Menyambangi Kamar Nyai

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
9 September 2018 16:59 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menyambangi Kamar Nyai
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Jogingku menyusuri pantai pagi itu berakhir janggal. Aku “terdampar” di kamar Nyai. Ya, Nyi Roro Kidul yang dikenal luas sebagai Ratu Laut Selatan dalam mitologi nusantara.
ADVERTISEMENT
Aku bukannya tenggelam terseret ombak dan bertemu Nyai di kedalaman samudra (kalau itu terjadi, mana mungkin aku bisa menuliskan cerita ini untukmu). Aku hanya singgah sebentar ke kamarnya―atau begitulah kata orang tentang ruangan dengan pintu bertuliskan “PRIVATE” yang berada di sisi kanan kamar nomor 309 di Grand Inna Samudra Beach Hotel, Palabuhanratu.
Entah kenapa kamar Nyai diberi stempel “PRIVATE” alih-alih 308. Aku lupa bertanya soal itu. Padahal, orang-orang lebih mengenal kamar itu dengan sebutan “308”―yang memang itulah nomor ruangan tersebut (kamar semacam ini juga terdapat di Grand Inna Bali Beach, Sanur, yang menghadap ke Laut Bali).
Menyambangi Kamar Nyai (1)
zoom-in-whitePerbesar
Pintu kamar Nyai di Hotel Inna Samudra. (Foto: Anggi Kusumadewi)
“Lihat, itu hotel tempat kamar Nyi Roro Kidul. Ayo kita jalan sampai sana dan masuk ke dalam. Kamar itu dibuka buat umum, asal bayar. Aku mau tanya berapa tarif untuk lihat kamar Nyai,” kataku pada seorang kawan saat kami jalan-jalan pagi menyisir Pantai Palabuhanratu tiga hari lalu.
ADVERTISEMENT
“Are you kidding me?” tanya kawanku sambil melotot. Ia tak punya niat dan minat sama sekali untuk mampir melihat-lihat hal beraroma mistis.
Aku menggeleng tegas, tanda tak sedang berkelakar. “No, I’m not joking. I want to see that room. I’m just curious.”
Ini kali kesekian kami berbantahan soal tempat yang layak dikunjungi. Sebelumnya, di Phnom Penh, ia juga enggan menuruti kemauanku ke Museum Genosida. Tapi tentu saja, aku tak bisa dilawan soal beginian.
“Fine, you go inside, I’m waiting in the lobby,” ujar temanku. “Deal,” sahutku sembari berlari-lari kecil memasuki pelataran parkir Inna Samudra Beach.
Menyambangi Kamar Nyai (2)
zoom-in-whitePerbesar
Hotel Grand Inna Samudra Beach di Jalan Raya Cisolok. (Foto: Anggi Kusumadewi)
Kesan tua amat kentara pada bangunan hotel. Berdiri tegak delapan lantai ke atas, ia angkuh sekaligus sepuh. Tak ada konstruksi lain setinggi Inna di sepanjang pantai itu. Ia menjulang sendirian.
ADVERTISEMENT
“Teh, mau lihat kamar Nyai, boleh? Bayar berapa?” tanyaku pada resepsionis tanpa basa-basi.
“Boleh, tarifnya Rp 30 ribu. Buat keperluan apa?” kata Teteh Resepsionis balik bertanya dengan ramah.
Aku cepat menjawab, “Cuma pengin tahu, nggak ada keperluan khusus. Bisa?”
“Bisa, tapi tidak boleh ambil foto apa pun di dalam ruangan, ya,” ujar si Teteh.
“Wah, sayang sekali,” ujarku yang senang memotret ini itu sambil keliling melihat-lihat.
Walau begitu, aku menyanggupi untuk mematuhi aturan tersebut. Demi menuntaskan rasa penasaranku melihat kamar Nyai.
Menyambangi Kamar Nyai (3)
zoom-in-whitePerbesar
Kamar “PRIVATE” alias kamar nomor 308 di Inna Samudra. (Foto: Disparbud Jawa Barat)
Gambar di atas tentu bukan hasil fotoku (kan dilarang memotret isi kamar Nyai). Aku mengambil foto itu dari situs Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
“Dulu boleh foto-foto di dalam kamar, sekarang enggak boleh karena takut fotonya disalahgunakan atau diedit-edit,” kata juru kunci kamar 308 yang mendampingiku masuk ke ruangan Nyai.
