Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Memahat Arca Jingga
11 November 2017 22:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika Lara Jonggrang menjadi batu karena menolak cinta sang pangeran, aku menjelma batu karena bertepuk sebelah tangan.
ADVERTISEMENT
Sore jingga di timur Jakarta. Jantung Anjani berdegup-degup cemas. Hampir pukul 17.00, jari jemarinya mengeras. Waktu untuk mengemas tas dan bergegas. Hal yang sama dilakukan lelaki mimpi di ruang kerjanya di selatan Jakarta.
Anjani berdiri dari kursi dan pergi. Lelaki mimpi bangkit mengambil kunci mobil untuk menemui Anjani―di tempat yang sudah mereka tentukan bersama: pusat Jakarta.
Jingga, dress code Anjani hari itu. Dari alas kaki hingga bahu, tubuhnya berbalut jingga manis, siap direngkuh (dalam hati Anjani bertanya-tanya: maukah ia merengkuhku?)
“Hanya kurang mawar jingga,” ucap Anjani lirih, teringat cerita Maya Kitajima dalam Topeng Kaca (pernahkah kau membaca komik Suzue Miuchi itu?) yang kerap beroleh mawar jingga dari Masumi Hayami yang berjarak sebelas tahun dengannya.
ADVERTISEMENT
Age is just a number. Begitulah kata orang. Anjani menghela napas, menghitung jarak usianya dengan si lelaki yang juga terentang lebih dari satu dekade.
Mereka duduk berhadapan senja itu, dikelilingi cahaya merah temaram di ruangan wangi dupa. Lidah api menari-nari riang di gelas kaca di tengah meja, diapit serbet makan merah darah berujung runcing (Anjani curiga ada belati tajam terbungkus rapi di dalamnya).
Suara gemercik air terdengar tak jauh dari meja makan, berpadu dengan musik jazz menenangkan―yang sayangnya tak mampu menenteramkan hati Anjani yang masih diam-diam berdentam kala menatap lelaki mimpi (kelak tak selalu begini).
Orang bilang itu candle light dinner―santap malam romantis di fine dining restaurant. Tapi bagi Anjani, kesan romantis malam itu berpadu dengan aura mencekam yang terpancar dari arca anggun ramping menjulang di salah satu sisi ruangan.
ADVERTISEMENT
Itulah patung Lara Jonggrang (atau Rara Jonggrang atau Roro Jonggrang atau Loro Jonggrang, terserah bagaimana kau ingin menyapanya). Ia putri Kerajaan Baka yang disihir Raden Bandung Bondowoso, pangeran kerajaan tetangga, menjadi arca karena menolak cintanya dengan cara menipunya―membuatnya mengira hari telah pagi padahal fajar belum lagi terbit, sehingga ia gagal merampungkan pembangunan seribu candi dalam semalam seperti yang disyaratkan Lara Jonggrang untuk mendapatkan cintanya.
Bersama legenda mistis Lara Jonggrang yang begitu kental di ruangan berpendar merah redup itu, nuansa romantis amat mudah terpinggirkan, setidaknya bercampur baur dengan kutukan dari abad kuno―yang entah benar ada atau tidak, namun cukup mengusik.
Anjani menatap mata lelaki mimpi. Lelaki mimpi menatap Anjani. Mata mereka terus beradu selama beberapa waktu―yang mungkin sejenak membeku.
ADVERTISEMENT
Tatap-menatap itu tak berlangsung selamanya, tentu saja. Celoteh bergulir, dan hidangan disajikan. Tapi lidah Anjani terasa kebas. Ia tak dapat merasakan makanan yang ia kunyah.
Alih-alih menyantap lahap, Anjani mengamati lelaki mimpi dengan ekor matanya. Lelaki itu mengenakan kemeja hitam, dan tubuhnya menguarkan harum melenakan. Anjani suka wangi itu.
“Pakai parfum apa?” tanyanya.
“Bukan parfum, tapi aftershave. Kamu suka wanginya?” lelaki mimpi balik bertanya.
“Suka sekali,” jawab Anjani.
Lidah Anjani kelu. Ia lebih banyak diam, sesekali menimpali, sementara lelaki mimpi berkicau riang, bercerita tentang ibunya sampai sejumlah perempuan masa lalunya (kelak Anjani sama ceriwis dengan si lelaki pada malam-malam langka mereka).
Tapi senja itu kencan pertama mereka. Kala langit jingga bertemu kelam malam.
