Yang Singkat, Yang Memikat

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
19 Juni 2019 20:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
(Pixabay)
ADVERTISEMENT
Seorang penumpang ke pramugari: “Nona, kenapa pesawatnya tidak bergerak lagi?” “Perjalanan sudah selesai, Pak. Kita tidak sampai ke tujuan.”
ADVERTISEMENT
(Rute, Álvaro Menén Desleal)
***
Seorang penumpang ke sebelahnya: “Sudah lihat? Koran mengabarkan kecelakaan pesawat lagi.” “Ya, sudah: di daftar korban tewas ada kita.
(Pelancong, Álvaro Menén Desleal)
Aku terpana membaca dua cerita superpendek yang dialihbahasakan Ronny Agustinus itu, dan langsung menyukainya. Amat ringkas namun “bernyawa” dan mengandung unsur kejut. Bagiku, dua yang terakhir itu adalah sebenar-benarnya bacaan yang mengasyikkan, tak peduli apakah suatu tulisan panjang atau pendek. Tapi belakangan, aku tak kuat membaca tulisan panjang lagi berat. Apalagi bila disodori artikel semrawut atau cacat logika yang membuat kepalaku mendidih dalam sekejap, sehingga membangkitkan niat untuk merebus penulisnya seketika.
Begini misalnya hal-hal yang membuatku ingin menyulut api saat mengedit tulisan:
ADVERTISEMENT
“Paragraf ini aneh. Percakapan telepon dan pertemuan ini berlangsung pada hari yang sama atau enggak, sih? Aku akan beri keterangan waktu di sini supaya alurnya jelas dan pembaca nggak bingung.”
“Seharusnya sama. Sebentar, aku cek lagi… Iya, sama kok. Sudah benar.”
“Oke.”
[Lima menit kemudian…]
“Eh, tunggu! Waduh iya, ternyata beda hari!”
***
“Kalimat ini janggal. Yang dimaksud di sini dokumen partai atau pemerintah? Kamu menulis ‘dokumen partai’, tapi aku ragu. Sini, baca sendiri susunan kalimatmu.”
“Ya ampun, iya... Sori, aku keliru. Kamu benar, itu dokumen pemerintah. Aku salah tulis.”
[Aku menyalakan tungku]
***
“Istilah rumit pada bagian ini apa maksudnya? Nggak jelas blas. Pembaca nggak bakal paham, nih. Jangan-jangan cuma kamu dan Tuhan-mu yang mengerti. Kasih penjelasan lugas dengan bahasa sederhana, dong. Kamu kan menulis artikel ini buat dibaca orang, untuk memberi informasi ke publik. Bukan macam diary yang disimpan dan dibaca sendiri! Jadi semua sia-sia kalau hanya kamu yang paham tulisanmu ini.”
ADVERTISEMENT
“Maaf.”
[Aku memasukkan lebih banyak kayu bakar ke tungku]
***
“Coba perhatikan, pada paragraf di atas ini kamu bicara A. Lalu pada paragraf berikutnya, kamu bergerak maju membahas B, terus sampai beberapa paragraf ke bawah yang langsung kamu sambung dengan perkara C. Tapi tiba-tiba pada bagian tengah tulisan, kamu kembali membahas A tanpa aba-aba—tak ada kalimat sambung antaralinea untuk mengantarkan pembaca melewati ‘tikungan tajam’ di sini. Ini alur bolak-balik yang tak efisien. ‘Lompatan kuantum’ yang kasar dan bikin pembaca kesasar.”
“Iya, sih.”
“Jangan lupa rumusnya: posisikan diri sebagai pembaca. Aku sekarang sedang menjadi pembaca tulisanmu, dan aku nggak suka tulisan jelek.”
[Aku melempar penulis ke kuali]
Ilustrasi. (Pixabay)
Tulisan adalah hidupku—menulis, menata/mengedit/menyunting tulisan, dan tentu saja membaca tulisan. Tiada hari tanpa aksara melintas dan menari-nari di kepala. Entah mana yang lebih dulu: pekerjaan wartawan yang terkait erat dengan kepenulisan dan karenanya pelan tapi pasti membuatku jatuh hati dengan dunia tulis-menulis, atau minat tersembunyi pada tulis-menulis yang menyeretku ke profesi jurnalis.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti kubilang tadi, belakangan aku kehilangan kemauan—dan mungkin kemampuan—menghadapi tulisan panjang (kecuali tulisan rekan-rekanku sendiri karena aku dibayar untuk memeriksanya, dan uang mampu membuat apa-apa yang tak bisa menjadi bisa).
Sepertinya, memeriksa tulisan dalam ragam topik membuatku jemu dan kehilangan minat untuk membaca buku bertema agak berat. Walau aku sudah meletakkan beberapa buku pilihan di meja kerja atau tepi ranjang untuk kubaca, nyatanya buku-buku itu berhari-hari tak juga tersentuh.