Aku senang ditemani si juru kunci. Kalau tidak bersama dia dan mengobrol dengannya, rasanya atmosfer kamar jadi lebih mencekam. Bagaimana tak menyeramkan kalau kamar itu selalu ditutup rapat, bahkan di pagi hari dan siang terang yang berlimpah cahaya mentari.
Tak ada sama sekali sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam ruangan. Hijau gelap langsung melingkupi begitu pintu kamar dibuka, bersamaan dengan wangi dupa yang menguar ke udara.
Aku menyimpulkan, ruangan Nyai memang sengaja dijaga agar tetap kelam semacam itu.
“Kamar ini sudah ada sejak hotel berdiri? Sengaja dibuat untuk Nyai? Kapan hotel ini dibangun?” tanyaku cerewet kepada juru kunci―atau ia sebetulnya petugas hotel biasa seperti yang lain?
ADVERTISEMENT
“Dari dulu sudah seperti ini, dan hotel ini sudah ada sejak lama, sebelum saya lahir,” ujar juru kunci yang memang terlihat muda itu.
Seperti kuduga, ia tak banyak membantu soal histori bangunan hotel. Begitu pula dengan resepsionis yang memberi jawaban ala kadarnya―“Nggak, sih”―sambil menggeleng saat kutanya, “Kamar 308 dibuat untuk tujuan wisata, ya?”
Baik, baik, aku cari di Google saja kalau begitu. Begini hasilnya, Inna Samudra dibangun tahun 1962 oleh PT Pembangunan Perumahan (BUMN sektor konstruksi) dan perusahaan konstruksi Jepang bernama Taisei. Pembangunan rampung pada 1965, dengan anggaran berasal dari dana rampasan perang Jepang senilai Rp 660 miliar.
Inna Samudra, seperti keterangan yang tertera pada situs Inna Hotels & Resorts, ialah salah satu hotel milik PT Hotel Indonesia Natour atau Inna Group, BUMN sektor akomodasi yang mengelola hotel berkapasitas besar seperti Inaya Putri Bali Nusa Dua, Grand Inna Kuta, Grand Inna Malioboro, Grand Inna Padang, dan lain-lain.
Menyambangi Kamar Nyai (4)
zoom-in-whitePerbesar
Laut terlihat dari balkon Inna Samudra. (Foto: Anggi Kusumadewi)
ADVERTISEMENT
Kamar Nyai, seperti kamar-kamar lain di Inna Samudra, menghadap langsung ke laut lepas. Dari jendela dan balkon kamar, Samudra Hindia membentang sejauh mata memandang. Sungguh segar.
Masalahnya, seperti kubilang di atas, kamar Nyai tertutup rapat. Percuma rasanya kamar itu dilengkapi balkon dan jendela kalau tak pernah―atau jarang―dibuka. Tapi ya sudahlah, suka-suka pengelola hotel―dan Nyai.
Ketika aku menyambangi kamar itu, segala jenis sajen tumpah ruah di depan altar pemujaan. Altar yang kumaksud itu tidak tinggi, tapi rendah, nyaris sejajar dengan lantai. Dari pintu masuk, ia berada di sisi kanan tengah ruangan, di samping tempat tidur Nyai, dan di hadapan lukisan besar Nyai karya Basuki Abdullah―pelukis kenamaan Indonesia yang konon pernah bertemu langsung dengan sang Ratu Laut Kidul.
ADVERTISEMENT
Melihat altar itu, aku jadi mengelus-elus perut. Betapa tidak, di sana ada susu, kopi, teh, dan pelbagai buah-buahan. Kebetulan saat itu aku belum sarapan. Tapi, tentu saja aku tak berani mengambil makanan Nyai. Aku ngeri kualat nanti. Bagaimanapun, aku tamu di situ, tak boleh sembarangan.
“Sajennya banyak juga, ya,” kataku berkomentar sambil kembali memindai ragam menu untuk Nyai.
Juru kunci mengangguk, “Iya, dari orang-orang yang berkunjung. Biasanya tamu paling banyak datang malam Jumat―sendirian atau rombongan, orang sini atau luar kota. Kadang langsung sekeluarga, berdoa bareng di sini. Atau pengusaha yang minta bisnisnya lancar. Mereka bawa macam-macam buat Nyai, ada baju hijau juga.”
