Rahasia Scheherazade

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
11 Mei 2019 16:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. (Foto: Pexels/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. (Foto: Pexels/Pixabay)
ADVERTISEMENT
Ia membuka mata dan mengerjap. Kilau matahari menerobos dari jendela berkayu lapuk dan jatuh di pelupuk. Cahaya membanjiri ruangan. Silau sekali.
ADVERTISEMENT
Perempuan itu bangkit dari pembaringan dan duduk di tepi ranjang. Ia menggerakkan tangan dan jemari dinginnya dengan kaku, lalu menjulurkan lengan ke jendela untuk menutup tirai dengan satu sentakan keras.
Ruangan langsung meremang. Perempuan itu menarik napas lega. Korneanya masih belum bisa menerima limpahan cahaya. Ia perlu waktu untuk menyesuaikan diri kembali—mata, telinga, rasa. Ia merabai udara, merasai gelombangnya, mencium aromanya.
Sudah berapa lama ia tertidur? Satu tahun? Sepuluh tahun? Seratus tahun? Dan siapa dia?
Perempuan tanpa nama itu mencoba mengingat-ingat identitasnya. Amnesia disasosiatif acap menyerangnya bila ia terbangun dari tidur panjang tanpa jeda. Ia tak dapat mengingat siapa dirinya, tapi tahu beberapa hal samar pada masa lampau, seperti kebiasaan tidur panjangnya (atau mati suri?) yang bermula dari kutukan penyihir negeri mimpi.
ADVERTISEMENT
Hilang ingatan membuatnya mesti bersiasat. Ia terpaksa memakai penyamaran yang ia rasa paling masuk akal, dan mengarang cerita tentang dirinya sendiri—putri bangsawan yang tersesat di belantara kota setelah kabur dari sekelompok penyekap bengis yang mengincar duit orangtuanya; anak bungsu yang dibuang keluarga karena nekat merampok bank demi membiayai pengobatan kekasihnya yang mengidap kanker darah; janda kaya yang diasingkan dari desa karena dituduh membunuh sang suami dengan sianida yang dituang dalam kopi hitam pekat meski tudingan itu tak pernah terbukti; pengarang novel picisan yang menghindari kejaran kreditur dan mencari tempat menyendiri untuk merampungkan roman keduanya yang diramalkan syaman misterius bakal meledak di pasaran.
Pokoknya, ia bisa mereka beragam cerita soal siapa dirinya. Rasa-rasanya, mendongeng adalah keahliannya. Tiap bangun dari 10 atau 100 tahun tidur panjang dengan memori menghilang, ia bisa melontarkan 1001 kisah tentang sosok khayal yang kemudian menjelma pada dirinya. Mudah sekali. Ia secara natural seperti punya seribu wajah.
ADVERTISEMENT
Mungkin dulu, pada salah satu masa dalam kehidupannya yang kerap terputus oleh tidur panjang, ia pernah menjadi Scheherazade, Ratu Persia yang berhasil menghentikan kegilaan Raja Samarkand—yang gemar membunuh perempuan tiap malam—dengan mendongenginya hingga 1001 malam.
Ilustrasi. (Foto: Murilo Folgosi/Pexels)
Scheherazade atau bukan, perempuan itu mulai berjalan mengitari ruangan dengan kaki-kakinya yang beku. Awalnya tertatih-tatih, namun lama-kelamaan gerakannya kian lentur, sampai-sampai ia tak sadar tengah berputar-putar lincah. Ia berdansa bagai balerina. Pipinya mulai memerah, menandakan sirkulasi darah telah mengalir lancar di seluruh tubuh. Apakah ia dulu pernah jadi penari?
Perempuan tanpa nama berhenti menari dan berdiri di depan cermin. Ia mengamati wajahnya lekat-lekat. Rambut hitam legam panjang terurai, hidung bangir bertengger angkuh di wajah berparas tegas, dan kulit sawo matang membungkus tubuh padat berisi. Satu hal jelas: ia orang Asia, bukan balerina Rusia.
