Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Badai Salju
12 Februari 2018 22:47 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Do you believe in a future everlasting life?
No, not in a future everlasting, but in an everlasting life here. There are moments, you reach moments, and time comes to a sudden stop, and it will become eternal.
― Fyodor Dostoyevsky, Demons
Aeroflot yang membawa penumpang dari Bandara Vnukovo Moskow ke Saint Petersburg mengalami beberapa kali turbulensi. Cuaca sedang tak begitu bagus. Badai salju mengamuk di daratan. Musim dingin datang terlalu cepat. Salju menebal sebelum Natal.
ADVERTISEMENT
Penerbangan itu bukannya tak menyenangkan. Lepas dari ketinggian 30.000 kaki, saat pesawat berada lebih tinggi dari awan-awan dingin pembentuk kristal salju, goncangan menghilang. Langit seketika cerah. Bola matahari menyembul di atas mega, dan sinarnya menyorot ke jendela pesawat.
Anjani menatap lingkaran bara matahari yang menyilaukan itu, dan membiarkan tubuhnya dibasuh hangat cahaya api. Ia tahu, di darat nanti akan sulit bertemu sinar mentari. Sejak di Moskow, salju sudah menghajar kota. Anjani ke mana-mana mengenakan pakaian empat lapis, atau ia―yang terbiasa hidup di iklim tropis―akan beku kedinginan.
Saat pesawat turun di ketinggian 25.000 kaki, langit biru jernih sekejap menghilang. Awan kelabu menggantung sejauh mata memandang. Selamat datang di Negeri Kelabu, bisik Anjani dengan senyum tersungging di bibir dan nyala api di mata.
ADVERTISEMENT
Sepuluh tahun Anjani menanti untuk memasuki gerbang Negeri Kelabu―yang selama ini dia kenal lewat novel-novel suram yang ia tanam di bawah bantal. Kalau bisa, ia tak ingin kembali. Menghilang saja ditelan salju menderu di bawah sana.
Imaji Anjani impian jadi kenyataan. Pesawat mendarat di Bandara Pulkovo di tengah badai salju. Selimut putih menghampar sepanjang 16 kilometer perjalanan ke kota. Anjani ingin berteriak-teriak girang, melempar diri dalam salju, dan membeku di sana―hingga ke ulu hati.
Setan-setan muram dalam kepalanya berloncatan keluar, menggandeng tangannya, membuat lingkaran, dan menari-nari bersama. Mari sini, mari menari, mari berlari, mari terbang, mari menghilang, genggam belatimu, ini duniamu.
Anjani mengenakan sarung tangan merahnya sebelum turun ke jalan. Ia berada di Prospekt Nevsky, jalan utama di St. Petersburg yang kerap menjadi latar lokasi dalam novel-novel Fyodor Dostoevsky, salah satu penulis besar Rusia.
ADVERTISEMENT
Anjani berdiri di tepi jalan, membiarkan butir-butir salju membasahi wajahnya, merasai angin dingin membelai sekujur tubuhnya, mendongak ke angkasa putih, sebelum akhirnya masuk ke apartemen. Dan betapa beruntung, karena jendela kamarnya persis menghadap pusat kota, dengan sudut hangat untuk bergelung.
Ia segera menata barang-barangnya, mengeluarkan peta kota yang ia ambil di bandara, melingkari sejumlah titik di peta, dan mengambil novel Milan Kundera dari ransel―The Unbearable Lightness of Being pinjaman seorang kawan yang tak akan sering ia jumpai lagi ketika kembali nanti.
… the absolute absence of a burden causes man to be lighter than air, to soar into the heights, take leave of the earth and his earthly being, and become only half real, his movements as free as they are insignificant.
ADVERTISEMENT
What then shall we choose? Weight or lightness?
Anjani tertegun membaca anyaman kata-kata itu. Meski baru menginjak halaman kedua, ia tahu akan menyukai apapun kisah yang tertuang dalam buku itu. Kata orang, beberapa buku seperti dibuat khusus untukmu, dan itulah perasaan Anjani ketika menyusuri kalimat demi kalimat novel Milan Kundera itu.
