Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
St. Petersburg, si Cantik Penyembuh Luka Hati
30 April 2017 10:14 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
A view from my room...
Almost 10 years ago, I wrote bachelor thesis about Russian politics, and since then fall in love with this country culture.
On those days, I wrote on all my Russian books and novels: I'll go to Russia, to St. Petersburg, within 10 years.
And here I am, in a cozy simple chamber with astonishing sight to the beat of St. Petersburg, Russian cultural capital at the head of Baltic Sea.
It's really heartwarming though the temperature outside reach -8 degrees Celcius. Feels like just coming home :)
Begitulah yang saya tulis lima bulan lalu di St. Petersburg, Rusia.
Saat itu kali pertama saya menginjakkan kaki di kota cantik itu, dan suasana hati bahagia bukan main. One of those kind of “dream comes true” moment in my ordinary life.
ADVERTISEMENT
Saya mencinta kota itu bahkan sebelum pergi ke sana. Saya menunggu 10 tahun untuk akhirnya pergi ke sana! Sudahlah, ledakan gembira itu sungguh tak terkira buat saya.
Saya bukan orang yang bepergian tanpa tujuan, atau tanpa alasan. There’s always a reason behind, dan saya menganggap kepergian saya ke Rusia saat itu seperti semacam ziarah spiritual.
Sudah sejak lama saya menyimpan ketertarikan pada budaya Rusia.
Saat menulis skripsi tentang otoritarianisme Putin, saya tak puas hanya membaca jurnal-jurnal politik ilmiah tentang Rusia. Saya juga meminjam seabrek novel karya pengarang Rusia dari perpustakaan kampus.
Fyodor Dostoyevsky, Leo Tolstoy, Anton Chekov, Maxim Gorky, Alexander Solzhenitsyn, dan tentu saja penyair tersayang saya: Alexander Pushkin.
ADVERTISEMENT
Tapi jangan tanya dari beratus-ratus halaman karya mereka, mana yang saya ingat hingga kini—satu dekade berselang dari pertama kali saya melahapnya dengan rakus. Setengahnya pun tak ada.
Meski begitu, tiap melihat novel Rusia, saya selalu memandangnya dengan sayang, seperti memandang kekasih yang hilang.
Entah kenapa, saya suka dengan gaya para penulis Rusia—yang menurut kawan saya, Vetriciawizach—bernuansa suram, muram.
Foto di atas ialah monumen Alexander Sergeyevich Pushkin, penyair terbesar Rusia, yang terletak di depan State Russian Museum, St. Petersburg.
Dengan “kegilaan” saya pada Rusia, tak heran ketika suatu hari saya menerima pertanyaan: maukah ikut ke Rusia—Moskow dan St. Petersburg? Saya tak perlu berpikir dua kali untuk menjawab.
ADVERTISEMENT
“Yes, let’s go to the Land of the Tsars!”
Tentu saja saya paling menanti memasuki St. Petersburg.
Saya yang beberapa bulan menjelang keberangkatan ke Rusia sempat dilanda stres, bahkan berpikir: andai saja ada cara untuk menghilang di St. Petersburg dan tak perlu kembali lagi menghadapi rutinitas sehari-hari.
setelah itu
mungkin aku tak ingin pulang
mendekap roh perempuan hantu di awang
mencari ruang hampa untuk menghilang
Syukurlah sebelum benar-benar memutuskan menghilang di sana, Semesta mengatur kehidupan “baru” buat saya, yang setidaknya membuat saya bisa melepas rutinitas lama—untuk berhadapan dengan rutinitas baru.
Maka saat itu saya terbang ke Rusia dengan perasaan campur aduk: lega karena tidak harus menghilang, sekaligus sedih berpisah dengan orang-orang yang amat saya sayangi.
ADVERTISEMENT
“Pengembaraan” ke St. Petersburg sungguh menyembuhkan segala luka hati. Jarak membuat saya bisa bernapas, berpikir, sekaligus bersiap menyongsong kehidupan selanjutnya—apa pun itu yang menanti di depan.
Dingin salju dan beku cuaca memadamkan kobar api di hati.
Enough, now vanish! Your time is not endless -
The earth is refreshed and away gone the tempest;
And now the wind, fondling leaves of the trees,
With pleasure is driving you out the sky bliss.
ADVERTISEMENT
— The Cloud, Alexander Pushkin
Hari pertama tiba di St. Petersburg, saya disambut badai salju. Luar biasa.
Badai salju tentu tak mengurangi niat saya untuk berkelana bersama kawan-kawan—yang telah siap dengan dua lapis pakaian plus dua lapis jaket, lengkap dengan kaos kaki, sarung tangan, dan sepatu bot.
Kami berputar-putar—pagi, siang, malam—menikmati keindahan dan kemegahan arsitektur kota. Betapa kecantikan yang memanjakan mata!
Kota cantik itu terkoyak. Kota yang menjadi obat luka hati saya, sedang merana.
Mau-tak mau, meski saya bukan orang Rusia dan tak punya kekasih di St. Petersburg, saya ikut merasa sedih. Terlebih ketika melihat deretan foto tragedi ledakan itu—semburat merah darah memerciki pintu metro, korban-korban dievakuasi.
ADVERTISEMENT
Ah, kenapa selalu ada orang yang bangga mengorbankan sesama manusia?