Konten dari Pengguna

Ramuan Mujarab Etgar Keret

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
24 Maret 2019 16:09 WIB
clock
Diperbarui 24 Mei 2019 6:47 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ruangan IGD di rumah sakit.
zoom-in-whitePerbesar
Ruangan IGD di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
rehat, atau kau cepat berkarat sehari berhenti tak buatmu melarat biar pusaran waktumu melambat biar ruang kosongmu mendekat
ADVERTISEMENT
[IGD, 23 Maret 2019]
Etgar Keret memula cerita The Seven Good Years dari rumah sakit, dan aku menuntaskan buku 195 halamannya itu di rumah sakit. Kalau berdasarkan ilmu cocoklogi, itu awal dan ujung yang menyenangkan. Paling tidak, sakitku jadi semacam a blessing in disguise.
Coba kalau aku tak sakit, mungkin aku tak akan konsentrasi membaca buku Keret, hingga tak bakal rampung cepat, dan bisa jadi tersandung berbagai distraksi sebelum sampai ke halaman akhir.
Sakit membuatku menutup laptop 24 jam penuh, dan hanya memangku buku untuk mengisi waktu. Untuk itu, aku sungguh bersyukur. Sebab kalau tidak, aku tak tahu ada penulis Israel sedemikian brilian yang bernama Etgar Keret (aku tak begitu gaul dan tak sedemikian banyak baca buku). Padahal, Keret pernah menghadiri Ubud Writers & Readers Festival pada 2010.
Etgar Keret. (Foto: Stephan Röhl creativecommons.org via commons.wikimedia.org)
Keret menulis perkara sehari-hari dengan begitu bernas, lewat cara jenaka. Humornya luar biasa cerdas. Dengan tuturan macam itu, aku tak mungkin tidak suka padanya.
ADVERTISEMENT
Tapi pertama-tama, aku harus berterima kasih kepada Mas Fauzan Mukrim, jurnalis cum penulis Mencari Tepi Langit dan River’s Note yang membuatku ingin membeli buku Keret.
Begini petikan ucapan Mas Fauzan di Facebook-nya:
Sebagai seorang ayah yang senang menulis cerita untuk anak sendiri, saya malu karena belum membaca buku “The Seven Good Years” karya Etgar Keret ini.
Etgar adalah penulis keturunan Yahudi asal Israel. Di negaranya, mungkin dia dianggap pengkhianat sehingga sempat diboikot. Ia rutin menulis opini yang menentang pendudukan Israel di Palestina.
Buku ini adalah memoar atau cerita keseharian Etgar yang mengharukan sekaligus lucu.
“Teaser” itu, ditambah harga bukunya yang kelewat murah, plus kata pengantar dari Eka Kurniawan pada buku tersebut, langsung mengarahkan jemari ini untuk meraih ponsel dan mengirim pesan singkat guna titip dibelikan The Seven Good Years di Big Bad Wolf Book Sale.
ADVERTISEMENT
Benar saja, buku Keret ibarat ramuan mujarab tabib istana. Di 10 halaman pertama, aku mulai tersenyum-senyum sendiri.
Anakku, seorang psikopat [...] orang lain boleh pergi ke neraka atau bergabung dengan Greenpeace, yang dia inginkan hanyalah susu segar atau obat untuk ruam popoknya. Dan jika dunia harus dihancurkan supaya dia mendapatkannya, tunjukkan saja tombol penghancur tersebut kepadanya. Dia akan memencetnya tanpa berpikir dua kali.
Ilustrasi telepon. (Foto: Hassan Ouajbir/Pexels)
Pada kisah “Telepon dan Tanggapan”, aku kembali tersenyum. Soalnya, bagian itu bercerita tentang ulah Keret yang dengan 1001 cara mencoba menolak tawaran agen pemasaran yang menyodorkan produk via telepon. Semisal dengan bilang, “Anda menelepon tepat sebelum saya diamputasi. [...] Mereka sudah memberi obat bius dan dokter sudah memberi tanda harus menutup telepon seluler.”
ADVERTISEMENT
Itu mengingatkan pada perangaiku sendiri yang sering menolak ragam tawaran lewat telepon (lagi pula, hei… dari mana orang-orang itu tahu nomor ponselku yang tidak pernah diobral untuk publik?)
Bedanya, Keret berupaya menolak dengan halus—meski untuk itu ia harus berbohong, dan jadi terpaksa menutupi kebohongannya dengan kebohongan konyol lain. Sementara aku selalu beralasan “sibuk” saat ada nomor telepon asing masuk yang-ketika-diangkat-ternyata-agen pemasaran. Oh, sungguh jebakan!
Sebetulnya, tidak semua dalih yang kuucapkan adalah bohong. Alasan “Saya sedang sibuk mengetik” atau “Saya sedang rapat” sering kali benar. Namun ketika si agen mengusulkan, “Kalau begitu saya telepon sore ya,” aku bilang “Iya” walau tahu tak bakal mengangkat telepon dia lagi meski dia pasti akan menelepon lewat sejumlah nomor berbeda (aku sudah sangat hafal modus itu).
ADVERTISEMENT
Tentu saja kelakuanku itu salah. Seperti kata istri Keret, seharusnya berterus terang saja dan bilang, “Terima kasih, tetapi saya tidak tertarik untuk membeli apa pun yang Anda jual, jadi tolong jangan menelepon saya lagi—tidak dalam kehidupan ini, dan jika memungkinkan, tidak dalam kehidupan selanjutnya juga.”