ADVERTISEMENT
Tapi di mana ia kini? Perempuan tanpa nama membuka pintu kamar dan mengamati rumah tempat ia terbangun itu. Rumah tua berhawa muram itu lebih tepat disebut pondok mungil. Satu-satunya ruang tidur di sana ialah kamar mati surinya tadi.
Ia menoleh ke deretan buku berdebu yang berbaris pada rak teratas di satu sudut ruangan, lalu meniup serta menyeka debu yang melekat di situ, dan menarik buku-buku itu satu per satu untuk membaca judul yang tertera pada sampulnya. Menari di Angkasa, Berdaulat di Udara, Flight Insight, Cockpit Confidential, Air Disasters, Operasi Woyla: Pembebasan Pembajakan Pesawat Garuda Indonesia, Operasi Sandi Yudha: Menumpas Gerakan Klandestin, Sniper, Special Forces.
Perempuan itu mengernyitkan dahi. Apakah ia berdinas di kemiliteran? Semacam penerbang Angkatan Udara yang biasa mengarungi langit dengan burung besi? Ataukah ia jurnalis atau spesialis dirgantara? Ia menggeleng-gelengkan kepala, sama sekali tak ingat.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian membuka halaman-halaman awal masing-masing buku untuk melihat tahun terbitnya. Satu buku yang paling bersih dari debu tercatat bertahun terbit 2018. Tapi tahun berapa gerangan sekarang? Ia sungguh tak tahu.
Setidaknya, dari bahasa yang digunakan pada banyak buku di rak itu, satu hal lagi menjadi agak jelas: ia berada di Indonesia, negeri empat musim yang terentang di khatulistiwa.
Perempuan tanpa nama menjelajah seisi pondok, membongkar laci-laci meja dan lemari, mencoba menguak identitasnya sendiri. Gaun putihnya bergesekan dengan lantai kayu, mengeluarkan desir halus yang melemparkan ingatannya pada bunyi serupa bertahun silam.
Kala itu, gaun magentanya berdesir di langkan kayu saat ia berdansa di bawah purnama bersama pria bermata elang. Siapa gerangan lelaki itu? Apakah ia titisan Raja Samarkand yang di akhir kisah ke-1000 jatuh hati pada Scheherazade? Ataukah ia tentara penerbang yang mungkin kekasihnya?
Magenta. (Valeria Boltneva/Pexels)
Perempuan tanpa nama semakin cepat mengaduk-aduk isi laci dan rak dengan tangannya, berharap menemukan kartu nama atau buku harian atau lembaran apa pun yang dapat menjadi petunjuk siapa dirinya dan si lelaki yang berkelebat di benaknya itu.
ADVERTISEMENT
Tapi tampaknya tak ada dokumen penting di sana. Ia hanya menemukan CD Player berisi compact disk pada satu lemari kabinet, dengan kabel yang terhubung pada satu-satunya stopkontak di pondok itu. Perempuan itu menekan tombol play, dan musik balada mengalun tenang menembus gendang telinga.
Viniste a mí como poesía en la canción Mostrándome un nuevo mundo de pasión Amándome sin egoísmo y la razón Nomás sin saber que era el amor yo protegí mi corazón
El sol se fue y yo cantando tu canción La soledad se adueña de toda emoción Perdóname si el miedo robó la ilusión Viniste a mí no supe amar Y sólo queda esta canción
Perempuan tanpa nama termangu mendengar senandung lembut musik itu. Lagu itulah yang mengiringi dansanya dengan sang lelaki mata elang. Ia mengerti arti lirik lagu itu.
ADVERTISEMENT
You came to me as poetry in the song Showing me a new world of passion Loving me without self-absorption and reason Not knowing what love was, I protected my heart
The sun went down and I sang your song Loneliness takes over all emotion Forgive me if fear stole the illusion You came to me, I did not know how to love And only this song remains
Sekelebat ingatan lain menyusup ringan ke kepala si perempuan. Ia melihat lelaki mata elang berdiri di hadapannya membawa seikat mawar segar. Lelaki entah bernama siapa itu kemudian berkata, “Scheherazade, coba dengar serenade untukmu ini.” Ia lalu mulai bernyanyi dengan suara bariton jernih.
