Terra Incognita

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
30 Maret 2018 8:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Terra Incognita
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Banyak orang, sepanjang hidupnya, mungkin terus-menerus melangkah menuju terra incognita--tanah tak dikenal. Unknown land yang bukan hanya dalam artian negeri asing, tapi apapun area yang belum kita ketahui.
ADVERTISEMENT
Dua kata itu--terra incognita--tiba-tiba saja berdenyar di kepala ketika saya mendongak menatap langit berbintang mahaluas. Angkasa bersih jernih, dengan terang bulan menggantung sempurna di tengah serak serabut tipis awan sirus.
(Catatan: Gambar di bawah bukan langit yang saya lihat, sebab ponsel OPPO yang saya bawa tak kuat memotret objek dalam remang, apalagi langit malam. Jadi saya carikan ilustrasi supaya manis.)
Terra Incognita (1)
zoom-in-whitePerbesar
Sudah dua hari berturut-turut sejak kemarin, langit malam begitu cantik. Cerah berkilau berhias gemintang. Di sana, semesta raya yang entah di mana batasnya, terhampar terra incognita berjuta-juta tahun cahaya.
Umur manusia tak sampai berjuta tahun cahaya, tapi terra incognita akan kerap ia lalui sampai maut menjemput. Sebab perubahan dan pergerakan adalah keniscayaan. Begitu pula tumbukan dan tabrakan.
ADVERTISEMENT
“Zona tak diketahui” itu ada di mana-mana dalam laju kehidupan, dan kita belajar menjejaknya--entah dengan rasa waswas, curiga, atau penasaran.
Saya jadi ingat cerita konyol di masa awal bekerja, ketika diberi tugas liputan di tempat yang (kelihatannya) tak jauh dari kantor. Saat itu saya bekerja di daerah Kebon Sirih, di kompleks perkantoran yang berpusat pada satu gedung tinggi 20-an lantai yang terhitung menjulang di area itu.
Saya pikir, selama gedung tinggi itu terlihat dari mana pun tempat saya berdiri, artinya saya dekat dari kantor. Pemikiran yang kemudian terbukti bodoh. Sebab jarak bisa menipu, dan saya kena jerat ilusi visual.
Hari itu, saya berangkat dari kantor menggunakan bus, dan terasa cepat sampai ke lokasi liputan. Pulangnya, begitu melihat gedung tinggi--yang jadi ikon perusahaan induk saya--itu menjulang, saya memutuskan untuk jalan kaki. Hitung-hitung olahraga.
ADVERTISEMENT
Ternyata itu jadi olahraga sungguhan. Soalnya, lhadala, kok tak sampai-sampai.
Lupakan Google Maps. Sepuluh tahun lalu belum marak macam-macam smartphone dengan pelbagai aplikasi canggih seperti sekarang. Saya pakai Siemens C55--yang beberapa bulan kemudian berganti Nokia E71 untuk mendukung aktivitas mengetik cepat via ponsel. Di dalamnya sudah tentu tak ada Google Maps.
WhatsApp saja belum ada. Berkirim pesan teks via telepon seluler ya masih pakai cara konvensional: layanan pesan singkat SMS--tanpa gambar, emotikon, GIF, musik, video, atau ilustrasi apapun. Semua serba-datar, meski hidup tak pernah datar.
Baiklah, jadi tanpa Google Maps, tapi berbekal pucuk gedung tinggi sebagai kompas, saya jalan pulang ke kantor--yang ternyata butuh waktu lebih lama dari perkiraan. Lumayan, lumayan. Tapi tak kapok.
ADVERTISEMENT
Saya ketika itu memang hobi jalan kaki karena belum tahu Jakarta. Saya kan baru pertama kali datang ke ibu kota buat kerja. Jadi merasa wajib gentayangan supaya tahu berbagai lokasi. Apalagi saya wartawan toh, ngider ke sana ke mari tiap hari.