Oke, menurut Keret, itu kasar. Mungkin dia betul. Sampai saat ini, ucapan kasarku baru sebatas “Saya tidak tertarik pada kartu kredit apa pun. Saya sudah punya satu, dan itu lebih dari cukup. Terlalu banyak kartu kredit tidak baik, bukan? Apakah Anda menyuruh saya menimbun utang?”
Aku nyaris yakin, orang di ujung telepon mencaci makiku dalam hati. Tapi buatku saat itu—yang tidak mood basa-basi, yang penting dia tidak membuang waktu dengan mencoba meneleponku lagi. Titik.
ADVERTISEMENT
Pada kisah “Dengan (Tidak) Hormat”, aku tersenyum lagi. Bab itu bercerita tentang kebingungan Keret ketika harus merangkai kata untuk disematkan bersama tanda tangannya pada buku karyanya yang dibeli orang.
… suatu hari aku mendapati diriku menandatangani buku-buku untuk orang yang membeli bukuku, orang-orang yang belum pernah kutemui. Apa yang bisa kau tuliskan di buku orang asing yang bisa jadi adalah pembunuh berantai atau kafir budiman?
Aku kembali ingat diri sendiri yang belum lama ini ditimpa kebingungan serupa kala harus mengarang kata untuk dicantumkan di buku ceritaku yang dibeli kawan-kawan. Bahkan, meski mereka temanku sendiri, aku tetap merasa bingung. Soalnya, aku kan tak tahu kehidupan mereka di luar sana seperti apa. Jadi, harus menulis apa buat mereka?
ADVERTISEMENT
Seorang teman muda yang kurang ajar sampai menceletuk, “Penulis baru, ya?”—dan tanganku langsung mendarat di dahinya untuk menoyor dia.
Ilustrasi pesawat. (Foto: Pixabay)
Pada kisah “Meditasi Penerbangan”, aku lagi-lagi tersenyum. Di situ, Keret berkisah tentang rasa tenteram yang menyelimutinya selama jam penerbangan.
Yang kusuka adalah bagian ketika Anda dibungkus oleh kotak aluminium yang melayang di antara surga dan bumi. Kotak aluminium yang benar-benar terputus dari dunia, dan di dalamnya tidak ada waktu dan cuaca asli, tetapi hanya sepotong limbo yang berlangsung dari lepas landas sampai mendarat. [...]
Situasi itu seperti meditasi yang terputus dari dunia. Penerbangan adalah momen ekspansif ketika telepon tidak berbunyi dan internet tidak bekerja.
Persis seperti itulah yang kurasakan saat naik pesawat, dan karenanya aku suka sekali terbang—meski, seperti juga orang lain, secara berkala mendengar berita kecelakaan pesawat yang mengerikan (semoga jiwa-jiwa korban mendapat kedamaian).
ADVERTISEMENT
Pokoknya, walau hanya satu jam, momen terputus dari darat selama penerbangan begitu melegakan dan menyenangkan bagiku.
Aku tak henti tersenyum menyusuri baris-baris tulisan Keret. Aku telah jatuh hati padanya.
Ilustrasi kaum Yahudi berdoa. (Foto: MoneyforCoffee/Pixabay)
Karena Keret pula, aku jadi tahu fenomena “hijrah” ternyata bukan cuma ada di Indonesia di kalangan umat Islam. Ia juga terjadi di Israel, di antara kaum Yahudi. Kakak perempuan Keret ialah salah satu dari mereka yang berhijrah.
Pada cerita “Kakak Perempuanku yang Hilang”, Keret menutup kisah dengan manis, seolah hendak sedikit meniadakan perbedaan pandangan antara dia (yang, katakanlah, liberal) dan sang kakak (yang ortodoks).
Sembilan belas tahun yang lalu, di dalam gedung pernikahan kecil di Bnei Brak, kakak perempuanku hilang, dan sekarang dia tinggal di lingkungan paling ortodoks di Jerusalem.
ADVERTISEMENT
Dahulu ada seorang gadis yang kucintai sampai mati, tapi tidak balik mencintaiku. Aku ingat bagaimana dua minggu setelah pernikahan kakakku, aku mengunjunginya di Jerusalem. Aku ingin dia berdoa untukku dan gadis itu agar kami bisa bersama. Begitu frustrasinya aku.
Kakakku diam semenit, kemudian menjelaskan bahwa dia tak bisa melakukannya. Karena kalau dia berdoa seperti itu, dan kemudian gadis itu dan aku akhirnya bersama, lalu kebersamaan kami ternyata menjadi neraka, dia akan merasa buruk.
“Sebagai gantinya, aku akan berdoa untukmu agar bertemu seseorang yang akan membuatmu bahagia,” katanya. [...]
Sepuluh tahun kemudian, aku bertemu istriku, dan bersamanya membuatku benar-benar bahagia. Siapa bilang doa-doa tidak dikabulkan?
Aku tak akan menceritakan lebih jauh lagi kisah Keret di The Seven Good Years yang total berjumlah 35 cerita. Kalau penasaran, tentu mesti baca sendiri.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, berkat cerita-cerita Keret, aku merasa gembira, dan itulah sebenar-benarnya ramuan mujarab bagi si sakit. Malam Minggu, aku keluar dari rumah sakit dengan senyum di wajah. Minggu sore, aku kembali menulis ngalor-ngidul dengan riang—dan Minggu malam sudah mengamuk lagi soal pekerjaan. L-y-f-e.