Kekuasaan, Kegilaan, dan Hal-Hal Lainnya

Anggit Rizkianto
Dosen di STID Al-Hadid Surabaya.
Konten dari Pengguna
25 Maret 2023 17:27 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggit Rizkianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Game of Thrones/ HBO
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Game of Thrones/ HBO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya baru saja menamatkan serial House of The Dragon yang tayang di HBO. Memang telat, mengingat serial ini sudah meluncurkan episode terakhirnya sejak bulan Agustus tahun lalu—untuk musim pertamanya. Namun, tentu hal itu sama sekali tidak mengurangi kenikmatan dan keseruan menontonnya. Sebagaimana yang dikatakan banyak orang, prequel dari serial legendaris Game of Thrones ini memang memiliki kualitas produksi luar biasa dan jalinan cerita yang sangat memikat.
ADVERTISEMENT
Tak kalah superior dibandingkan serial pendahulunya. Dan, tentu saja, dengan tetap mempertahankan penggambaran yang sepertinya sudah menjadi ciri khas, mulai dari naga-naga bersayap yang menyemburkan api, adegan kekerasan dan berdarah-darah, konflik politik yang rumit, plot perselingkuhan dan kawin incest, sampai adegan asusila yang hmmm…. membuat saya harus mengucap istigfar berkali-kali—karena saya seorang muslim.
Rasanya tak sulit untuk kita semua sepakat bahwa yang paling menonjol dari tontonan yang diangkat dari novel karya George R.R. Martin ini adalah konflik dan tragedi politiknya yang dipresentasikan dengan begitu brutal. Manusia digambarkan begitu diperdaya oleh ambisi dan haus akan kekuasaan lewat karakter-karakter di dalamnya. Tak ada lagi tempat bagi kompas moral dan nilai-nilai etis. Kekuasaan harus direngkuh dan dipertahankan dengan segala cara.
ADVERTISEMENT
Penipuan, pengkhianatan, pembunuhan, konspirasi, memperbudak orang lain, dan bahkan mengorbankan keluarga sendiri selalu dianggap sebagai harga yang pantas untuk dibayar demi mencapai kejayaan politik. Barangkali, gagasan politik ideal ala Plato sedikit pun tidak pernah terlintas di kepala George R.R. Martin ketika menuliskan jagad fiksinya ini. Baginya politik bukanlah sarana untuk menciptakan kebaikan bersama, melainkan medan perkelahian orang-orang yang sudah kehilangan akal sehat dan hati nuraninya.
Dalam jagad Game of Thrones, kekuasaan dan kegilaan memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan keduanya seperti obat dan penyakit, atau seperti kokain dan keadaan sakau pada pecandu narkoba. Manusia yang memiliki ambisi politik pasti teguh dengan strategi dan taktiknya dalam menggapai dan mempertahankan tahta. Ia juga selalu awas terhadap setiap ancaman dan tanda-tanda bahaya yang dapat mengganggu atau menggerogoti kekuasaannya.
ADVERTISEMENT
Ketika kekuasaan itu terancam atau mungkin bahkan hilang, saat itulah kegilaan mendapati momentumnya. Amarah begitu terbakar dan kebencian begitu memuncak. Cara apa pun akan dilakukan agar kuasa kembali didapat sekalipun itu harus menyingkirkan sisi kemanusiaan paling dasar. Manusia adalah binatang yang berpolitik (zoon politikon), kata Aristoteles. Dulu pemahaman saya akan kalimat tersebut sangatlah samar, tapi dalam dunia Game of Thrones tampaknya hal itu begitu jelas.
Manusia—atau binatang-binatang yang berpolitik—adalah makhluk yang mengidap waham, mereka selalu dilanda kekhawatiran dan ketakutan yang acap kali bersifat semu. Mereka kerap beranggapan bahwa setiap makhluk di dunia ini dapat mengancam kekuasaannya dan mengincar tahtanya. Atau lebih buruk lagi: berkonspirasi di belakang mereka, merencanakan siasat busuk yang mengarah pada pemberontakan dan kudeta berdarah. Manusia-manusia politik adalah makhluk yang hidupnya tak pernah tenang, pikirannya dikuasai halusinasi yang diciptakannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Tapi, anehnya, tatkala kekuasaan sudah di genggaman atau bahkan mapan, tidak lantas membuat manusia politik pasti lepas dari kegilaan. Mencapai posisi puncak dan bahkan bertahannya status quo dalam waktu lama tidak menjamin para penguasa dalam keadaan waras. Kegilaan—bahkan kebinatangan—itu bahkan bisa menjadi-jadi karena keserakahan atau faktor-faktor lainnya yang sulit dimengerti.
