Selamatkan Diri sebelum Kamu Bunuh Diri

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
23 Maret 2017 18:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
What doesn't kill you makes you stronger Stand a little taller .... What doesn't kill you makes a fighter Footsteps even lighter Begitulah kata Mbak Kelly Clarkson --yang nyaris seumuran saya. Dan memang begitu adanya, setidaknya menurut pengalaman saya.
ADVERTISEMENT
Bukan berarti saya pernah berniat bunuh diri. Saya cuma pernah bosan hidup (eh, beda enggak sih?) Hidup yang membosankan (buat saya) adalah hidup yang menjemukan, monoton, rutin, tertekan, dan tak memiliki kebaruan.
Saya kebetulan memang seorang pembosan, alias orang yang cenderung cepat bosan. Sifat ini memperburuk keadaan ketika rasa depresi menyerang --dan tentu tak semua orang tahu kapan saya dilanda depresi akut.
Ada satu masa --atau beberapa masa ya? saya kok jadi ragu, haha-- ketika saya dilanda depresi, karena berbagai alasan yang tak perlu dirinci karena semua orang jelas punya masalah masing-masing.
Ketika depresi menerpa, bahkan berdiri di depan pintu kantor membuat saya ingin mati saja. Padahal, saya sehari-hari bekerja. Jadi bagaimana bisa menghindarinya? Ini satu masalah lagi --yang mesti cepat dicari penyelesaiannya sebelum saya mati sungguhan, atau sakit jiwa.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya, selama masih bisa berpikir waras meski stres berat, kita bisa membuat dan meracik sendiri resep untuk mengatasi rasa depresi.
Begini: siapa yang paling tahu tentang kondisi kita? Kita sendiri kan?
Siapa yang paling tahu tentang apa yang kita inginkan? Kita juga kan?
Hidupmu adalah milikmu, bukan milik orang lain.
Jadi, kita bisa mencoba membuat daftar tentang apa-apa saja penyebab depresi atau frustrasi kita, dan menyusun daftar juga tentang apa-apa saja yang diperlukan untuk mengatasinya.
Namun, setelah menulis resep, kadang tak semudah itu juga menemukan obatnya. Ini jadi tambahan masalah, yang jika dibiarkan menumpuk akan menyebabkan depresi akut.
Tiap orang punya cara berbeda untuk menyembuhkan diri, setidak-tidaknya membuat diri lebih nyaman dengan melepas sedikit rasa sesak di dada. Paling bagus, kata pakar, berbagi cerita dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Tapi, bagaimana kalau itu masih tak cukup? Mungkin kita bisa coba menyalurkan rasa depresi melalui tulisan, lukisan, nyanyian, tarian, atau apapun yang kita suka.
Sudah dua tahun terakhir ini misalnya, saya mencoba mengatasi rasa stres (ya kalau sedang stres, tidak terus-terusan) lewat puisi.
Saya tak terlalu peduli puisi saya bagus atau tidak, dipahami orang atau tidak, banyak yang nge-like atau tidak, karena memang itu tak penting buat saya.
Yang penting, lewat puisi-puisi muram itu (seorang kawan menjulukinya puisi gotik, mungkin saking suramnya) saya menyuarakan apa yang dalam kehidupan nyata tak selalu bisa saya teriakkan (lah nanti kalau orang-orang kaget melihat saya teriak-teriak sendiri, bagaimana?)
Jadi, inilah puisi yang saya buat di masa saya ingin mati saja setiap kali melihat pintu itu.
ADVERTISEMENT
Negeri Kelabu
sepuluh tahun lalu kala kita belum bertemu lidah tak terserang kelu dan hidup lepas dari cengkeram jemu
aku menulis di secarik kertas senandung cinta untuk tanah nun jauh yang hanya kutemui di mimpi malam melintas dan kusentuh di lembar-lembar kitab terisi penuh
aku menyebutnya Negeri Kelabu tempat segala muram bersemayam di bawah putih langit bersalju dilingkari dingin angin menderu menikam
hati-hati dengan lamunan, kata mereka ganjil melihatku bergeming di genting sepanjang senja aku tersenyum, membiarkan semua sembarang menerka kembali menatap lembayung di sore manja
aku berdiri, merentangkan kedua tangan ke angkasa merasakan embusan udara di sekujur tubuh meramal badai yang akan mengadang para perasa mengirim bisik rahasia untuk jiwa-jiwa rapuh
ADVERTISEMENT
kalbuku bongkah jelaga magnet seluruh suram dan kelam masa silam mewujud kompas menuju hitam telaga merayumu menyelam lalu menarikmu tenggelam
.....................................
aku di antara dua lintasan dengan gemuruh melesat di kiri dan kanan mata-mata membelalak ngeri aku diam tenang, kaki kokoh terpatri
bising itu lenyap selusin gerbong logam berlalu dalam sekejap aku melangkah menyeberangi jalur baja menertawakan nasib tragis Anna Karenina
kegilaan menyelimuti hantu perempuan bangsawan membuntuti benakmu berduka kau memutuskan menjemput dia --di tempatnya mati seketika
tiga belas hari lagi aku memasuki gerbang Kerajaan Bayang-Bayang imperium persekutuan realitas dan fantasi sumber api kesintingan di petang jalang
setelah itu mungkin aku tak ingin pulang mendekap roh perempuan hantu di awang mencari ruang hampa untuk menghilang
ADVERTISEMENT
Oh ya, berikut lagu yang mengiringi saya mencipta puisi suram di atas --soundtrack film The Hours yang naskahnya diadaptasi dari novel berjudul serupa, menceritakan tentang tiga perempuan beda generasi yang dihubungkan lewat novel Mrs Dalloway karya Virginia Woolf.
Woolf ialah penulis Inggris yang mengidap penyakit mental dan memilih mengakhiri hidup dengan menenggelamkan diri.
Tentu saja, sampai saat ini saya belum menghilang di ruang hampa. Saya belum mendekap hantu di awang, saya tetap pulang, saya menemukan pintu lain, saya baik-baik saja dengan pasang-surut gelombang kehidupan, dan saya bisa menerima sisi gelap saya dengan damai.
ADVERTISEMENT