Anjani ingin sekali membekukan dan mengiris waktu dan ruang―tanpa patung Lara Jonggrang di dalamnya, agar ia dan lelaki mimpi tersekap selamanya di sana, dalam semesta berpendar jingga.
ADVERTISEMENT
Lelaki mimpi tersenyum padanya. Senyum berlesung pipit yang memikat. Entah si lelaki sadar atau tidak, Anjani merekam segenap lekuk wajahnya dengan kerakusan Banowati-―dewi dengan pandang mata nyalang.
Ia yang dipandang tajam, bersantap dan bercakap santai. “Sayurnya kok dibiarkan? Ini enak, loh. Makanmu sedikit sekali.”
Anjani tersenyum sembari menggeleng. Rasa laparnya sudah terbang hilang bersama matahari terbenam.
Untuk apa makan bila ada di dekatmu? Memandang parasmu saja setara menyantap sepiring karbohidrat sarat protein.
“Kamu pernah ke sini?” tanya lelaki mimpi.
“Belum,” Anjani menggeleng lagi, lalu kembali memutar mata ke sekeliling ruangan wangi dupa―dengan aroma memabukkan bercampur harum aftershave lelaki di hadapannya.
Dahulu, di tempat itu, lelaki mimpi bercengkerama mesra dengan salah satu perempuan dekatnya (atau mungkin salah dua, salah tiga, siapa tahu?) Dan Anjani tak peduli ia yang keberapa. Yang Anjani tahu: lintasan waktu malam itu, di bawah bayang muram Lara Jonggrang, adalah milik mereka berdua.
ADVERTISEMENT
Anjani bukannya tak tahu beberapa orang kawannya memperingatkan, dari halus sampai terang-terangan, “Jangan diteruskan, berbahaya.”
Tapi Anjani bisa apa bila ia terisap magnet bahaya dan kelam? Pula tak kuasa menolak pesona sang lelaki mimpi―jenis yang belum pernah ia jumpai dan membangkitkan rasa ingin tahu sekaligus kebiasaan lamanya menyerempet petaka.
Malam perlahan merayap, dan Anjani tahu ia tak bisa melawan waktu. Ia merasa serentan benalu. Matanya menatap lekat-lekat lelaki mimpi, sadar selamanya tak bisa memiliki.
Tak ada jalan keluar. Anjani terbelenggu. Dengan kalut, ia berpaling ke arah arca jelita Lara Jonggrang, mengirim bisik lewat angin kepada sang putri Kerajaan Baka.
Lamat-lamat, mantra membanjiri ruangan. Purnama belum sempurna ketika jantung Anjani menjelma bongkah batu jingga.
***
Mantra
ADVERTISEMENT
“Selamat pagi.”
Lima belas bulan lalu, mantra itu singgah tiap Senin
Menyihir kaki untuk segera melangkah pergi
Menjumpai sang perapal mantra di mana jiwa terjalin
Hati-hati, kata mereka
Dia penyihir terkutuk menyamar pangeran
peri durjana menyaru bidadara kirana
iblis penggoda nan rupawan
Kami sudah mengingatkan, bisik mereka dengan desis ular
Suara-suara bising itu hilang cepat ditelan angin ribut
Kaki bergegas mengayun tak meragu menuju belukar
Pada Batara Kala, Batari Durga tak menyimpan takut
Belantara penuh kata-kata berserak
Magi membius hingga tujuh samudra
“Apa mantra ini terlalu kuat?” ujar entah siluman entah prabu, ragu hendak berjarak
Jampi mengendur, tapi hati telah tertawan dalam lentera
Musim itu penuh gejolak
Perang berkecamuk
Matahari melemparkan baranya ke khatulistiwa, panas menggelegak
Kebencian dan angkara murka meruap, membuat gigi gemeletuk
ADVERTISEMENT
Di tengah prahara, belati melayang, berkarat
Ujung runcingnya telak menikam jantung
Sepasang terberai: satu minggat, satu sekarat
Tak hidup, tak mati―kosong mematung serupa ditenung
Sebelum kumati, mari curi bulan semalam!
Petang itu dua pencuri menyusup dengan hati setipis perca
Semilir angin mengiringi tarian hangat lidah api di lantai pualam
Purnama beringsut, fajar merekah, jantungmu kini arca
Lara Djonggrang, Agustus 2015
Cerita di atas adalah fragmen awal dari rangkaian kisah putus-sambung yang entah kapan akan rampung ditulis. Prosa dan puisi ditulis pada waktu berbeda.