Hal ini persis seperti yang terjadi pada King Aerys II Targaryen sebagaimana yang sering dibicarakan dalam Game of Thrones, di mana sang raja justru menjadi raja paling tiran sepanjang sejarah ketika berada pada masa-masa puncak kejayaan tahtanya. Ia membakar hidup-hidup siapa pun yang menentang atau mengkritik setiap keputusannya, yang kemudian membuatnya dijuluki Mad King. Atau seperti yang terjadi pada Daenerys Targaryen, di mana ketika ia tinggal sejengkal lagi menduduki puncak kekuasaan, ia malah membumingahuskan satu kota dengan alasan yang sepertinya hanya ia sendiri dan Tuhan yang tahu. Sebuah paradoks yang saya sendiri pusing memikirkannya.
ADVERTISEMENT
Berbicara soal praktik politik segala cara, tak lengkap rasanya jika kita tak menyinggung Niccolo Machiavelli. Teoritikus sekaligus politikus Italia abad ke-15 ini sering dianggap sebagai orang yang secara terang-terangan mengajarkan praktik politik oportunis yang tidak mengindahkan nilai-nilai etis melalui magnus opus-nya yang berjudul The Prince—atau Il Principe dalam bahasa Italianya. Dalam The Prince, Machiavelli mengajarkan bahwa seorang politisi atau penguasa haruslah berkuasa secara total.
Meski begitu, ajaran Machiavelli sebenarnya tidaklah menanggalkan sisi humanisnya hingga tak bersisa, atau setidaknya begitulah yang tertuang dalam The Prince. Machiavelli tidaklah menganjurkan kekejaman dan kebrutalan yang membabi buta, atau bertindak tanpa ampun dengan melakukan pembunuhan ataupun perbudakan. Baginya, tidaklah baik bagi penguasa jika sampai dianggap tidak memiliki belas kasihan. Yang lebih ditekankan Machiavelli adalah seorang penguasa mestilah cerdik (pandai bersiasat), berjaya dan agung (glorious). Dan penting bagi seorang penguasa untuk dicintai sekaligus ditakuti. “Seorang pangeran harus cerdik seperti rubah, tapi juga harus bengis seperti singa”, demikian sabda Machiavelli dalam karyanya yang tersohor itu.
ADVERTISEMENT
The Prince lantas menjadi “kitab suci” bagi siapapun yang menginginkan kejayaan politik paripurna tanpa memedulikan moral dan agama. Adolf Hitler adalah sosok penguasa yang dianggap paling sukses mempraktikkan ajaran Machiavellianisme dengan kafah. Konon, pimpinan Partai Nazi itu selalu menyimpan salinan The Prince di samping tempat tidur, dan membacanya setiap malam sebelum ia terlelap. Namun, yang perlu dipahami adalah: karya monumental Machiavelli itu tidaklah lahir dari “ruang kosong”.
Banyak yang tidak memahami bahwa The Prince lahir dari kompleksitas politik semenanjung Italia pada abad ke-15 hingga ke-16; di mana terjadi ketidakstabilan politik tak berkesudahan akibat pemberontakan dan penggulingan kekuasaan berkali-kali, peperangan antarpolis atau kota-kota di wilayah itu, maraknya politisasi agama, sekulerisme yang mulai menggerogoti sendi-sendi sistem sosial, hingga ancaman penyerobotan wilayah dari bangsa lain. Singkatnya, negara kacau balau. Maka, The Prince hadir sebagai risalah preskriptif agar penguasa dapat mengembangkan kekuasaannya hingga ke level tertinggi, memerintah dengan kuat, dan menciptakan politik yang stabil/ tertib.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, The Prince sebenarnya semacam proposal atau surat lamaran yang ditulis oleh Machiavelli untuk keluarga Medici, keluarga bangsawan kaya raya penguasa Kota Florence—atau Firenze dalam bahasa Italianya. Sebelum keluarga itu menguasai Florence setelah menggulingkan penguasa sebelumnya pada tahun 1512, kehidupan Machiavelli sangatlah makmur. Ia dikenal sebagai diplomat ulung sekaligus analis politik yang cerdik. Namun, pada tahun 1513 sebuah gerakan konspirasi anti-Medici terungkap, dan kedekatan Machiavelli dengan rezim sebelum Medici membuatnya dianggap sebagai bagian dari konspirasi. Machiavelli lantas dijebloskan ke penjara, dan konon ia sempat disiksa.