ADVERTISEMENT
Ingatan tersebut membuat perempuan itu tersentak. Apakah namanya sungguh-sungguh Scheherazade seperti pendongeng itu? Ia mengangkat bahu dan memutuskan begitu saja, “Baiklah, untuk sementara ini namaku Scheherazade.”
Tapi siapa lelaki yang melantunkan serenade untuk Scheherazade itu? Dan di mana dia?
Ilustrasi. (Vishnudeep Dixit/Pexels)
Scheherazade—nama perempuan itu kini—berniat mencari tahu. Ia harus menguak rahasianya sendiri yang tertimbun oleh amnesia. Ia mesti keluar dari pondok remang itu dan membiasakan diri dengan segala jenis cahaya.
Omong-omong soal cahaya, samar-samar ia ingat, bola cahaya besar menyilaukan seakan meledak di kepalanya sebelum ia tertidur panjang yang entah sejak kapan. Ia merasa agak trauma dengan sinar sebenderang itu.
Scheherazade membuka pintu pondok dengan antisipasi tinggi, tanpa tahu ada apa di luar sana. Ia benar-benar tak tahu sedang berada di mana—hutan lebat penuh binatang buas, gunung api berselimut kabut, pantai selatan dengan hantaman gelombang ganas, atau kota gila berisi kriminal berkeliaran.
ADVERTISEMENT
***
Di salah satu sudut kota gila, Ardana menghentikan mendadak penjelasannya di tengah auditorium yang penuh sesak oleh audiens. Para mahasiswa yang begitu antusias mengikuti kuliah umumnya jadi heran dan menatapnya, menanti ia menyelesaikan kalimat yang menggantung di udara.
Menyadari pandangan aneh dari hadirin, ia buru-buru melanjutkan pembahasan, namun meringkas dan memangkas seperempat sisanya. Ia harus segera memeriksa sesuatu.
Setelah meminta maaf kepada panitia karena selesai 15 menit lebih awal sehubungan urusan tak terelakkan yang membuatnya harus “menerima telepon penting”, Ardana setengah berlari menuju mobilnya.
Ia cepat menutup pintu mobil, dan merogoh tas kerjanya untuk mengeluarkan kotak beledu hitam. Kotak itu ia buka hati-hati. Di dalamnya, batu alexandrite magenta menyala terang—dan berdenyut ketika disentuh.
ADVERTISEMENT
Ia tersentak, tahu persis apa artinya itu. Perempuan seribu wajah telah bangkit. Terlalu dini dari siklus biasanya.
Magenta. (Melissa Askew/Unsplash)
Tetes-tetes keringat dingin muncul di kening Ardana. Ia tentu ingin berjumpa perempuan itu, meski cemas dengan probabilitas mengerikan yang biasa terjadi di antara mereka. Kali kesekian mereka hendak bertemu berujung ledakan pesawat di atas Laut Hitam.
Ia berusaha menenangkan diri dengan memejamkan mata dan memutar lagu La Soledad dari ponselnya. Biasanya serenade itu selalu berhasil menenteramkan hatinya. Biasanya… Entah sekarang saat ia tahu perempuan seribu wajah itu, Scheherazade-nya, tengah kembali memburunya (atau ia yang memburu perempuan itu?), dan mereka akan masuk lagi ke jerat serupa—lingkaran kutukan sempurna negeri mimpi yang tak terputus jarak ratusan tahun cahaya.
ADVERTISEMENT
Viniste a mí como poesía en la canción Mostrándome un nuevo mundo de pasión Amándome sin egoísmo y la razón Nomás sin saber que era el amor yo protegí mi corazón
***
PS: Penulis cerita di atas menerbitkan buku “Arca Jingga” yang—kalau mau—bisa dipesan pada tautan ini.