Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dikepung Kabut
27 Januari 2018 11:32 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
We are all subject to the fates. But we must act as if we are not, or die of despair.
― Philip Pullman, The Golden Compass
Kabut tebal dan hujan lebat menyapa begitu Anjani keluar dari bus dan menginjakkan kaki di Tanah Rata. Ia mengencangkan ikatan jaketnya, membuka payung, dan menghirup aroma segar petrikor yang menyelimuti sekeliling.
ADVERTISEMENT
Di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut, dengan hawa dingin menyergap dan angin kencang menerpa, Anjani langsung berjalan-jalan memutari kota kecil―namun yang terbesardi Cameron Highlands itu.
Perlahan, air surut dari langit, namun kabut masih melayang pekat di udara. Anjani tak merasa terganggu. Ia tak keberatan kabut menyembunyikan segalanya, termasuk dirinya. Sudah terlalu lama hidupnya berkabut, dan melangkah di antara keruh kabut jadi makanannya sehari-hari.
Di satu tikungan, Anjani melihat kedai yang cukup ramai. Ia masuk dan mencari sudut nyaman untuk menyendiri―menjaga jarak dengan manusia lain. Ia memesan teh hangat dan kari, berniat mengisi perut sebelum kembali berkeliling melihat-lihat apapun yang bisa dilihat.
Anjani melempar pandang ke jendela. Di kejauhan, di balik kabut, samar-samar gunung menjulang. Anjani mengambil peta dari ransel dan membentangkannya di meja, tak tahu pasti apa yang ia cari. Yang jelas, esok ia akan ke Brinchang, naik lima kilometer lagi ke atas.
ADVERTISEMENT
Kabut Cameron Highlands lebih memikat di Brinchang ketimbang Tanah Rata, dan Anjani merasa harus ke sana (seperti biasa, ia terdorong mendekati kelam pekat).
Ia melipat peta, membuka sejumlah brosur paket tur yang sempat dia ambil di salah satu stan agen travel, dan memilih-milih tur yang mungkin menarik (sayang, satu sama lain tak jauh beda, amat komersial tentu saja).
Senja hinggap di pelupuk mata ketika Anjani menyesap teh yang tak lagi hangat akibat dikepung dingin angin gunung. Kabut menyekap kilau mentari di barat, namun langit semburat jingga, melontarkan setumpuk kenangan ke meja Anjani.
Kabut dan kenangan… kabut kenangan… kenangan berkabut…
Anjani jatuh dalam lamunan, menarik diri dari dunia, tenggelam ke alam mimpi. Sampai seorang lelaki paruh baya duduk di hadapan dia dan mengusiknya.
ADVERTISEMENT
Anjani mengerjap kaget melihat kedatangan tamu tak diundang itu. Ia ditarik paksa dari lamunan dalamnya.
“Where are you from?” kata si entah siapa. “Jakarta,” jawab Anjani pendek.
“Saya pernah ke Bandung, dekat Jakarta,” kata lelaki kulit putih itu dalam Bahasa Indonesia patah-patah.
Anjani hanya mengangguk sambil mengedarkan pandangan ke seisi ruangan, mencari tahu apakah kedai itu amat penuh sehingga orang itu sampai harus mengusiknya di sudut yang jauh dari keramaian.
Kedai riuh, tapi tak sesak. Masih ada tempat di sana sini bagi pengunjung yang baru datang. Anjani tak memberi tanda berminat melanjutkan percakapan, tapi lelaki tak diundang itu tampak tak peduli. Ia terus bicara.
“How old are you?” tanyanya. Anjani merasa lelaki itu mulai kurang ajar. Menanyakan umur pada orang asing yang baru ditemui tak bisa dibilang sopan. Anjani tak menjawab, tapi balik bertanya jengkel, “What do you want?”
ADVERTISEMENT
Lelaki itu tanpa tedeng aling-aling berkata, “Would you come with me tonight? I know nice place around.” Anjani mendelik kesal, “No.”
“I can pick you up,” kata lelaki itu, menawar. Anjani melengos, “I said, no.”
Ia berdiri dari kursi dan melangkah cepat keluar, lalu berjalan berputar-putar lebih dulu, semacam menghilangkan jejak untuk mengantisipasi bila dikuntit, sebelum akhirnya berbelok menuju penginapan.
