebangsaan. Indonesia Raya ciptaan WR Supratman akan dinyanyikan setiap hari di kelas --bukan cuma saat upacara-- sebelum kegiatan belajar-mengajar berlangsung.
Lagu Kebangsaan dan Upacara Bendera: Nasionalisme atau Seremoni? (3)
zoom-in-whitePerbesar
Instruksi menyanyikan Indonesia Raya sebelum kelas dimulai itu tercantum dalam surat edaran untuk kepala dinas pendidikan di berbagai daerah. Tujuannya: untuk memperkuat pembentukan karakter cinta tanah air dan bela negara di dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Entah kenapa, saya malah teringat sepenggal-dua penggal kalimat dalam 1984 karya George Orwell yang kira-kira berbunyi, “Semua orang dalam kelompok itu menyanyikan madah dalam nada rendah, lamban, dan ritmis… Ini semacam himne untuk menghormati kearifan dan keagungan, tapi terutama ini adalah tindakan hipnotis-diri.”
Saya juga teringat novel English karya Wan Gang yang menceritakan tentang seorang anak yang tumbuh pada masa Revolusi Budaya di Xinjiang, wilayah di barat laut China yang berbatasan dengan Tibet-Mongolia dan dihuni mayoritas Muslim Uighur.
Salah satu bagian pada novel itu kira-kira tertulis begini: The room was hot. Mother opened a window. The sound of singing drifted in. It was the girls of the propaganda troupe: We Communists are seeds. The people are our soil. Wherever we go, we must unite with the people. Their song was leisurely… It was like a hymn emanating from heaven.
ADVERTISEMENT
Intinya, saya teringat pada sekelumit kisah yang menyinggung soal lagu yang dijadikan alat propaganda pemerintahan suatu negara.
Apakah Indonesia Raya lagu propaganda? Tentu saja. Semua lagu kebangsaan negara-negara di dunia ini, tanpa kecuali, adalah propaganda.
Propaganda dalam KBBI memiliki arti “Penerangan yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu.”
Propaganda dilakukan oleh siapa saja --penjajah maupun pejuang. Keduanya berupaya meyakinkan publik agar berpihak kepada mereka. Dan lagu Indonesia Raya adalah salah satu alat atau medium untuk menyatukan sebuah bangsa bernama Indonesia, dan tak ada yang salah dengan itu.
Video klip di atas ialah lagu Indonesia Raya versi perdana sebelum diedit oleh Orde Baru. Lirik lengkapnya dipublikasikan pertama kali oleh Sin Po, surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu yang terbit di Hindia Belanda sejak 1910 sampai 1965.
ADVERTISEMENT
Indonesia Raya muncul tahun 1924 dari kreasi WR Supratman yang saat itu masih cukup belia, 21 tahun. Wartawan harian Kaoem Muda yang pandai bermain biola dan kerap bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan itu menggubah Indonesia Raya setelah membaca ajakan sekaligus tantangan bagi ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Tanggal 28 Oktober 1928 saat malam penutupan Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda, Supratman memainkan Indonesia Raya secara instrumental lewat gesekan biolanya. Saat itu, Indonesia Raya belum dinyanyikan lengkap dengan liriknya karena alasan keamanan (itu zaman penjajahan dan lagu kebangsaan sudah pasti tak disukai kolonial).
Lagu Indonesia Raya cepat terkenal, dinyanyikan di tiap kongres partai politik sebagai tekad persatuan bangsa dan kehendak untuk merdeka.
ADVERTISEMENT
Ditarik ke masa kini, terlihat ironi yang menggelikan. Sebab justru lagu partailah, tepatnya Mars Partai Perindo yang katanya ciptaan Liliana Tanoesoedibjo --istri Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo, yang sekarang terus-menerus diputar setiap hari di stasiun televisi milik Hary Tanoe sang politikus pengusaha pemilik MNC Group (Media Nusantara Citra yang terdiri dari RCTI, MNC TV, Global TV, dan lain-lain).
Gara-gara pemutaran lagu Mars Perindo yang masif oleh Hary Tanoe itu, dukungan mengalir agar lagu Indonesia Raya kini dinyanyikan setiap hari di sekolah saat pelajaran hendak dimulai --seperti instruksi Kemendikbud.
“Bahkan kalau perlu, lagu Indonesia Raya diputar setiap waktu, lebih intensif, di seluruh televisi dan radio seperti lagu partai (Perindo),” kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh, yang cemas pamor Indonesia Raya kini kalah dari Mars Perindo.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, anak-anak Indonesia mungkin sekarang lebih hafal lirik dan nada Mars Perindo ketimbang lagu Indonesia Raya, sehingga Indonesia Raya harus kembali diarusutamakan.
Ni’am tidak berlebihan. Saya mendengar beberapa cerita kawan saya di media sosial betapa anak-anak mereka hafal di luar kepala lirik Mars Perindo itu dan ikut menyanyikannya berulang-ulang tanpa sadar, sekadar iseng.
Wajar, sebab Mars Perindo bukannya tak bagus. Iramanya yang sederhana pun membuat lagu itu cukup mudah diingat. Apalagi jika diputar terus-menerus di televisi sehingga alunan Mars Perindo mengambang di udara dan menyatu bersama aktivitas warga di benteng terpenting mereka: rumah.
Lupakan rumah saya. Jelas tak masuk hitungan karena di sini televisi sekadar jadi pajangan tanpa pernah ditonton (saya agak benci televisi).
Lagu Kebangsaan dan Upacara Bendera: Nasionalisme atau Seremoni? (4)
zoom-in-whitePerbesar
Hary Tanoe sang karib Donald Trump sukses menanamkan Mars Perindo ke alam bawah sadar bocah-bocah Indonesia, bahkan sebelum mereka sadar apa itu Perindo. Mirip seperti yang dilakukan pemerintahan negara-negara komunis dunia yang menyusup ke alam pikir rakyat mereka lewat lagu-lagu propaganda patriotik.
ADVERTISEMENT
Maka kekhawatiran akan jatuhnya popularitas Indonesia Raya dapat dipahami. Lagu kebangsaan itu “hanya” dinyanyikan sepekan sekali saat upacara, dan karenanya perlu kampanye masif untuk membuatnya menjadi lagu nomor 1 di Indonesia lagi.
Saya sendiri merasa, menyanyikan lagu Indonesia Raya cukup mengasyikkan ketimbang berdiri setengah jam untuk mengikuti upacara bendera. Saya yakin anak-anak sekolah tak keberatan melakukannya.
But do it the right way. Jangan lagi-lagi, nanti jatuhnya sekadar seremoni dan bukan esensi. Kalau sebatas seremoni sih, percuma.