Mati Waktu di Bendigo

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
13 Januari 2019 16:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bendigo mungkin dulu diincar para pemburu emas, tapi jelas bukan oleh pemburu waktu.
Bendigo Town Hall. Jam terpancang di menaranya. (Foto: Christine Gardner/Pixabay)
Waktu bergerak lambat di Bendigo. Setidaknya, begitulah rasanya bila kau terbiasa dengan hiruk pikuk dan atmosfer serba-bergegas khas metropolis.
ADVERTISEMENT
Kota tua di barat laut Melbourne itu bukan tempat bagi para pemburu waktu. Di hari Minggu, ia menjelma kota mati waktu yang bisa membuat para pembosan mati kutu.
Suasana Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Pagi sunyi di akhir November 2018. Langit biru cemerlang terbentang sejauh mata memandang. Ia bersih jernih meski bersaput mega, khas langit Australia yang bebas polusi. Waktu menunjukkan pukul 07.00, tapi terang matahari sudah seperti jam 10.00 di Indonesia.
Aku menyibak tirai tak tergesa, menyerap suasana tenang kota, menyeduh secangkir kopi tanpa gula, menyunggingkan senyum tipis tanda sukacita, dan menyesap larutan hitam di hadapanku perlahan hingga tubuhku bersenyawa dengannya.
Setelah melahap croissant renyah hangat dan meneguk jus jeruk segar, barulah aku melangkahkan kaki berkeliling. Tak perlu buru-buru. Aku punya waktu dua jam untuk melihat sana sini, sebelum memenuhi janji temu.
ADVERTISEMENT
Tujuan pertamaku sudah jelas: bangunan megah menjulang di tepi MacKenzie Street yang membuatku terpana pada pandangan pertama.
Aku segera mengeluarkan kompasku, Google Maps—aplikasi modern masa kini yang membuat hidup seribu kali lebih mudah. Hanya dengan membuka peta di ponsel dan mengetikkan destinasi, ia akan segera menunjukkan arah serta menghitungkan jarak tempuh ke tempat tujuan. Ah, nikmat teknologi macam ini mana bisa kudustakan?
Well, ternyata tempat yang kutuju dekat sekali. Tak sampai lima menit jalan kaki, aku sudah sampai di depan bangunan luas dengan menara tinggi anggun itu. Ia Katedral Hati Kudus Bendigo—gereja keuskupan Katolik Roma, salah satu yang terbesar di Australia.
Sacred Heart Catholic Cathedral Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Aku tak henti-henti berdecak kagum melihat arsitektur Sacred Heart Cathedral. Aku masuk ke halaman depan, berputar ke pekarangan belakang, menyusuri sisi katedral. Pokoknya menatap sepuas-puasnya bangunan yang mungkin hanya akan kulihat sekali seumur hidup itu (mana kutahu apa aku bakal kembali ke sana, kan?)
Sacred Heart Cathedral Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Sacred Heart Cathedral yang rampung dibangun pada 1977 itu dirancang dengan gaya gotik oleh William Tappin, arsitek Bates Smart—salah satu perusahaan arsitektur tertua di Australia yang didirikan Joseph Reed, arsitek kenamaan Melbourne.
Sacred Heart Cathedral Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Gereja di Bendigo tentu bukan cuma Sacred Heart Catholic Cathedral. Kota tua itu punya banyak gereja—banyak sekali. Di satu sisi jalan saja, kau bisa menemukan lima gereja pada jarak berdekatan.
ADVERTISEMENT
Kalau di Indonesia ada Lombok yang dijuluki Pulau Seribu Masjid, anggaplah Bendigo di Australia bak Kota Seribu Gereja. Sama sekali tak mengherankan, karena 60 persen lebih penduduk Australia beragama Kristen.
Gereja di Forest Street, Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Aku jadi lupa waktu saking asyik berputar-putar ke beberapa blok di sekitar penginapan (aku bermalam di City Centre Motel yang memang berada dekat dengan bangunan-bangunan historis kota itu).
City Centre Motel di Forest Street, Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Suasana hening Bendigo betul-betul membuatku merasa berada di zona mati waktu. Bahkan pada jam 09.00 pagi, nyaris tak ada mobil melintas di jalan-jalan besar kota itu. Sungguh senyap yang melenakan dan membawamu membuka pintu waktu ke masa lalu.
Salah satu rumah di Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Deretan rumah di Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Rumah-rumah di Bendigo tertata apik. Mereka semacam pemandangan di kartu pos pada masa lampau. Bangunan-bangunan itu memang “disekap” sedemikian rupa agar terus seperti itu—dijaga keasliannya dari masa ke masa, begitu kira-kira kata Nicholas, mantan wartawan Australia yang kini banting setir jadi diplomat.
ADVERTISEMENT
Zaman boleh berganti, bangunan autentik harus tegak berdiri. Itulah Bendigo.
Wajar, karena turisme menjadi penyumbang utama perekonomian Bendigo. Kota itu populer dengan wisata sejarah dan budayanya. Ia “menjual” cerita kala demam emas melanda kota. Itu sebabnya area-area tambang emas menjadi objek wisata.