Kalau saja ada Nir… yang tentu tak mungkin, gumam Anjani pada diri sendiri. Nir berjarak 14 jam penerbangan darinya, sibuk mengurusi kelompok pemberontak.
Anjani menarik napas, lalu menelepon salah satu agen tur untuk mengatur perjalanan ke Brinchang esok pagi. Setidaknya, bila lara tak tertahankan, aku dapat menghilang ditelan kabut, pikir Anjani.
Keesokannya, saat Land Rover menjemput, Anjani telah mengenakan sepatu kets ringan dan jaketnya yang paling tebal. Cuaca pagi itu lebih dingin, dan kabut belum terangkat.
ADVERTISEMENT
Memanggul ransel di bahu, Anjani naik ke mobil, bergabung dengan dua wisatawan asal Filipina. Jelas sekali mereka sepasang kekasih. Anjani tersenyum menyapa, berkenalan sekadarnya. Kemudian kendaraan penjelajah itu segera meluncur, melintasi jalan beraspal yang berkelok-kelok curam.
Jalanan di Cameron Highlands adalah yang tertinggi di Malaysia, dengan jurang dan hamparan kebun teh di kanan dan kiri jalan. Bagi yang tak biasa dengan rute mendaki berzig-zag, obat mual harus di tangan.
Kian menanjak, jalanan makin sempit licin, dan kebun teh berganti hutan dengan pepohonan rimbun. Hingga akhirnya terdapat papan kayu besar bertuliskan “Mossy Forest” di sisi jalan.
Itulah hutan berlumut Gunung Brinchang yang dipenuhi kawanan pohon raksasa dengan akar-akar besar saling membelit dan sulur-sulur menjulur berkelindan.
Land Rover terus melaju hingga ujung jalan. Di puncak, berdiri menara pengawas yang tak terlampau tinggi dengan besi digerogoti karat. Anjani dan dua turis Filipina rekan seperjalanannya turun dari mobil.
ADVERTISEMENT
Anjani lega terbebas dari jalan berliku yang bak tak berhulu. Ia melebur dengan udara segar cenderung lembab yang mengambang di tempat itu, memuaskan diri memandang bentang alam hijau tak bertepi, lalu melangkah menuju menara.
Meski menara tua tiga tingkat itu tak begitu jangkung, menapak anak-anak tangganya menuju lantai teratas terasa amat mengundang. Mengapa pula tidak, sebab sudah sejauh itu ia melalui perjalanan menembus kabut hingga ketinggian 2.031 mdpl.
Anjani melangkah naik lambat-lambat, sekadar berjaga-jaga agar tak terpeleset atau terperosok di antara anak tangga. Sampai di atas, lanskap bebukitan terlihat makin menawan, dengan kabut tebal tipis menggantung di sana sini.
Kabut membuat senyawa-senyawa dalam tubuh Anjani seolah berpencar melumer, larut bersama embusan angin dan bercampur dengan uap air yang terkondensasi. Kepala Anjani mendadak terasa ringan, seakan segenap benang pikiran yang saling silang melilit otaknya perlahan terberai.
ADVERTISEMENT
Jika jiwa memiliki partikel-partikel yang saling erat mengikat, maka Anjani tak keberatan melepas mereka pergi agar hatinya seringan kapas. Ia sering lelah―meski tak selalu kalah―memacu fisik dan psike beradu kuat dengan ragam perkara dunia, yang kesemuaya itu kian kronis karena hatinya terkoyak dan berkabut.
Anjani tak punya obat untuk hatinya yang tercabik. Ia membiarkan saja darah merembes keluar pelan-pelan sampai suatu hari nanti cairan itu habis sendiri.
Sekali waktu―yang kelewat jarang―darah itu mengering sementara saat ia menerabas batas, mengangkat sekat, dan merampas masa untuk berjumpa Nir. Tapi beberapa pekan kemudian, darah kembali menetes seolah jantungnya bocor.
Angan Anjani bertemperasan, dan tiba-tiba terputus seruan pemandu wisata yang memecah hening. “Miss, do you come with us to the forest?”
ADVERTISEMENT
Anjani tersentak sadar dan berteriak dari ketinggian, “Yes sure, wait a second!” Ia lalu meloncat-loncat lincah menuruni anak-anak tangga menara―kali ini tak terlalu hati-hati karena tahu besi-besi menara masih cukup kuat untuk menahan beban satu orang saja.
