Mata Bukan Segala

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
26 Februari 2019 8:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Pexels/Victor Freitas
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Pexels/Victor Freitas

Sometimes you cannot believe what you see. You have to believe what you feel.

ADVERTISEMENT
The biggest defect human beings have is our shortsightedness (inability to see things clearly unless they are relatively close to the eyes).
ADVERTISEMENT
Empat belas kata pada baris teratas adalah yang mula-mula tertangkap mata Nadia kala―setelah sekian lama―kembali membuka buku Mitch Albom, Tuesdays with Morrie, yang tergeletak di rak sebelum tuntas terbaca saking tenggelam dalam urusan pekerjaan yang tak henti mengalir bak air bah.
Ucapan tersebut bagi Nadia macam versi lain dari kutipan Murakami favoritnya, “Please remember: things are not what they seem.”
Membaca kalimat itu, Nadia jadi tertegun, seolah kembali diingatkan bahwa mata bukan segala. Ia hanya salah satu indra. Ia melihat, tapi tak merasa.
Nadia nyaris yakin, itu pula alasan kuat kenapa manusia punya “hati”. Sebab gabungan keduanya―mata hati―adalah sebaik-baiknya rasa.
Dan rasa bisa sirna kalau hidup tak punya jeda.
Ilustrasi. Foto: Pexels/Lisa Fotios
“Membaca sama pentingnya dengan menulis. Buku memberikan semacam penawar dahaga akan kedalaman, bahwa kita butuh jeda…”
ADVERTISEMENT
Kalimat itu kembali melayang-layang di benak Nadia, bersama hardikan seorang rekan kepada salah satu anak buahnya yang kurang gairah hidup―“Gue nggak ngerti deh sama loe. Elo nggak baca, elo nggak nonton, terus dari mana elo dapat inspirasi? Padahal kita ini pekerja kreatif yang bertumpu pada gagasan.”
Nadia meringis teringat dampratan yang sebetulnya tak ditujukan buatnya itu. Sungguh, dia tak bakal tahu koleganya itu, Gauri, sedemikian cergas dan cerdas kalau tak sering-sering mengobrol dengannya.
Jika cuma lihat selintas sambil lalu, Gauri bisa terkesan santai dan abai. Tapi cobalah duduk berhadapan dan berbincang tenang dengannya, ia punya banyak pemikiran brilian yang terasah dari pengalaman.
Salah satu nasihat Gauri buat mitra mudanya adalah, “Penting banget membekali diri dengan bacaan, referensi, kecerdasan baca situasi dan karakter orang, biar bisa kasih argumen dan sikap yang jelas.”
ADVERTISEMENT
Nadia sempat bilang padanya, “Loe cocoknya jadi konsultan SDM sih, atau guru Bimbingan Konseling.” Gauri cuma nyengir. Dan cengiran itu bahkan tak sepenuhnya hilang saat ia punya banyak persoalan sekaligus tanggungan di pundaknya, dan pada saat bersamaan anak bungsunya menelepon dari rumah sambil menangis menjerit-jerit entah kenapa.
Melihat dia, Nadia geleng-geleng kepala saja. Bahkan saat marah, Gauri bisa mengendalikan diri dan emosi dengan cukup baik. “Semua ini hanya pekerjaan, bukan soal personal. Santai aja. Selesaiin urusan, selesaiin juga keselnya.”
Bila problem tak juga pergi, atau lebih buruk, berujung komplikasi, paling banter Gauri menarik napas, pasang tampang kalem walau hati meraung-raung, lalu berucap, “Kalau mentok jangan sedih. Nggak semua harus diberesin sendiri. So enaknya loe ikut rapat ya minggu depan. Gue udah bilang loe enak diajak diskusi meski galak”―dan giliran Nadia menghela napas.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan jedanya?
Ilustrasi. (Unsplash/Hernan Sanchez)
“Why it’s so important for me to hear other people’s problems? Don’t I have enough pain and suffering of my own?”
Of course. But giving to other people is what makes you feel alive.
Do the kinds of things that come from the heart. You’ll be overwhelmed with what comes back.
[The Seventh Tuesday, Tuesdays with Morrie]
“Kamu tak peduli soal ini. Kamu kurang perhatian pada apa yang terjadi di dalam,” ucap mantan atasan Nadia kala itu.
Nadia diam saja, tersentil ucapan itu. Dulu, dia memang lebih banyak menghabiskan waktu di luar ruang. Jadi, pikir Nadia diam-diam membela diri, wajar saja ia tak banyak tahu tentang apa yang terjadi di dalam. Lagi pula, apa itu sebegitu penting buatnya?
ADVERTISEMENT
Itu isi kepala Nadia sekitar lima tahun lalu, sewaktu dia punya banyak jeda.
***
Embrace aging. As you grow, you learn more. Aging is not just decay, it’s growth.
If you’ve found meaning in your life, you don’t want to go back. You want to go forward. You want to see more, do more.
Age is not a competitive issue.
[The Seventh Tuesday―still, Tuesdays with Morrie]
“Mereka bicara padamu karena merasa nyaman denganmu. Lihat sisi baiknya. Yang penting komunikasi, moderasi, negosiasi,” kata si pria tua.
Nadia kembali geleng-geleng kepala―kombinasi rasa heran dan lelah yang membuncah.