Pun bila aku sempat membuka buku-buku itu, baru beberapa halaman sudah kututup dan tak kutuntaskan. Padahal isinya menarik, tapi entah kenapa “magnet” itu tak cukup kuat. Mana lagi, pikiranku melompat-lompat dan sambar-menyambar dari satu perkara ke perkara lain lebih kencang dari dorongan untuk memusatkan pikiran ke satu buku.
ADVERTISEMENT
Maka, aku takluk pada kemalasan. Aku sempat berhenti mencoba membaca meski tahu itu bisa jadi langkah awal menuju petaka. Apalagi setiap hari aku berurusan dengan tulis-menulis, dan kepekaan seorang penulis salah satunya diasah dari literatur yang ia baca.
Bagaimana aku bisa menulis bagus dan mengedit dengan jeli kalau tak baca apa-apa? Keahlian ini tak turun dari langit. Ia mesti rajin-rajin diasah agar setajam belati. Because words are sword.
Akhirnya buku-buku ringan jadi pelarianku. “Ringan” yang kumaksud adalah cerita-cerita pendek yang tak membutuhkan waktu panjang untuk dibaca dan dicerna.
Sejumlah buku kumpulan cerpen berhasil kulahap di sela kesibukan. Mulai dari kumpulan Cerpen Pilihan Kompas, kumpulan cerpen horor, kumpulan cerpen Italia, hingga kumpulan cerita sangat pendek Amerika Latin yang dua di antaranya menjadi pembuka tulisan suka-sukaku ini.
Buku Kumpulan Cerita Sangat Pendek Amerika Latin: Matinya Burung-burung
Aku langsung tertarik buku “Matinya Burung-burung” terjemahan Ronny Agustinus—pendiri penerbit independen Marjin Kiri yang menggandrungi sastra Amerika Latin—itu ketika tak sengaja membaca sinopsisnya di media sosial.
ADVERTISEMENT
Kisah-kisah yang terhimpun dalam buku ini ringkas, menghibur, sekaligus menawarkan kepuasan khas usai menikmati karya-karya bermutu. Anda tidak perlu tersiksa oleh rasa penasaran sementara belum punya waktu luang, sebab buku ini bisa dibuka kapan dan di mana pun, dimulai dari bagian mana pun, dengan cerita-cerita yang bisa dituntaskan selekas membaca tweet atau pesan singkat.
Buatku yang mudah dilanda distraksi, buku terbitan tahun 2015 ini benar-benar oase. Ia sekaligus pengingat bahwa cerita bernas, layaknya laporan jurnalistik bermutu, tak sekadar soal panjang atau pendek, melainkan tentang isi, disiplin logika, dan cara penyampaiannya.
Artinya, penulis—apa pun jenis tulisan yang ia hasilkan—mesti menyematkan “nyawa” pada tulisannya. Bukan serampangan saja menyusun/menyunting kata-kalimat-paragraf-cerita bak robot; karena kalau hanya begitu, saat ini kerja macam itu pun sudah bisa digantikan mesin.
ADVERTISEMENT
Pada titik ini, sudah pasti Ronny Agustinus berhasil menyematkan nyawa pada cerita-cerita superpendek yang ia alih bahasakan. Tak heran, sebab ia bukan sembarang penerjemah.
Meski gaya bahasa juga soal selera individu yang berbeda-beda, coba saja baca satu lagi cerita sangat pendek yang ia terjemahkan ini—yang sekaligus kutaruh di sini sebagai penutup coretan suka-sukaku:
Lama sekali pintu tak kunjung dibuka. Perempuan itu mencocokkan nomor apartemen. Ia begitu sering berdiri di depan rumah yang keliru, atau pergi ke pertemuan terlambat sehari, sehingga ia merasa perlu untuk memastikan.
Ia tersenyum kala teringat pikirannya yang limbung. Waktu kecil ia kerap lupa dan meninggalkan baju hangatnya di bangku sekolah. Waktu remaja ia lupa kacamata, nama guru, dan ulang tahun pacarnya. Pikunnya bertambah-tambah seiring usia. Suatu hari ia pulang naik bus, dan suaminya yang heran mengapa ia telat sekali, bertanya mobilnya ada di mana: ia tinggalkan terparkir di depan kantor. Beberapa kali ia mencoba masuk mobil orang lain, mencoba-coba kuncinya sampai pemilik yang sebenarnya mendapatinya.
ADVERTISEMENT
Tak ada yang membuka pintu apartemen. Ia mengintip ke jendela.
Tirai yang tertutup menunjukkan lapisan debu.
Malam tiba. Bunyi lonceng gereja di kejauhan membuatnya ingat. Ia telah lupa kematiannya sendiri.
(Pikun, Mónica Lavín)
Ilustrasi. (Micael Widell/Pexels)