The Prince lantas ditulisnya sebagai bentuk dedikasinya untuk keluarga Medici. Tujuannya? Tentu saja untuk mengembalikan lagi reputasinya, sekaligus mendapatkan kepercayaan dari rezim yang sedang berkuasa. Sialnya, tidak ada bukti bahwa keluarga Medici pernah membaca karya itu. Machiavelli gagal mengembalikan kejayaan dirinya sendiri. Tapi, itu sama sekali tidak penting. Yang penting adalah: bahwa The Prince sejatinya adalah karya politis yang syarat kepentingan. Ia bahkan nyaris tidak memiliki kedalaman filosofi dari penulisnya. Selain itu, ada pula yang menafsirkan bahwa The Prince sebenarnya adalah karya satire. Machiavelli menulisnya sebagai bentuk kekecewaan terhadap moralitas para penguasa dan pemimpin agama pada masa-masa itu.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri tak mau ambil pusing soal bagaimana kita semestinya menafsir The Prince. Sebab, kenyataannya praktik-praktik politik oportunis dan segala cara adalah fakta yang tidak bisa kita tolak dan harus kita hadapi. Ia bahkan sudah eksis sejak dulu. Dalam khazanah sejarah Islam misalnya, selepas kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sudah terjadi polemik terkait siapa yang akan menjadi penerus nabi, yang akan memegang tampuk kekuasaan umat Islam.
Konflik dan perpecahan pun tak terhindarkan, dan ini menjadi masalah poitik yang menyebabkan luka begitu dalam bagi umat Islam di masa-masa selanjutnya—terlepas bahwa masalahnya bukan hanya politis, tetapi juga teologis. Teramat menyakitkan bagi umat Islam untuk menyadari bahwa sejarah agamanya adalah sejarah yang berdarah-darah. Fitnah, adu domba, pengkhianatan, pembunuhan, bahkan perang saudara adalah hal-hal yang mewarnai pemerintahan Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan, tiga dari keempat khalifah setelah nabi itu tewas dibunuh. Dan itu semua terjadi berabad-abad sebelum The Prince ditulis oleh Machiavelli.
Episode terakhir House of the Dragon kalahkan jumlah penonton Game of Thrones. Foto: Dok. HBO
Mari kita kembali ke serial House of The Dragon yang baru saja saya tonton. Tentu tidak sulit bagi kita untuk menemukan petuah-petuah Machiavelli yang termanifestasi di dalamnya, terlepas apakah sang penulis cerita menjadikan karya Machiavelli sebagai referensinya atau tidak. Tapi, yang paling menarik perhatian saya dari serial itu sebetulnya bukanlah perkara strategi berkuasa yang licik ataupun taktik politik kotor yang tak mengenal adab. Saya menemukan sesuatu yang lain; sesuatu yang saya yakin Machiavelli sendiri tidak pernah membahasnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini menyangkut dorongan atau motivasi manusia-manusia yang berjuang mati-matian mendapatkan kekuasaan, serta mati-matian pula mempertahankannya. Bahkan, kekuasaan itu harus terus diturunkan, hingga ke anak cucu dan keturunan-keturunan selanjutnya. Nama keluarga atau klan mereka—dalam semesta Game of Thrones disebut house—harus tetap lestari dalam sejarah peradaban manusia. Dalam konteks seperti ini, maka barangkali praktik-praktik politik oportunis itu tidak hanya menyangkut perkara perebutan kekuasaan atau tahta. Tapi, ini juga menyangkut mempertahankan eksistensi, melestarikan nama baik atau kebanggaan (pride) keluarga, atau bahkan mempertahankan warisan leluhur.