Jakarta, buat saya saat itu, adalah terra incognita. Sekarang, setelah satu dekade, tentu tak macam itu lagi. Dan pekan lalu, saat saya bersama suami dan anak kebetulan jalan-jalan lewat area Kebon Sirih, saya jadi senyum-senyum sendiri mengingat masa konyol itu.
“Bunda dulu ngantor di situ,” kata saya pada Aliyah, putri saya, sambil menunjuk areal perkantoran di dekat Stasiun Gondangdia. Ia terkagum-kagum melihat gedung tinggi di sana--yang padahal mungkin sebagian pegawainya tak digaji seberapa (don’t judge an employee’s salary from its office building).
ADVERTISEMENT
Ingatan saya lari ke hari pertama liputan. Ketika itu, setelah pagi-pagi disuruh blusukan becek ke pasar-pasar untuk mengecek harga daging, agak siang saya diminta menyeberang ke gedung parlemen. Yeah, dari pasar ke parlemen. Cool.
Lagi-lagi saya memasuki terra incognita. Bangunan sebegitu luas, bagaimana saya tahu mesti ke mana. Perintah yang saya dapat tak terlalu jelas pula, hanya: liput rapat Komisi V. Dan saya tak paham isu, tak kenal siapa-siapa, tak tahu apa-apa. Totally blank.
Kalau sebagian wartawan baru biasanya ditandem (ikut seniornya) untuk dilatih di lapangan, saya tak termasuk yang begitu. Macam, “pokoknya loe ke sana, ini tugasnya, kerjakan”. Well, “Siap, grak.”
Terra Incognita (2)
zoom-in-whitePerbesar
Kata orang, hidup di Jakarta keras. Jadi kala masih muda dulu (sekarang juga belum tua, kok) saya tak hendak berkeluh kesah. (Tapi sekarang makin bertambah umur mungkin makin “rewel” karena lilitan utang KPR).
ADVERTISEMENT
Maka waktu itu, dengan tampang tolol saya melangkahkan kaki ke gedung parlemen, dan Mas Satpam (baca: Pamdal) jadi “pahlawan” saya untuk bertanya arah.
Ya, bayangkan saja bagaimana saya bisa “selamat” kalau tidak tanya-tanya. Di sana ada Gedung Nusantara I, II, III, IV, V, dengan semua liku lorong “labirin”nya serta ruang komisinya yang tersebar di beberapa lantai dan bangunan berbeda. Kalau tak tanya, sesat jelas didapat.
Seiring waktu, wartawan-wartawan senior di sana jadi guru saya. Saya yang tak mengerti apa-apa, tebal muka saja untuk mendekat, ikut mendengarkan percakapan mereka, dan bertanya segala rupa.
Para wartawan koran yang tak terlalu diburu waktu, terutama, jadi tempat belajar penting. Mereka seperti dosen pembimbing yang telaten sekali memberi informasi ini itu, pula bisa diajak diskusi panjang lebar. Terima kasih ya Mas, Mbak. Luv you all.
Terra Incognita (3)
zoom-in-whitePerbesar
Tiap fase kehidupan adalah terra incognita. Lama-lama, saya tak terlampau cemas (meski tetap menyimpan kadar khawatir) dengan hal-hal baru, meski perubahan bisa jadi amat bikin kesal di awal.
ADVERTISEMENT
Saya tak tahu ada apa di hari depan, dan saya bukan seseorang yang terlalu terencana. Banyak hal mengalir spontan, namun bukan berarti serba-sembarang.
Terra incognita ada di mana-mana. Banyak hal belum saya tahu, perlu saya pelajari, dan itulah kenapa semua orang sesungguhnya belajar seumur hidup.
Hal-hal yang terjadi dan tidak saya ketahui “why”-nya saat ini, mungkin ada masanya nanti jawaban tentangnya terbuka. Ada pula yang selamanya misteri. Demikianlah hidup.
Kepada terra incognita, tangan ini terulur, kaki ini melangkah.
PS: Selesai ditulis pukul 23.59, 29 Maret 2018. Gambar diambil dari Pexels, Unsplash, Pixabay.