Terlebih ketika di lembar kelima nama Anna Karenina disebut.
She arrived the next evening, a handbag dangling from her shoulder, looking more elegant than before. She had a thick book under her arm. It was Anna Karenina.
Kepala Anjani langsung serasa dihantam. Jantungnya berdegup cepat. Ia menggenggam erat buku itu, lalu mendekapnya di dada.
Selama ini, bayang Anna Karenina yang melempar diri ke kereta bagai salah satu hantu yang melingkar nyaman di ceruk kepala Anjani. Kadang, hantu itu menggeliat bangkit, lantas keluar dari sarang hangatnya dan mengacak-acak jaringan saraf serebrum Anjani.
ADVERTISEMENT
Karakter fiksi ciptaan Leo Tolstoy itu menjelma lelembut yang bergentayangan di semesta Anjani. Kata-kata beracunnya sama berbahaya dengan tikaman belati.
Love. The reason I dislike that word is that it means too much for me, far more than you can understand.
Anna yang bodoh, tak heran kau mati, pikir Anjani, lalu tersenyum menyadari ia tak lebih cerdas dari Anna. Kalau pandai, sudah tentu ia tak bakal terpikat pada Nir.
Anjani melempar pandang ke jendela, menatap denyut kota asal Anna dalam siraman salju. Ia kemudian memutuskan untuk menyusuri Prospekt Nevsky ke arah barat laut kota. Ada banyak tempat yang bisa ia sambangi sepanjang jalan, dan ia berniat menyapu bersih semua lokasi. Sebab, mana ia tahu Anna berada di mana?
ADVERTISEMENT
Ia harus menemukan hantu Anna―dan mungkin menyekapnya di botol tersumbat―untuk mengakhiri perang tak berkesudahan di kepalanya.
Anjani bergegas mengenakan sweater dan puffer coat, memasang kaus kaki tebal dan sepatu bot, serta merekatkan kembali sarung tangan merahnya. Ia lalu keluar, menyerahkan diri pada hujan salju.
Usai berputar-putar di Arts Square―memandang arca Alexander Pushkin*(1) dari segala sudut; menjelajah seluruh ruangan Russian Museum―dan menyambangi gereja “berdarah” yang berwarna meriah pada ujung kubah-kubah runcingnya, Anjani merasa tangan dan kakinya mulai kebas.
Ia lalu berjalan cepat-cepat di sepanjang Kanal Griboedov dengan kedua tangan separuh membeku dimasukkan ke saku mantel. Suhu turun entah minus berapa derajat lagi. Angin makin kencang dan butir-butir salju kian kuat menerpa wajah.
ADVERTISEMENT
Sesampai di perempatan besar Katedral Kazan―landmark kota yang menyerupai Basilika Santo Petrus Vatikan, Anjani berbelok masuk ke bangunan bergaya Art Noveau*(2) di seberang katedral itu. Hangat langsung merambat.
Di dalam gedung, buku-buku berbaris rapi. Itulah Dom Knigi, toko buku terbesar di Saint Petersburg. Anjani menyusuri rak demi rak. Hampir semua literatur beraksara Cyrillic. Ia menggeleng-gelengkan kepala, menyerah dengan huruf-huruf yang tak ia kuasai itu, kemudian naik ke lantai atas.
Kafe Zinger di lantai dua punya pemandangan “mewah” ke jantung Katedral Kazan yang disangga megah oleh 136 pilar. Anjani memilih meja tepat di samping jendela, lalu memesan cokelat panas dan hidangan klasik Eropa Timur: borsch―sup sayur merah darah.
Sembari menyesap cokelat dan menyendok perlahan kuah merah borsch*(3), ia menghabiskan waktu sesorean di kafe itu bersama buku Milan Kundera.
ADVERTISEMENT
Waktu membeku. Sore tak habis-habis. Senja tak juga datang. Dunia bergerak dalam tempo lambat. Dan Anjani tenggelam sepenuhnya dalam semesta yang dibentangkan Kundera.
... betrayal is the most heinous offense imaginable. But what is betrayal? Betrayal means breaking ranks. Betrayal means breaking ranks and going off into the unknown. Sabina knew of nothing more magnificent than going off into the unknown.
