Serpihan Hati

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
16 Februari 2018 0:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
You’re going in vain. … You won’t get away from yourselves. ― Leo Tolstoy, Anna Karenina
Mereka sedang dalam suatu perjalanan. Bersama tapi berpencar. Beriring tapi berjarak.
ADVERTISEMENT
Anjani ragu. Apa ia harus mendekat, atau menjaga ruang aman. Hingga ia melihat lelaki itu terhuyung. Anjani langsung menghalau rasa bimbang, meneguhkan hati, dan menghampiri pasti. Tak peduli lagi dengan tatapan mencela yang mungkin ia terima.
Ia mengulurkan tangan ke arah Nir, dan menyangga tubuhnya yang goyah. Nir tersenyum. Mereka berjalan bersisian. Tak ada kata terucap, hanya lengan tertaut satu sama lain.
Sampai seseorang memanggil Nir dari kejauhan, dan mantra itu musnah. Nir melepas lengan Anjani, dan melambaikan tangan tanda berpisah.
***
Anjani membuka mata. Kilau cahaya putih memantul dari kaca. Ia mengerjap, lalu bangkit berdiri dan melangkah menuju jendela. Langit malam muram berselubung putih. Dahan ranting pohon menjulur kurus kering kedinginan. Taman bermain terkubur tebal salju.
ADVERTISEMENT
Ini malam heningnya di Moskow, dan dia malah disambangi Nir dalam mimpi. Ia tahu kondisi Nir sedang tak baik, dan lelaki itu tetap harus menempuh perjalanan jauh dari selatan ke utara―seperti dia.
Terakhir kali mereka bertemu, Nir lupa membawa obatnya, dan terserang panik begitu petang merambat datang. Anjani, dengan berat hati, terpaksa melepasnya sebelum malam hilang.
“Jangan terlalu gila kerja, batasi bepergian,” kata Anjani senja itu. Ia menatap Nir, mencermati pendar putih kelabu yang makin banyak muncul di kepala lelaki itu, dan menyentuhnya lembut, “You’re getting old.”
Anjani mencoba mengingat usia Nir, namun tak berhasil. Ia sudah agak lama berhenti menghitung umur orang―kecuali untuk keperluan profesional semisal berucap selamat ulang tahun rutin guna menjaga jalinan perkawanan dalam dunia kerja.
ADVERTISEMENT
“I’m going to Prague and Paris,” kata Nir dengan wajah lelah. Anjani menoleh padanya, “Can’t you just delegate it to another?”
“No, I can’t,” jawab Nir. Anjani menggelengkan kepala, “Just don’t be too hard to yourself.”
Nir tersenyum dan merengkuh bahu Anjani.
Petang itu satu dari perjumpaan langka mereka. Dan ingatan-ingatan akan Nir mendadak melintas deras di kepala Anjani. Ah, tentulah gara-gara mimpi itu.
Anjani jadi gelisah. Ia mengambil ponselnya dan berkirim pesan ke Nir. “Bagaimana Praha? Pasti cantik. Kamu baik di sana?”
Anjani kemudian menepuk dahi, sadar malam masih pekat dan Nir mungkin sedang terlelap.
Tapi ternyata tidak. Tak berapa lama, Nir menjawab. “Praha cantik, tapi aku tak bisa jalan jauh-jauh dari hotel lokasi konferensi. Sejak turun dari tangga pesawat, badanku terasa sakit. Dan jadi susah tidur.”
ADVERTISEMENT
Oh dear, Anjani mendesah, teringat tubuh goyah Nir dalam mimpinya.
Nir balik bertanya, “How’s Moscow? Kamu suka di sana?”
Anjani terbayang beberapa sloki vodka yang ia tenggak di White Rabbit Bar malam sebelumnya. Selain itu, well, ia mengetikkan balasan, “Not really. Moskow kaku. Aku menantikan Saint Petersburg.”
***
Tirai malam turun kala Anjani melangkah keluar dari Istana Musim Dingin. Ia tak menemukan Anna di sana. Tak ada tanda-tanda keberadaan Anna pada seribu lebih ruangannya, dan kaki Anjani tak kuat lagi menapaki anak-anak tangga istana yang pertama kali direkonstruksi megah oleh Maharani Anna Ivanovna pada 1731 itu.
Anna Ivanovna, Anna Karenina, Anna Kournikova, dan entah ada berapa Anna lagi―manusia atau hantu―yang tak terhitung jumlahnya di negeri ini, gerutu Anjani sambil mengempaskan tubuh ke kursi taman Istana.
ADVERTISEMENT
Ia lelah, dan menimbang untuk melupakan saja niatnya mencari Anna. Bila memang hantu bermantel merah―yang muncul dan hilang mendadak―itu tak dapat ia tangkap dan sekap di botol tersumbat, apa boleh buat.
Anjani menengadah. Salju tak henti turun, tapi Saint Petersburg terasa hangat malam itu.
Ia menatap dinding-dinding hijau tosca Istana Musim Dingin, mengangkat ponsel, memotret bangunan megah itu, lalu mengirimkannya ke Nir. “Beautiful, isn’t it?”