Monumen The Cornish Miner untuk menghormati para penambang di Bendigo. (Foto: Christine Gardner/Pixabay)
Bendigo berdiri dari emas. Wilayah itu diserbu gelombang imigran dari seluruh dunia pada 1850-an, ketika emas ditemukan di tanahnya. Dalam setahun, demam emas (gold rush) menyulap area peternakan domba di sana menjadi permukiman besar dalam Koloni Victoria—cikal bakal Persemakmuran Australia yang berakar dari Britania Raya.
Demam emas di Victoria (negara bagian Australia di tenggara benua itu) bukan cuma terjadi di Bendigo, namun pula Ballarat—yang juga populer dengan wisata sejarahnya—dan Ararat—yang lebih dikenal dengan dark tourism atau wisata “kematian”-nya.
ADVERTISEMENT
Sampai tahun 1890-an, Bendigo adalah tambang emas paling produktif di Australia. Hingga saat ini, diperkirakan masih ada sejumlah besar emas di Bendigo. Tapi demam emas telah berakhir, seiring meningkatnya risiko pada penggalian di tambang-tambang yang terus bertambah kedalamannya.
Suasana Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Berkeliling melihat-lihat ini itu betul-betul membuatku lupa waktu. Aku segera berlari kencang kembali ke penginapan begitu diingatkan soal janji temu.
Hari beranjak siang, tapi jalanan di Bendigo tetap lengang. Aku betul-betul heran. Ke mana gerangan para penduduk kota selain satu-dua-tiga orang yang kutemui sedang berjalan-jalan santai bersama anjing mereka?
Iyut Yulistya Cahyani, mahasiswi Universitas Tadulako, Palu, yang saat itu sedang berada di Bendigo sebagai partisipan Program Pertukaran Pemuda Australia Indonesia (Australia Indonesia Youth Exchange Program—AIYEP), tertawa saja mendengar pertanyaanku.
ADVERTISEMENT
“Bendigo nggak sepi kok Kak, tapi juga nggak ramai. Kalau hari Senin macet di beberapa tempat. Cuma karena ini weekend, mereka family time,” kata Iyut yang nyaris batal berangkat ke Australia kala petaka melanda kotanya, 28 September 2018.
Beberapa hari sebelum berangkat ke Australia, Iyut—serupa orang-orang Palu lain—ditimpa cobaan. Gempa dan tsunami menghantam tanah asalnya di Sulawesi Tengah itu, membawa korban nyawa dan menghanyutkan segala harta benda.
Usai berjibaku dengan bencana, barulah Iyut pergi. Ia berangkat terlambat. Kawan-kawannya sudah lebih dulu bertolak—setelah membantunya mencarikan baju adat Sulawesi yang baru untuk mengganti kostum awal dia yang hilang bersama gempa.
Semua peserta AIYEP yang berjumlah 18 orang memang membawa pakaian adat, sebab mereka otomatis menjadi duta budaya Indonesia di Australia.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, tekad kuat membuat Iyut tak surut. Duka tak menghalanginya terbang.
Mahasiswi Universitas Tadulako, Iyut Yulistya Cahyani, di Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Partisipan Australia Indonesia Youth Exchange Program di Bendigo. (Foto: Dok. AIYEP)
Iyut bersama kawan-kawannya memanfaatkan waktu dua bulan mereka di Australia baik-baik. Mereka begitu antusias menimba ilmu dan pengalaman, sembari memperkenalkan budaya daerah asal kepada warga Australia.
Setelah menghabiskan satu bulan di Melbourne yang kota besar, mereka bergeser ke Bendigo yang lebih kecil. Selanjutnya, mereka kembali ke Indonesia bersama belasan teman Australia-nya untuk meneruskan program pertukaran pemuda di Siak dan Pekanbaru, Riau.
Maka, bagi mereka, Bendigo bukan kota mati waktu. Ia hanya terlihat mati waktu bagiku yang ke sana 24 jam saja dan jalan-jalan melulu (sayang aku tak bisa memperpanjang masa tinggal untuk lebih mengenalinya, karena aku tak sedang berlibur).
ADVERTISEMENT
Well, seperti kata Haruki Murakami dalam novelnya, IQ84, “Please remember: things are not what they seem.”
Denyut kota akhirnya memang terlihat di sejumlah tempat (tapi tak banyak) yang kemudian kulalui seperti lapangan bola, taman botani, dan wine bar.
Salah satu tanah lapang di Bendigo Botanic Gardens. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Sore menjelang ketika aku dan rekan-rekanku meninggalkan Bendigo.
Jalanan di depan Stasiun Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Di Stasiun Kereta Bendigo, mataku terpaku pada tiga jam dinding yang tergantung di atas peron. Jarum pada jam-jam itu bukannya mengarah ke angka berlainan untuk menunjukkan perbedaan waktu dunia seperti yang biasa terlihat pada deretan jam di hotel atau ponsel.
Mereka justru berhenti pada angka yang sama—XII. Jam-jam itu selamanya pukul 12.00 meski matahari telah bergulir turun.
Jam mati waktu. Kota mati waktu. Aku mati waktu.
ADVERTISEMENT
Sepertinya ini waktuku merapal mantra.
Ruang… waktu… ruang… waktu… merayap… memerangkap… senyap… lenyap…
Pintu waktu… ruang rindu… titik temu… sebelum abu...
Peron Stasiun Bendigo. Di atasnya, terpasang tiga jam yang semua mati. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Salah satu sudut Bendigo. (Foto: Anggi Kusumadewi)