Barulah pada bab ketiga itu, ruang kedap itu retak dan waktu kembali bergerak.
Anjani tersentak melihat ransel yang ia taruh di kursi kosong di sampingnya bergeser, lalu terangkat. Ada yang mengambil ranselnya!
Anjani bergerak cepat. Ia berdiri dari kursi dan menjulurkan tangan, merebut kembali tas miliknya sebelum si pencopet membawanya kabur. Namun tas itu terasa lebih ringan. Anjani mengecek isinya dan segera sadar apa yang hilang: bungkusan kain beledu merah.
ADVERTISEMENT
Ia geram dan menatap si bandit, lantas terkesiap karena mengenali wajah itu. Dia lelaki yang beberapa bulan lalu bertemu dengannya di Cameron Highlands. Lelaki yang mendekati dia di kedai Tanah Rata, dan menguntitnya hingga ke hutan berlumut berkabut di Brinchang.
Ingatan Anjani seketika terlempar ke belakang, ke beberapa bulan sebelumnya saat ia berhenti di tengah pendakian Gunung Irau. Kala itu, dia duduk di bebatuan Mossy Forest sembari menggenggam belatinya, dan mendadak sebilah badik perak―entah dari mana datangnya―meluncur ke arahnya, hampir menyambar tubuhnya.
Anjani, yang terperangah melihat badik terbang itu, meloncat menghindar―dengan tangan tetap mencengkeram belati.
Tak berapa lama, lelaki itu muncul dari balik kabut. “I don’t want to hurt you. But I need that black dagger.”
ADVERTISEMENT
Anjani mengernyitkan dahi, mempererat kepalan tangan pada belati, dan berkata, “No, never. This is mine.”
Dan sembilan bulan berlalu sejak kejadian itu, Anjani kini berhadapan lagi dengan si penganggu―di belahan Bumi berbeda.
Beradu tatap dengan Anjani, lelaki pengusik itu kali ini tampak tak ingin bicara sepatah kata pun. Ia berbalik cepat menuruni tangga.
Anjani mengejarnya. Ia menyambar mantelnya sekenanya, membuat mantel itu menyenggol mangkuk borsch, dan kuah merah segera tumpah menyebar ke penjuru meja.
“Prostite*(4),” kata Anjani kepada pelayan di kafe itu, sebelum berderap keluar memburu si lelaki copet.
Di luar Dom Knigi, Anjani memindai kerumunan di semua arah, dan merasa melihat pria yang ia cari berjalan cepat ke barat. Anjani menerabas keramaian dan setengah berlari mengikuti langkah cepat si lelaki. Orang itu berbelok ke Istana Musim Dingin.
Salju makin menggila menghantam kota. Badai menyerbu. Pilar tinggi besar di alun-alun Istana terlihat samar didera lebat hujan salju. Anjani kehilangan jejak si pengacau. Kehilangan beledu merahnya.
ADVERTISEMENT
Jengkel, Anjani menjatuhkan diri ke timbunan salju, berbaring diam tak bergerak, membiarkan salju menyiram tubuhnya―dan mungkin membekukan batang otaknya.
Betapa nyaman, pikir Anjani. Ia tiba-tiba teringat cerita Gadis Penjual Korek Api-nya Hans Christian Andersen―yang mati tertelungkup dalam dingin salju. Orang-orang merasa kasihan pada gadis kecil itu, padahal dia senang karena tak harus bertarung lagi di dunia yang kejam.
“Ty v poryadke?*(5)” Seorang perempuan bermantel merah tahu-tahu membungkukkan badan dan duduk di samping Anjani, membuatnya kaget.
“Da,” jawab Anjani, bergegas bangkit dari lakon mati surinya. Ia bersila di atas salju dan tersenyum kepada perempuan bermata biru yang menatapnya. Mereka mungkin sebaya.
Perempuan itu lantas berbicara cepat, membuat Anjani bingung. Ia memotong ucapan deras itu dalam Bahasa Rusia patah-patah.
ADVERTISEMENT
“Govorite pozhaluista myedlenye. Ya plokha govoryu po-russki.*(6) Do you speak English?” tanya Anjani.
