Dedikasi di Tengah Pandemi untuk Ranupani

Anggia Rita Andriana
Multimedia (SMKN 6 Tanjung Jabung Timur) Komunikasi dan Penyiaran Islam (UIN Jambi)
Konten dari Pengguna
14 Juli 2023 14:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggia Rita Andriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan di Desa Wisata Ranupani. Foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan di Desa Wisata Ranupani. Foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keindahan alam dan budaya Desa Wisata Ranupani selalu menarik perhatian pengunjung sebelum memulai petualangan, menaklukkan Mahameru. Suara gamelan dan sambutan hangat dari warga, masih terekam dan teringat jelas, sampai hari ini.
ADVERTISEMENT
Tepat satu tahun yang lalu, aku berhasil mengalahkan diriku untuk keluar dari zona nyaman. Kedatanganku di Ranupani, berbeda dengan wisatawan yang datang sebelum pandemi. Aku dan puluhan pemuda dari berbagai daerah di Indonesia, datang untuk mengabdikan diri, memberikan sebuah refleksi untuk Ranupani. Kami datang sebagai relawan, belajar menghargai perbedaan, mencari jati diri, belajar untuk menemukan solusi dan meminimalisir permasalahan di bumi pertiwi melalui aksi-aksi kecil kami.
Perjalananku dari Jambi menuju Ranupani, cukup panjang. Sebelum tiba di Ranupani, aku harus bermalam di lokasi titik kumpul Surabaya. Di masa pandemi virus korona, perjalanan jalur udara dari Jambi menuju Surabaya, tidak seperti biasanya. Tidak cukup hanya dengan membawa identitas diri dan tiba di bandara sesuai jadwal.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, terdapat beberapa persyaratan dan tahap ekstra yang harus dipenuhi. Aku yang berdiri sendiri di tengah keramaian, cukup kewalahan menjelang keberangkatan. Ternyata, tak hanya tantangan saat seleksi keikutsertaan menjadi relawan, tapi keberangkatan dari bandara pun masih memberiku tantangan untuk sampai ke salah satu desa tertinggi di Pulau Jawa itu.
Pagi yang cerah di Kota Surabaya. Jantungku berdebar lebih cepat, tidak seperti biasanya. Pikiranku dipenuhi rasa khawatir oleh virus korona. Beberapa relawan tampak berdatangan dengan carrier kebanggan, sedangkan aku masih menyaksikan mereka dari sisi jendela Amaris Hotel Surabaya.
Mereka berkumpul di Masjid Al Akbar, tepat berada di samping hotel tempatku bermalam. Pikiranku dihantui oleh rasa khawatir, kecemasanku pun semakin menggila saat menerima pesan WhatsApp, bahwa seluruh relawan harus kembali melakukan swab sebelum tiba di lokasi pengabdian. Tepat pukul 10.00 Wib, aku dan teman-teman relawan memulai perjalanan dengan menggunakan bus dari Surabaya menuju Ranupani.
ADVERTISEMENT
Sesekali, aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela untuk menikmati suasana rute yang dilewati. Perjalanan ini cukup panjang, bahkan kami harus beralih menggunakan bus mini, karena akses jalan yang kurang mumpuni jika ditempuh dengan bus utama kami.
Perjalanan menuju Ranupani harus terhenti, tepat di Kantor Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Suasana menegangkan, pikiran yang penuh kekhawatiran, kami semua saling mendoakan dan menguatkan. Aula dengan kursi yang tersusun rapi, siap menyambut kami untuk membuka program pengabdian ini.
Namun, suasana kembali hening ketika kami harus melakukan Pemeriksaan Swab Antigen-PCR. Tiga puluh menit berlalu, kabar menyedihkan terpaksa harus disampaikan. Salah satu di antara tim kami harus melakukan isolasi mandiri di Puskesmas Senduro, karena terinfeksi virus korona.