Beberapa saat kemudian, Anjani memasuki Mossy Forest atau Hutan Berlumut―yang bagai di dunia lain. Pepohonan tinggi besar berdiri berpencaran. Mereka seperti raksasa-raksasa berlumut yang tegak menjulang mengadang jalan. Sejumlah pikiran liar langsung berkelebat di kepala Anjani.
Pertama, ia menjejak dimensi berbeda. Kedua, ia memasuki labirin hijau tak berkoridor tak berdinding yang tak jelas di mana pintu keluarnya―dan tak berharap tamat seperti Raja Babilonia pada kisah The Two Kings and the Two Labyrinths Jorge Luis Borges yang berakhir merana di labirin gurun.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ia berhadapan dengan para Ent―makhluk menyerupai pohon yang hidup di Hutan Fangorn, Pegunungan Berkabut, dalam The Lord of the Rings.
Seperti biasa, benak Anjani berkelana lebih cepat dari langkahnya.
“Watch your step,” ujar si pemandu. Anjani dan teman-teman asingnya mulai menyibak hutan berlumut itu, laksana manusia kerdil mengarungi dunia gergasi.
Jika semua sesuai rencana, perjalanan “babat alas” itu akan memakan waktu tiga-empat jam. Mereka menuju Irau, gunung tertinggi di Cameron Highlands.
Berada di tengah hutan sunyi, didekap suhu 12 derajat Celcius, dengan sinar mentari yang sesekali menyorot di sela rapat dahan pohon, Anjani sesekali menoleh iri pada pasangan Filipina yang mendaki bersamanya.
Ia tak akan pernah punya kesempatan seperti itu bersama Nir. Mereka seperti hidup di semesta berbeda, meski sama menjejak Bumi.
ADVERTISEMENT
Anjani diam-diam menghitung: 12 jam, itulah waktu paling lama yang bisa ia curi dari Nir―12 bulan sekali.
Ulu hati Anjani tiba-tiba terasa sakit seperti ditikam belati. Ia harus berhenti. Tak bisa memaksakan diri.
Anjani berkata kepada rekan-rekannya kakinya terkilir sehingga tak bisa melanjutkan perjalanan. Ia meminta mereka meneruskan pendakian, dan ia akan menunggu ketiganya di titik itu, sembari duduk di bebatuan mengistirahatkan kaki.
Pemandunya sempat ragu dan bingung. Namun Anjani meyakinkan, ia tak apa ditinggal sendiri. “Don’t worry. I won’t go anywhere. I have enough drink and supplies.”
Begitu telah sendiri, Anjani membuka ransel dan mengeluarkan bungkusan beledu merah darah . Pelan, ia menyentuh tepi kain itu, lalu meraba isinya―yang tipis tajam pada kedua sisi.
ADVERTISEMENT
Pendar matahari terbenam jatuh ke bongkah batu tempat Anjani duduk kala ia membuka beledu merah itu dan meletakkan isinya ke pangkuan: belati hitam berkilat .
Dari kejauhan, di balik satu pohon berlumut raksasa, sesosok lelaki memperhatikan diam-diam. Ia orang yang mendekati Anjani di kedai. Di tangan lelaki itu, badik perak berkilau erat tergenggam.
***
Dadu
hidupmu serupa dadu
berputar berpendar terlempar terkapar
tak pernah tahu
takdir akan mesra merangkul atau habis membakar
pagi saling mencandu, malam pahit beradu
siang menari riang, petang menyulut berang
hari ini melempar senyum manis madu
esok berbalik garang menyandang parang
di sini menindas menginjak tertawa
di sana menangis memohon kecut
di rawa perompak perkasa berjubah dewa
di laut menghindar badai berbalut kalut
ADVERTISEMENT
dalam kelam menghimpun pasukan menyusun makar
di medan tempur mundur teratur menakar sukar
seminggu menanti angin menghalau kabut
sewindu menyekap bara dalam serabut
hati mencinta sedalam samudra
jiwa memendam lara tiada tara
tak henti mencari gelombang abadi kehidupan
tapi terus mendengar dentang lonceng kematian
kubus kecil bermata merah
perlahan lelah melemah kalah
tak ada celah di antara bedebah
ia memilih musnah terbelah
Cameron Highlands, Februari 2016
Gambar diambil dari Unsplash, Wikimedia Commons, dan Pixabay. Prosa dan puisi ditulis putus-sambung pada waktu berbeda.