Seorang penguasa harus mampu meneruskan tahta pada keluarganya atau keturunannya. Kekuasaan politik harus terus diwariskan, ia tidak boleh terputus. Karena hanya dengan demikianlah masyarakat akan terus mengingat nama sang penguasa, sampai kapanpun. Oleh sebab itulah, segala tingkah laku dan pranata sosial penguasa dan keluarganya akan didikte oleh kepentingan politik, termasuk dalam urusan perkawinan dan beranak pinak. Urusan mempertahankan tahta adalah urusan mempertahankan darah, agar darah itu tetap berada dalam lingkaran kuasa. Penggambaran semacam ini saya pikir tidaklah berlebihan. Pada dasarnya pertarungan politik adalah perkara mempertahankan eksistensi, meneruskan apa yang diwariskan, dan melestarikan apa yang menjadi kebanggaan. Ini adalah salah satu insting paling primitif dalam sejarah manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia nyata, tidak sulit bagi kita untuk memahami adanya kecenderungan dorongan kekuasaan semacam itu. Kita barangkali sering bertanya-tanya: mengapa ada banyak sekali pejabat ataupun politisi yang sudah mapan dan bergelimang harta yang, bahkan ketika sudah menginjak usia senja, lebih memilih sibuk berpolitik praktis alih-alih menjadi negarawan dan berkumpul bersama sanak keluarganya. Hal semacam ini kerap terjadi dalam lanskap politik tanah air, baik di level politik lokal maupun nasional.
Dalam sepuluh tahun belakangan ini kita mengenal istilah “politik dinasti” untuk menggambarkan tingkah laku kepala daerah yang seolah menjadi “raja kecil” di banyak provinsi atau kabupaten-kabupaten di berbagai daerah. Seorang gubernur mati-matian berjuang agar istrinya menggantikan dirinya ketika masa jabatannya hampir habis; juga berjuang agar anak kandungnya bisa menjadi bupati atau walikota; dan bila perlu mungkin pamannya, menantunya, bibinya, keponakannya, cucunya, dan sanak famili yang lain, mendapatkan jatah jabatan politiknya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Yang memiliki kekuasaan di level politik nasional pun saya kira lakunya juga tak jauh berbeda—kalian paham maksud saya, ‘kan? Dan lagi-lagi ini persoalan yang manusiawi saja. Banyak yang mengatakan kalau persoalannya karena mereka serakah, tapi saya pikir lebih dari itu. Ini adalah upaya manusia untuk mempertahankan eksistensi dan melestarikan pride dan nama keluarga. Agar nama mereka terus berada dalam ingatan masyarakat. Oleh karenanya, penting bagi mereka untuk memperjuangkan sanak familinya agar terus berada dalam lingkaran kekuasaan. Dan penting pula bagi mereka untuk terus menguasai sumber-sumber penting di negara ini, agar keluarga dan keturunan mereka tetap dapat survive dan terus memenangkan pertarungan politik.
Tapi, bagaimanapun Indonesia adalah bangsa yang besar. Saya tetap berkeyakinan bahwa bangsa ini masih menyimpan politisi bersih dan calon-calon pemimpin yang memiliki idealisme dan visi ke depan untuk Indonesia lebih baik. Penting bagi kita untuk selalu memiliki harapan. Bukan menjadi manusia apolitis yang hanya bisa mengutuk tanpa melakukan perubahan apapun. Di tengah kekacauan, kita harus optimis bahwa Indonesia yang demokratis, harmoni, dan makmur pasti akan terwujud, seperti bunga lotus yang mekar di perairan kotor dan berlumpur.
ADVERTISEMENT
Entah kenapa belakangan ini secara random saya sering membaca artikel tentang bunga-bunga, baik yang menyangkut anatomi maupun filosofinya. Bunga lotus, yang memiliki kemiripin dengan bunga teratai, menyimbolkan harapan, kesucian, dan kebaikan universal karena kemampuannya yang secara ajaib dapat tumbuh di kondisi paling ekstrim sekalipun. Dalam ajaran Hindu, bunga lotus adalah representasi rahim semesta, yang kemudian mencipta segala sesuatu yang indah dan mengatasi segala kesulitan. Sedangkan dalam ajaran Budhis, ia adalah simbol pembebasan spiritual. Maka, di tengah kesuraman politik saat ini, tak ada salahnya kita berharap kemunculan keindahan bunga lotus.