ADVERTISEMENT
Hari pun mulai petang, kami kembali bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Perkiraan tiba dari Kota Surabaya menuju Ranupani pukul 14.00 Wib, tapi ternyata kami tiba setelah azan magrib. Disambut dengan suara merdu gamelan yang sayangnya belum boleh kami mainkan, seluruh relawan harus mengikuti upacara penyambutan. Setelah itu, baru diperbolehkan untuk memainkan gamelan di Sanggar Budaya, Desa Ranupani.
Keesokan harinya, aku menyaksikan Semeru tepat dari belakang rumah penginapanku. Aku seperti menemukan surga dunia, udara yang sejuk, hijaunya pepohonan membuatku berpikir untuk bisa tinggal lebih lama di desa yang asri ini. Tak lama kemudian, aku berjalan menuju halaman depan, tampak seorang anak kecil bersepeda dan mendekatiku.
Namanya Rizal, anak kecil pertama yang menyapaku di Ranupani. Senyumannya, seolah menghangatkan dinginnya ranupani. Dari atas sepeda, Rizal berkata, “Kak, aku mau les”. Mendengar kalimat itu, rasa lelahku setelah Perjalanan panjang dari Jambi menuju Ranupani hilang seketika. Menjadi relawan adalah hal yang membahagiakan, kehadirannya dibutuhkan, perannya dirasakan, hidupnya penuh manfaat, hingga banyak orang mendekat untuk belajar dan menggapai asa bersama-sama.
ADVERTISEMENT
Kehidupan masyarakat suku tengger yang santun dan ramah, selalu membuatku bersemangat untuk mengelilingi Ranupani. Program kerja pengabdian kami berfokus pada program Sustainable Developmen Goals (SDGs), seperti bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan dan pariwisata. Pendidikan Karakter dan Talk Parenting adalah salah satu program divisi pendidikan yang dilakukan sembari membantu warga memanen kentang di perbukitan dan mengetahui bagaimana dukungan orang tua terhadap pendidikan anak.
Ranupani dengan hasil perkebunan yang melimpah, membuat masyarakat hidup makmur. Namun, ketika pandemi, penghasilan warga cenderung menurun karena akses penjualan di luar Ranupani sulit dijangkau. Begitu pula dengan bisnis home stay milik warga yang sepi pengunjung, pun jalur pendakian Gunung Semeru ditutup karena erupsi.
Tak menyerah, masyarakat tetap giat berkebun. Begitu pula dengan anak-anak Desa Ranupani yang rajin ikut berkebun setiap pulang sekolah. Bahkan tak jarang, jika musim menanam, anak-anak tidak masuk sekolah karena asyik membantu orang tuanya berkebun.
ADVERTISEMENT
Motivasi belajar anak-anak di Desa Ranupani masih terbilang cukup rendah. Di Ranupani hanya terdapat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang tergabung dalam satu atap dengan proses pembelajaran dilakukan secara bergantian. Sehingga, banyak anak yang menempuh pendidikan hanya tingkat SMP bahkan SD.
Sulitnya tenaga pengajar di Ranupani juga membuat beberapa guru dari Lumajang harus melewati perjalan ekstrem setiap harinya dengan jarak tempuh 1—2 jam perjalanan. Di sinilah, kami dari divisi pendidikan memberikan refleksi kepada anak-anak Ranupani terkait pentingnya mempunyai cita-cita.
Tak terasa, satu minggu berhasil dilalui dengan masker kebanggaan di masa Pandemi. Menjalin kekeluargaan bersama Tim Relawan YATC Indonesia dan masyarakat Ranupani. Kini saatnya aku kembali ke Negeri Jambi, meskipun harus melewati masa sunyi di ruang isolasi Surabaya seorang diri, karena terjangkit virus korona.
ADVERTISEMENT
Aku bersyukur, tuhan memanggilku ke tanah jawa untuk melihat sisi dunia dari segala ragam perbedaannya. Inilah cerita perjalanan pertamaku sebagai relawan, sebuah dedikasi di tengah pandemi untuk Ranupani, hingga akhirnya menjadi jembatan dan berhasil mengantarkanku menyusuri bumi pertiwi.