Giliran si mantel merah kebingungan. “English? Net,” ujarnya menggelengkan kepala.
“Okay, no problem,” kata Anjani. Ia lantas mengulurkan tangan, “Hello, I’m Anjani.”
Perempuan itu menyambut uluran tangan Anjani. “Anna.”
Anna merogoh sesuatu di balik mantel berbulu merahnya, dan mengangsurkan beledu merah kepada Anjani.
Untuk kesekian kalinya hari itu, Anjani terperanjat. Beledu merahnya yang hilang dicuri satu jam lalu, kembali ke tangannya. Ia cepat membuka bungkusan merah itu, dan melihat belatinya masih tersimpan rapi.
Anjani mendongak. Senja turun, Anna menghilang. Anjani berdiri dan mencari-cari sosok bermantel merah itu. Ia menyisir Palace Square, tapi tak melihat Anna di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Spaseeba Anna, bisik Anjani, lalu melangkah masuk ke dalam Istana, kembali mencari hantu Anna.
***
Catatan kaki:
*(1) Penyair besar Rusia yang kerap dianggap pionir sastra modern Rusia. Ia mati muda, 37 tahun, dalam duel dengan perwira Prancis di Resimen Pengawal Rusia yang mencoba menggoda istrinya.
(2) Aliran seni rupa, termasuk arsitektur, yang populer pada 1890-1910. Menonjolkan struktur alami seperti garis lengkung atau karakter yang meliuk-liuk.
(3) Sup sayur berisi pasta tomat, daging, dan sayuran. Salah satu bahan utama sup ini ialah ubi bit merah keunguan―yang membuat kuah sup berwarna merah.
(4) Maaf.
(5) Apa kamu baik-baik saja?
(6) Bisakah kamu bicara perlahan? Bahasa Rusia-ku buruk.
Negeri Kelabu
ADVERTISEMENT
/1/
sepuluh tahun lalu
kala kita belum bertemu
lidah tak terserang kelu
dan hidup lepas dari cengkeram jemu
aku menulis di secarik kertas
senandung cinta untuk tanah nun jauh
yang hanya kutemui di mimpi malam melintas
dan kusentuh di lembar-lembar kitab terisi penuh
aku menyebutnya Negeri Kelabu
tempat segala muram bersemayam
di bawah putih langit bersalju
dilingkari dingin angin menderu menikam
hati-hati dengan lamunan, kata mereka
ganjil melihatku bergeming di genting sepanjang senja
aku tersenyum, membiarkan semua sembarang menerka
kembali menatap lembayung di sore manja
aku berdiri, merentangkan kedua tangan ke angkasa
merasakan embusan udara di sekujur tubuh
meramal badai yang akan mengadang para perasa
mengirim bisik rahasia untuk jiwa-jiwa rapuh
ADVERTISEMENT
kalbuku bongkah jelaga
magnet seluruh suram dan kelam masa silam
mewujud kompas menuju hitam telaga
merayumu menyelam lalu menarikmu tenggelam
/2/
aku di antara dua lintasan
dengan gemuruh melesat di kiri dan kanan
mata-mata membelalak ngeri
aku diam tenang, kaki kokoh terpatri
bising itu lenyap
selusin gerbong logam berlalu dalam sekejap
aku melangkah menyeberangi jalur baja
menertawakan nasib tragis Anna Karenina
kegilaan menyelimuti
hantu perempuan bangsawan membuntuti
benakmu berduka
kau memutuskan menjemput dia―di tempatnya mati seketika
tiga hari lagi
aku memasuki gerbang Kerajaan Bayang-Bayang
imperium persekutuan realitas dan fantasi
sumber api kesintingan di petang jalang
setelah itu
mungkin aku tak ingin pulang
mendekap roh perempuan hantu di awang
mencari ruang hampa untuk menghilang
ADVERTISEMENT
Menuju St. Petersburg, November 2016
Gambar diambil dari dokumen pribadi penulis, Pixabay, Unsplash, dan Wikimedia Commons. Prosa dan puisi ditulis putus-sambung pada waktu berbeda.