Berbagai busana bernuansa hijau pemberian pengunjung disimpan rapi di lemari yang berdiri di kiri pintu masuk. Sebagian dilipat rapi, sebagian lagi digantung berjajar. Kebanyakan berupa kebaya. Dari ukuran pakaian-pakaian itu―dan dari lukisan karya Basuki Abdullah, Nyai tergolong singset.
ADVERTISEMENT
Maka, wajar saja tempat tidurnya berukuran single ala anak kos ekonomis, bukan queen atau king size seperti standar hotel-hotel modern non-twin bed. Ranjang Nyai bahkan lebih kecil dari kasur bocah perempuanku yang berukuran 120 x 200 cm.
Menyambangi Kamar Nyai (5)
zoom-in-whitePerbesar
Kasur kecil di sisi kanan kamar Nyai. (Foto: Sukabumi Update)
Omong-omong kasur kecil Nyai, kamar 308 pun sebetulnya terbilang sempit. Aku lumayan kaget, menyangka kamar seorang ratu mestilah berukuran luas.
“Kamar di lantai 3 ini belum direnovasi seperti di lantai-lantai atas,” kata juru kunci, yang kusambut dengan, “Ooo… begitu.”
Setelah melongok ini itu, aku bertanya lagi, “Kenapa ada potret-potret Sukarno di sini?”
“Dulu dia menginap di sini. Setiap bermalam di hotel ini, Bung Karno selalu minta kamar ini, nggak pernah yang lain,” jawab juru kunci, meladeni pertanyaan-pertanyaanku.
ADVERTISEMENT
Konon, Sukarno pula yang minta kamar khusus itu dibuat.
Selain gambar Sukarno, di kamar Nyai juga terdapat beberapa Alquran. Sungguh penataan klenik yang membingungkan bagiku yang tak tahu banyak soal kepercayaan Kejawen meski berdarah Jawa.
Menyambangi Kamar Nyai (6)
zoom-in-whitePerbesar
Laut terlihat dari area parkir Inna Samudra. (Foto: Anggi Kusumadewi)
“Kalau tak percaya (dengan keberadaan Nyai), simpan di hati saja. Tak perlu bilang terang-terangan atau nantangin,” kata penduduk sekitar kala aku nongkrong minum kopi di warung, sebelum masuk ke Inna Samudra.
Kami mengobrol santai ngalor ngidul sembari menghabiskan sepiring gorengan lezat―dan aku masih mengaku belum sarapan! Dari soal “ditemukannya” Nining di Pantai Citepus―setelah hilang setahun lebih―yang bikin geger namun berakhir mengecewakan bagi penggemar drama, sampai perkara murid-murid yang kesurupan satu bus lantaran bertingkah tak tahu adat di Palabuhanratu.
ADVERTISEMENT
Bagi banyak warga setempat, Nyai―apa pun dia sesungguhnya―selalu membayangi. Ia ada meski tak kentara. Berbicara tentangnya selalu penuh kehati-hatian dan penghormatan tersendiri. Tak ada yang berani serampangan soal Nyai kecuali siap kena tulah.
Setiap lokasi memang memiliki kisah dan adat tersendiri, termasuk Pantai Selatan―kawasan yang ganas ombaknya bercampur dengan legenda mistis Nyi Roro Kidul.
Dari barat ke timur Jawa, Pantai Selatan memang menyimpan keelokan sekaligus keangkeran. Dan itu tak membuatku―serta banyak orang lain―berhenti mengunjunginya.
Sewaktu masih berkuliah di Jember, misal, aku bolak-balik hingga setidaknya 12 kali ke Tanjung Papuma di selatan kabupaten. Meski harus menempuh sekitar satu jam perjalanan dan walau pernah dua kali tergulung ombak Papuma, aku tak pernah jera ke sana.
Menyambangi Kamar Nyai (7)
zoom-in-whitePerbesar
Inna Samudra menghadap langsung ke Samudra Hindia. (Foto: Anggi Kusumadewi)
ADVERTISEMENT
“Mbak menginap di sini?” tanya salah satu petugas hotel saat aku turun ke lobi usai melihat kamar Nyai.
“Oh, enggak. Saya menginap di Cimaja,” ujarku.
Ia tampak kecewa. “Ah, harusnya menginap di sini, atuh.
Aku tersenyum. Buatku, melihat kamar Nyai saja sudah cukup.
Menyambangi Kamar Nyai (8)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Inna Group)
See you in another story!