Dua maskot Pemilu 2024 diperkenalkan saat parade sepeda Pemilu Damai Partai Politik Tahun 2024 di Denpasar, Bali, Selasa (14/2/2023). Foto: Nyoman Hendra Wibowo/Antara Foto
Tahun depan kita akan menghadapi tahun politik. Pemilu adalah momentum terbaik untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik. Sinyal-sinyal itu saya pikir sudah mulai tampak. Sejak tahun lalu, antusiasme politisi dan masyarakat umum dalam menyongsong pemilu 2024 sudah sangat besar. Kelompok-kelompok masyarakat telah mengidentifikasi diri, lobi-lobi politik telah digencarkan, dan himpunan relawan serta koalisi politik mulai terbentuk.
ADVERTISEMENT
Itu artinya kita semakin meneguhkan diri sebagai bangsa yang demokratis. Politik kita hari ini bukan hanya milik para elite, tetapi juga masyarakat hingga ke lapisan paling bawah. Tentu ini pertanda baik, karena perubahan selalu dimulai dengan kesadaran dan partisipasi politik publik, meski dalam implementasinya hal ini perlu disokong dengan pendidikan yang baik pula. Tapi setidaknya kita tahu bahwa masyarakat semakin cerdas dan kritis. Hal ini kemudian diperkuat dengan semakin menggeliatnya peran media. Meski tidak serta merta melenyapkan praktik politik korup, tapi setidaknya kini masyarakat lebih merdeka menyuarakan pendapatnya dan menimbang-nimbang sendiri pilihan politiknya.
Tapi, di waktu yang sama, kita juga tak dapat menghindari fakta bahwa politik dan peta kuasa di negara ini masih dikendalikan oleh kekuatan pemilik modal. Pendapat beberapa pengamat politik belakangan ini membuat saya meringis. Adi Prayitno, pengamat politik dari UIN Jakarta, misalnya, mengatakan kalau Anies Baswedan tidak memiliki gagasan nyata dan menonjol yang membuatnya berbeda dari Presiden Jokowi atau rezim yang sekarang. Sejauh ini tak ada “serangan” dari Anies sebagai capres kepada pemerintah, baik berupa kritik maupun gagasan baru yang ditawarkan. Tak ada kritik terhadap proyek IKN ataupun utang negara yang makin membengkak, misalnya.
ADVERTISEMENT
Ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan sangat mungkin tersandera oleh berbagai kekuatan di bekalang gerbong koalisi yang mengusungnya. Anggapan ini lantas dipertegas oleh penyataan petinggi Partai Nasional Demokrat, salah satu partai pengusung Anies Baswedan, yang mengungkapkan bahwa capres mereka itu bukanlah anitesa Jokowi, lalu meminta sang capres untuk tetap melanjutkan proyek IKN. Belakangan, Anies Baswedan sendiri dengan cukup tegas mengatakan bahwa ia menang tetap akan meneruskan proyek IKN jika nanti terpilih sebagai presiden.
Maka, cukuplah terang benderang bahwa kekuasaan politik negara ini masih didominasi oleh kekuatan partai politik dan para elite, serta para pemodal di belakangnya. Kepentingan untuk menciptakan Indonesia yang demokratis, adil, harmoni dan sejahtera masih harus dikalahkan oleh kepentingan untuk mengamankan kekuasaan dari para elite partai dan memperbesar kapital dari para pengusaha.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun poros dan koalisi politik yang terbentuk jelang pemilu nantinya, itu tak lebih dari sekadar permainan kelas elite yang tak mampu dijangkau kelas jelata. Tak ada politik gagasan, yang ada hanyalah politik transaksional. Jika kondisinya terus begini, maka siapapun yang nantinya menjadi presiden, itu akan sama saja bagi rakyat dan, mungkin tak akan mengubah apapun.
Bunga lotus? Apa itu bunga lotus?