“Delegasi,” imbuh lelaki itu segera, melihat wajah kusut Nadia.
Bisakah semua saja ia delegasikan supaya jedanya datang?
Ilustrasi. (Vincenzo di Leo/Snapwire Snaps via Pexels)
Everyone is in such a hurry. People haven’t found meaning in their lives, so they’re running all the time looking for it. Then they find those things are empty, too, and they keep running.
ADVERTISEMENT
We are great at small talk, but really listening to someone, how often do we get this anymore?
[The Ninth Tuesday, Tuesdays with Morrie]
“Dengar dulu, semua kan bisa dikomunikasikan,” kata sang konselor.
“Ya tentu bisa, dan aku mendengar―juga hendak membuat orang lain mendengar. Itu namanya komunikasi―juga konsistensi dan persistensi,” kata Nadia tegas. Giliran si konselor menarik napas.
Nadia kadang memang sulit dihadapi. Terlebih bila jedanya pergi.
***
You have to be strong enough to say if the culture doesn’t work, don’t buy it. Create your own.
[Taking Attendance, Tuesdays with Morrie]
“Bikin proposalnya jangan lama-lama, ya. Yang penting kelihatan menarik. Targetnya dalam waktu singkat bisa gaet banyak klien.”
ADVERTISEMENT
Nadia menggeleng tegas, “My project, my rule. And it’s not about quantity, but quality; not just the duration and conclusion, but the operation and progression.”
Nadia tak biasa basa-basi dan bermanis madu. Bicara to the point sudah jadi DNA-nya. Ia sungguh tak melihat faedah dari ucapan berbelit-belit yang bikin pening.
Misal, kenapa harus bilang “Aku minta waktu istirahat sebentar ya karena beberapa pekan belakangan sudah terus-menerus bekerja nyaris tanpa henti sampai sendi-sendiku mau rontok,” kalau bisa bilang “Aku capek, butuh jeda, mau cuti.”
Ilustrasi. (Pexels/Alexandro David)
Make peace with living.
Accept what you are able to do and what you are not able to do. Accept the past as past, without denying it or discarding it. Don't assume that it's too late to get involved.
ADVERTISEMENT
[The Audiovisual, Tuesdays with Morrie]
“Elo masih rutin renang, nggak?” kata seorang kawan kala Nadia berkirim pesan singkat―sembari menyisipkan curahan hati tersamar.
“Masih, tapi biasanya aku berenang 4-5 kali dalam seminggu, sementara minggu ini cuma dua kali karena tak sempat,” jawab Nadia.
“Pantas saja,” ujarnya, seolah tengah menerka kondisi kejiwaan Nadia yang agak semrawut.
Kawannya itu rutin bermeditasi. Ia orang yang tenang. Galen namanya.
Kali pertama Galen menaruh curiga ihwal janggal psikis Nadia ialah saat Nadia dulu bercerita soal pengalamannya terjaga di tengah tidur dan melihat tubuhnya terbaring di kasur sementara ia merasa mengawang horizontal di udara, nyaris menyentuh langit-langit kamar.
Itu masa saat hidup Nadia dipenuhi mimpi buruk. Dan masalahnya, mimpi-mimpi semacam itu belakangan kembali rajin menyerbu. Semisal waktu dia tertidur dengan kepala menelungkup di atas keyboard laptop, atau waktu tubuhnya linu kaku kurang gerak akibat tak menyisihkan waktu untuk berenang (paling tidak, ia harus berenang dua hari sekali agar tetap segar).
ADVERTISEMENT
Buat Nadia, mimpi itu bukan sekadar mimpi. Ia jadi pertanda serius, ada yang sedang tak beres dengannya.
“Ayo jalan-jalan sebentar―yang dekat-dekat saja kalau jadwal padat, kapan sempat?” kata Galen, melempar nada perhatian dan pengertian.
Nadia mengecek kalender, menghitung-hitung kapan bisa mencuri waktu, lalu menggeleng-geleng kepala. Betapa sulit.
Tapi demi jeda yang tak kunjung terbit, ia melingkari salah satu tanggal―dan mencoba berdamai dengan satu tanggal itu alih-alih tiga bahkan 11 sekaligus seperti tiga tahun lalu.
Ilustrasi. Foto: Peter Heeling/Skitterphoto via Pexels
Only an open heart will allow you to float equally between everyone.
Be compassionate, and take responsibility for each other.
[The Audiovisual Part Three, Tuesdays with Morrie]
“Berapa lama buatmu sampai bisa dipercaya seperti itu?” kata Gauri.
ADVERTISEMENT
Nadia memutar bola mata. “It takes fully two harsh years. Extremely not easy. Plus, I’m stubborn,” ujarnya dengan senyum terkulum.
Nadia tahu betul, di balik wajah lembut Gauri, ia punya karakter serupa dengannya―keras kepala dan tak mudah menyerah.
Apa yang terlihat di mata memang belum tentu seperti kelihatannya. Itu sebabnya ada adagium “Don’t judge a book by its cover.”
Nadia menghela napas, lalu mengambil ponsel dan mengetikkan pesan singkat, “Aku mau ambil form cuti.”
Jeda Nadia, itulah yang ia rasa perlukan saat ini.
***
Tuesdays with Morrie.
PS: Thanks to Erin who lent me ‘Tuesdays with Morrie’. Next book, please.
ADVERTISEMENT
Iklan: Penulis cerita di atas, Mata Bukan Segala, baru saja meluncurkan buku berjudul ‘Arca Jingga’ yang bisa didapat di sini.