Anjani berbalas pesan dengan Nir sambil meluruskan kaki selama beberapa waktu, sebelum berjalan pulang. Apartemen tempatnya tinggal hanya beberapa blok dari sana, dan ia tak hendak menumpang bus.
Ia berjalan pelan, seakan semua waktu di dunia dalam genggaman. Dari Anichkov Bridge, Anjani memandang lalu lintas kota dalam gerak lambat.
ADVERTISEMENT
Malam bergulir lamban di belahan bumi utara, dan segala kenangan―seperti biasa―jatuh ke pelupuk mata.
when din of day for mortals softly ends and down on the mute city squares the half-transparent shade of night descends with slumber, balm of daylong cares
then, in the still for me the hours bring exhausting sleepless pains anew searing in blank of night, the serpent's sting venoms my heart with acid rue
black fancies seethe, and floods of anguish blast the corners of my burdened soul without a sound, remembrance of things past unwind to me her lengthy scroll
then reading with disgust the writ of years I tremble, damn my every day bawl bitter plaints, and bitterly shed tears but wipe not one sad line away
ADVERTISEMENT
Remembrance. Larik-larik sajak Alexander Pushkin itu mengisi kepala Anjani―kepalanya yang terasa kosong, seperti hatinya yang kosong.
“Suwung”, kata Nir pada satu waktu. Hampa. Dan Anjani tak asing dengan perasaan itu.
Hampa―disusul murka―menghasilkan petaka.
Anjani ingat betul saat suatu sore hatinya bergolak. Ketika itu rasa hampanya menggumpal di dada dan menggelegak mewujud amarah. Ia duduk di kursi kerja dengan mata nyalang menatap layar, dan melepas pikiran gusarnya ganas mengembara.
Bunyi-bunyi bising di sekitarnya jadi sayup-sayup. Benaknya bertempur: jaga atau hancurkan, setia atau khianat.
Dan pengkhianatan amat menggoda, sebab bagaimana tidak bila parang pedang diam-diam dihunus, siap saling tikam. Anjani harus memasang perisai kokoh untuk menangkal segala serangan yang diarahkan tak tentu waktu, sembari menggenggam belatinya.
ADVERTISEMENT
Sore itu, detik demi detik berlalu lambat. Anjani lamat-lamat mendengar namanya dipanggil. Ia berdiri dan bergerak robot kikuk. Kaki kaku terantuk, tangan siap menarik pelatuk.
Ia mendengar hati-hati suara-suara yang berpusing. Satu kata saja bisa berujung keputusan penting. Dan demikianlah untaian kalimat memuakkan―meski diucapkan halus penuh stimulus―masuk ke gendang telinga.
Anjani langsung memuntahkan peluru.
***
BLAAR!! Suara ledakan menyalak memecah sunyi.
Anjani membuka mata dan terbaring kaku. Tubuhnya sulit digerakkan. Bibirnya kelu. Benaknya dipenuhi bayang perempuan bermantel merah tergeletak berlumur darah.
Anna, bisik Anjani. Ia bermimpi lagi.
Beberapa menit kemudian, otot-otot beku Anjani berangsur lentur.
Ia duduk tegak bersimbah keringat, lalu meraih ponsel yang terus-menerus bergetar.
Kabar datang dari seberang: bom meletus di gerbong kereta Saint Petersburg.
ADVERTISEMENT
***
Kutukan
Semua menuju tamat akhir sebuah dunia gilang-gemilang yang dibangun dengan emas 24 karat oleh para kesatria cemerlang
Perempuan itu berdiri di bibir tebing mata tajam menatap kaki langit Samudra bergolak diarak percik api topan beling Serpihan tajam terserak ke segala penjuru bersama aroma sangit
Amarah membara Kutukan terlontar dari kotak pandora Jagat terlempar
Di meja, kartu-kartu balok dan dadu porak-poranda disapu gelombang raksasa Mata-mata hitam merah domino memandang sendu ke arah semesta binasa
Sepotong kartu roboh di suatu malam menimpa barisan balok yang lelap mendengkur Bola rolet berhenti menggelinding, diam terpekur menyaksikan ruangan perlahan tenggelam
Siapa lebih dulu mati aku, kamu, kalian, kita―melekat bagai magnet Perempuan gila menggenggam revolver dan belati bak bermain Russian Roulette
ADVERTISEMENT
Hangus, pecah, musnah Semua tak lagi sama Belantara membentang paralel, tak mesti seirama Duniaku, duniamu, tertaut gundah
Semesta butiran debu tersesat dengan atom saling bersenyawa atau bertolak mendekat atau berjarak mendekap atau melumat
Ia berpijak goyah air garam menganak sungai dari bola mata Ia membangun dinding membendung tikaman resah membekukan rasa dan terbang dalam buta
Moskow, November 2016
Gambar diambil dari dokumen pribadi penulis dan Pexels. Prosa dan puisi ditulis putus-sambung pada waktu berbeda.