news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Seekor Citah dan Kungkang yang Lamban

Anggi Septiana Putri
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
1 Desember 2022 15:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Septiana Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Canva Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Canva Pribadi
ADVERTISEMENT
Di tengah hutan yang lembab, hidup seekor kungkang yang pemalu dan penuh rasa takut. Waktu hidupnya hanya dihabiskan untuk menetap di atas pohon. Si Kungkang sangat nyaman menetap dan berlindung di atas pohon dengan waktu yang lama, karena merasa takut untuk meninggalkan rumahnya, untuk melepas rasa lapar saja ia enggan, dirinya terlalu takut bertemu dengan penghuni hutan lainnya, belum lagi langkahnya yang lambat, pasti binatang lain akan menatap benci kepada dirinya.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, Si Kungkang sudah merasa sangat lapar, dengan gerakan lambat, Si Kungkang turun dari pohonnya. Lalu ia bertemu dengan seekor ular, Sang Ular menatap Si Kungkang dari jarak dekat, dengan pandangan angkuh ia berkata,
“Hei Kungkang! Kamu ini pemalas sekali, sih! Tidak bisakah kamu berjalan lebih cepat? Tubuh besarmu itu menghalangi jalan sekali.”
Si Kungkang hanya menghela napas dan menjawab, “Aku bukan pemalas, Ular. Aku memang ditakdirkan tidak secepat binatang lain saja.”
“Alasan! Bergerak itu seperti ini, lihat aku!” Sang Ular dengan angkuh bergerak gesit melata memutari tubuh Si Kungkang.
Si Kungkang mencoba untuk bersabar dan tak menghiraukan kelakuan Sang Ular.
“Sudahlah, Ular. Tanpa kau jelaskan pun aku sudah tahu diriku tak sejajar dengan dirimu.” Dengan gerakan lambat dan wajah lesu, Si Kungkang pergi meninggalkan Sang Ular untuk mencari makanan.
ADVERTISEMENT
Sewaktu Si Kungkang sedang asyik menyantap makanannya, datang seekor citah yang begitu gesit dan ceria menghampirinya.
“Hei, Kungkang! akhirnya kau makan juga. Setelah ini main di pinggir sungai sana, yuk!”
Si Kungkang merasa senang, karena sahabat satu-satunya di hutan ini telah datang. “Hai, Citah! Aku sudah selesai makan, mari kita ke pinggir sungai.”
Karena terlalu senang, Si Citah sampai lupa dengan takdir Si Kungkang yang geraknya lambat. Si Kungkang pun tertinggal jauh di belakang.
“Citah! Citah! Tunggu aku! Jangan cepat-cepat, dong.”
Si Citah tidak mendengar seruan tersebut, Si Kungkang hanya tersenyum kecil, sudah biasa tertinggal setiap mereka berjalan bersama. Si Kungkang tetap berjalan perlahan menuju pinggir sungai. Di pertengahan jalan tak sengaja Si Kungkang bertemu kembali dengan Sang Ular, kali ini Sang Ular tidak sendiri, melainkan bersama dengan Sang Kerbau dan Sang Kancil juga.
ADVERTISEMENT
“Bahkan temanmu Si Citah saja meninggalkanmu, Kungkang. Kau ini akan selalu tertinggal.” Sang Ular tertawa bersama teman-temannya.
Kali ini Si Kungkang mencoba bersikap berani, dengan wajah yakin ia menjawab, “Tidak begitu, kamu jangan merasa paling tahu, deh. Aku dengan Citah sudah bersahabat lama, kami memang biasa seperti ini.”
“Hei, Kungkang. Memangnya kamu tahu isi hati Citah yang sebenarnya? Bisa saja dia berteman denganmu hanya karena kasihan.” Sang Kerbau merasa bangga setelah melihat wajah Si Kungkang yang berubah ragu. Mereka pergi meninggalkan Si Kungkang Sendirian.
Kalah lagi, Si Kungkang selalu kalah setiap menghadapi tingkah laku binatang lain. Si Kungkang merasa tidak adil, kenapa ia diciptakan tidak sama dengan binatang lain. Ia ingin memiliki bulu yang indah seperti Si Citah, ia ingin memiliki wajah yang cantik seperti Sang Kancil, Ia juga ingin memiliki tubuh yang gagah seperti Sang Kerbau. Kenapa ia harus memiliki tubuh yang bungkuk, jari yang menakutkan, dan wajah yang buruk rupa?
ADVERTISEMENT
Dari kejauhan, Si Citah melihat itu semua, ia melihat bagaimana Si Kungkang mencoba membela dirinya, bagaimana binatang lain mencoba terus mengucilkan Si Kungkang. Si Citah berjalan menghampiri Si Kungkang yang terduduk lesu.
“Kungkang, maafkan aku, aku tadi terlalu senang kita akan bermain di pinggir sungai dan tak sadar meninggalkanmu di belakang.” Si Citah meminta maaf dengan sungguh-sungguh sembari menempatkan diri di hadapan Si Kungkang.
“Tidak apa-apa, Citah. Aku mengerti, tubuh kita memang berbeda jauh. Kau besar, dapat berlari dengan cepat, wajar saja jika aku tertinggal.”
“Aku sangat bangga berteman denganmu, Kungkang. Kau juga memiliki banyak kelebihan.” Si Citah berkata sembari menepuk pundak Si Kungkang.
“Tidak perlu berlebihan, Citah. Maaf kau harus menanggung malu karena berteman denganku.”
ADVERTISEMENT
Si Citah merasa kecewa mendengar ucapan Si Kungkang. “Kau lebih percaya dengan ucapan Kerbau gendut itu? Kita sudah berteman lama, aku berteman dengan kau karena kau itu unik dan menarik, berbeda dengan binatang lainnya.”
Si Kungkang tersadar, selama ini ia hanya terbelenggu dalam pikirannya yang berlebihan. Pikiran negatifnya membuat ia tak dapat bersyukur dengan takdir yang sudah diberikan.
“Kau itu terbaik, Kungkang. Kau memiliki tangan yang kuat sehingga kau bisa bertahan di setiap ranting pohon yang kau mau, kau juga bisa memutar kepalamu dengan sesuka hati tanpa cedera. Kau lupa dengan itu semua?” Lanjut Si Citah.
“Maafkan aku, Citah. Terima kasih sudah memberi pandangan baru pada hidupku. Aku bisa menerima diriku apa adanya.” Si Kungkang bersemangat kembali.
ADVERTISEMENT
“Ucapkan kata maafmu untuk dirimu sendiri, Kungkang. Sudahlah, lebih baik kemari kau naik ke punggungku, aku akan berlari membawamu menuju tepi sungai, kau kan lambat.” Ucap Si Citah sembari tertawa ringan.
Si Kungkang naik ke atas punggung Si Citah. “kau tak bisa memanjat pohon, kan?” Balas Si Kungkang mengejek Si Citah.
Mereka akhirnya menuju ke tepi sungai bersama-sama dan bermain dengan bahagia hingga matahari terbenam. Dengan kenangan yang membekas hari ini, mempererat pertemanan Si Kungkang dengan Si Citah dengan saling melengkapi kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki.