Banda Neira dan Semua Usaha Merelakannya

anggit bahar
bangkupenonton's
Konten dari Pengguna
24 Desember 2017 9:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari anggit bahar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banda Neira adalah duo musisi Ananda Badudu dan Rara Sekar (Foto: Instagram @bandaneira_official)
Kemarin, setahun yang lalu, 23 Desember 2016, Banda Neira resmi memutuskan untuk bubar. Ya, bubar. Sedikit terdengar kasar, tapi kata itulah yang mereka gunakan untuk menjelaskan sikap mereka. Setelah terbentuk pada tahun 2012, tak butuh waktu lama bagi Rara Sekar dan Ananda Badudu, dua personil Banda Neira, untuk tak lagi berkarya bersama.
ADVERTISEMENT
Ada banyak teka-teki di balik keputusan mengejutkan ini, mengingat di tahun yang sama mereka meluncurkan album kedua. Salah satu alasan yang paling sering disebut sejauh ini adalah karena Rara Sekar memutuskan untuk melanjutkan studi S2-nya di Victoria University of Wellington, Selandia Baru
Namun, dalam wawancaranya bersama kumparan, Ananda Badudu menampik hal tersebut. Ia menganggap jarak menjadi alasan yang terlalu sepele, toh dulu saat proses album pertama, Rara di Bali dan Nanda di Jakarta, begitu kira-kira ujarnya.
Lantas, kita akan dengan mudah mengutuk sikap duo nelangsa ini. Bagaimana tidak? Setelah meluncurkan album kedua yang bertajuk “Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berarti”, mereka justru vakum 10 bulan, lha ini malah tiba-tiba mengumumkan bubar.
ADVERTISEMENT
Akal sehat kita sebagai manusia awam yang gemar mendengarkan senandung–senandung musisi akan berpikir bahwa setelah seorang musisi mengeluarkan album, pasti lah mereka akan promo sana sini dari panggung ke panggung agar karya mereka sampai ke telinga pendengar. Lha tapi ini malah vakum, akhirnya bubar pula. Kurang ajar betul musisi ini.
Banyak yang bilang, seperti lagi sayang-sayangnya sama pacar tapi malah diputus tanpa alasan. Susah memang. Tapi tunggu dulu, bukan kah kita selalu diajarkan untuk adil sejak dalam pikiran? Jangan melulu tunduk nafsu telinga kita.
Selepas memutuskan bubar, Nanda dan Rara memilih jalan mereka masing-masing. Rara melanjutkan studi, Nanda kerap terlihat ikut aksi sosial. Nanda sempat terlihat ikut bersama korban ketidakadilan HAM di Aksi Kamisan. Tak cukup sampai disitu, pengepungan kantor LBH yang menurut “mereka” sebagai komunisme gaya baru di penghujung September lalu pun Nanda juga ikut terlibat. Terlibat sebagai yang dikepung tentu saja.
ADVERTISEMENT
Andai saja Banda Neira tetap gas pol untuk manggung dari satu tempat ke tempat lain selepas album kedua dirilis, mungkin Nanda tak seaktif sekarang untuk ikut aksi–aksi sosial. Ada banyak jiwa manusia yang hak asasinya dikoyak orang–orang biadab untuk coba diperjuangkan Nanda bersama kawan–kawannya. Saya pun yakin, Nanda juga akan terus berjuang untuk itu.
Pun dengan Rara, ia akan tenang menyelesaikan studinya di Selandia Baru. Tak ada jadwal manggung di akhir pekan yang bisa saja ia gunakan untuk menyelesaikan thesis. Kakak kandung Isyana Sarasvati ini pun tak terganggu pula dengan keriuhan penggemar tatkala bernyanyi dari tiap panggung. Masih banyak aktivitas yang harus mereka kerjakan selain bermusik, bukan?
Mengutip dari ujaran seorang podcaster kondang Indonesia, pahlawan di bidang entertainment adalah mereka yang rela meninggalkan semua atribut kepopuleran ketika sedang di puncak kejayaan. Banda Neira memiliki itu, Banda Beira memiliki ribuan penggemar yang sampai tulisan ini saya buat, masih berangan Nanda dan Rara tampil kembali dalam satu panggung. Tengok saja kiriman sekaligus ucapan perpisahan Banda Neira di akun Instagram ofisial mereka (@bandaneira_official).
ADVERTISEMENT
Sampai hari ini, ada lebih dari 19 ribu komentar yang tertinggal di kiriman itu. Luar biasa bukan. Jangan lupakan pula tagar #terimakasihbandaneira di Twitter yang seharian penuh mengisi trending topic kala itu. Tak mengherankan jika respon luar biasa ini mereka dapatkan, Banda Neira dianggap mewakili perasaan nelangsa bagi kuping pendengar mereka.
Sudahlah, biarkan nama Banda Neira tetap abadi sebagai duo nelangsa bersama dengan semua kenangan yang mereka ciptakan. Biarkan nama mereka menggantung di puncak kepopuleran kala itu, setidak–tidaknya kita pernah menjadi saksi bahwa dunia musik Indonesia pernah bangga dengan karya mereka. Bukankah selama musik mereka masih bisa kita dengar, tak ada masalah bagi kita untuk menikmatinya?
Lagi pula, Banda Neira ‘kan “hanyalah” proyek iseng (yang bertanggung jawab). Banda Neira pula yang dengan halus mengungkapkan bahwa semua yang patah akan tumbuh, dan yang hilang akan berganti. Oleh sebabnya, mengapa kita tak menuruti saja?
ADVERTISEMENT