Merayakan Kemerdekaan dengan Kemanusiaan

Anggit Rizkianto
Dosen di STID Al-Hadid Surabaya.
Konten dari Pengguna
11 Agustus 2021 15:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggit Rizkianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Zabur Karuru/ ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Zabur Karuru/ ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofische principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan 'internasionalisme'. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan; yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme."
ADVERTISEMENT
Itu adalah apa yang diucapkan Bung Karno dalam pidatonya saat sidang pertama BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Chuo Sangi In, Jakarta. Internasionalisme atau peri-kemanusiaan merupakan prinsip kedua yang ditawarkannya kepada seluruh anggota BPUPKI terkait dasar negara setelah prinsip yang pertama: kebangsaan Indonesia atau nasionalisme. Menurut Bung Karno, kebangsaan dan kemanusiaan adalah dua hal yang harus bergandengan erat, tidak boleh terpisah satu sama lain.
Bagi saya, sila kemanusiaan adalah gagasan paling luar biasa dari Pancasila. Tanpa bermaksud merendahkan sila-sila yang lain, namun nyatanya sila kemanusiaan adalah gagasan yang paling universal sekaligus paling mudah untuk diterjemahkan. Secara sederhana, sila kemanusiaan dapat kita maknai sebagai amanah kepada setiap manusia Indonesia untuk selalu berbuat baik kepada manusia lain apapun suku, etnis, agama, maupun bangsa dan negaranya. Dengan kata lain, kita sebagai orang Indonesia harus berbuat baik kepada siapapun karena kita sama-sama manusia. Itulah sebabnya sila kemanusiaan dalam Pancasila itu sangat erat kaitannya dengan gagasan humanisme maupun altruisme.
ADVERTISEMENT
Humanisme adalah pemikiran filsafat yang menempatkan kemanusiaan di atas segalanya, sedangkan altruisme adalah tindakan untuk selalu mengasihi orang lain; selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Oleh sebab itu, konsep keduanya saya pikir sangat relevan dengan alam pikiran Pancasila, khususnya sila kemanusiaan. Pancasila mengamanahkan kepada kita semua untuk tidak hanya menjadi seorang yang nasionalis, tetapi juga humanis dan altruis. Bukan seorang yang egois dan individualis. Bahkan, boleh dibilang kemanusiaan dalam Pancasila lebih memapankan gagasan humanisme yang berasal dari Barat, karena apa yang digagas Bung Karno itu kemudian lebih disempurnakan menjadi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” saat Panitia Sembilan menyepakati Piagam Jakarta. Gagasan kemanusiaan tersebut kemudian tetap bertahan tatkala Pancasila ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Itu artinya “adil” dan “beradab” adalah kompas moral kita dalam menegakkan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Tentu kita semua sepakat bahwa sila kemanusiaan adalah sila yang paling relevan dengan kondisi saat ini karena Indonesia dan dunia tengah disibukkan dengan persoalan pandemi. Penyebaran virus SARS-CoV-2 yang tak terkendali bukan hanya menyebabkan krisis kesehatan tetapi krisis multidimensi. Di tengah situasi yang serba tak menentu seperti ini, tentu tindakan saling bantu membantu mutlak dibutuhkan dan nilai-nilai kemanusiaan harus selalu didengungkan. Rasa kemanusiaan harus menjadi motivasi terdalam dalam setiap usaha kita mengatasi pandemi, karena pandemi adalah masalah semua orang.
Sayangnya, alih-alih ia bersemi di tengah pandemi, rasa kemanusiaan kita justru lebih banyak terlukai. Kasus korupsi dana bansos dan berbagai kebijakan pemerintah yang terkesan meremehkan pandemi sejak awal kemunculannya justru lebih banyak mengusik nurani terdalam kita sebagai manusia. Seolah belum cukup, hal tersebut kemudian diperparah dengan laku para politisi kita yang menghambur-hamburkan uang hanya untuk pemasangan baliho di mana-mana. Pandemi tak kunjung usai, tapi pertarungan untuk 2024 tetap dimulai. Rasa kemanusiaan seolah telah tercerabut dari jiwa-jiwa mereka.
ADVERTISEMENT
Lunturnya nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu bangsa tidak boleh dianggap remeh, karena itu akan turut merobohkan nasionalisme kita. Itulah sebabnya Bung Karno mengatakan, “Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme (kemanusiaan).” Jujur saja, saya merasa geli ketika membaca berita tentang pemerintah yang hendak mewajibkan ASN menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, dan kampus negeri juga wajib memperdengarkan lagu tersebut. Maksud saya, bagaimana bisa kita menumbuhkan nasionalisme, rasa kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa dan negara di tengah masyarakat yang menderita dan menganggap negaranya telah gagal? Tidak ada nasionalisme di tengah masyarakat yang dilukai rasa kemanusiaannya. Tidak ada nasionalisme bagi orang-orang yang ditinggal mati sanak keluarganya dan negaranya menutup mata akan hal itu. Perayaan kemerdekaan dengan sorak-sorai dan pernak-pernik yang tampak meriah hanya akan jadi omong kosong dan tak memiliki makna.
ADVERTISEMENT
Namun, saya pikir setidaknya nilai kemanusiaan itu masih ada di tengah-tengah kita sebagai warga negara. Gerakan solidaritas dan aksi-aksi kerelawanan justru tumbuh subur di level masyarakat sipil (civil society). Belakangan ini, aksi-aksi semacam itu tampaknya makin marak di bawah payung narasi Warga Bantu Warga. Ini tentu harus kita syukuri dan harus kira rajut terus. Jangan sampai nilai-nilai kemanusiaan yang masih tersisa di tengah-tengah kita menjadi padam.
Di media sosial Twitter, nilai-nilai kemanusiaan juga dapat kita saksikan dengan cukup semarak karena aksi seorang dokter asal Amerika Serikat, Dr. Faheem Younus, yang kerap mengedukasi perihal pencegahan dan penanganan COVID-19 yang secara spesifik ditujukan untuk masyarakat Indonesia. Ustaz Faheem—mari kita menyebutnya ustaz karena ia tampak lebih “ustaz” daripada ustaz-ustaz lain yang ada di Twitter—juga cukup sering merespons berbagai isu teraktual perihal penanganan pandemi di Indonesia, meski menggunakan bahasa Indonesia yang kadang tata bahasanya sedikit kacau. Banyak warganet yang merasa terbantu oleh twit-twit Ustaz Faheem, walaupun ada saja yang mencoba menjatuhkan kredibilitasnya dengan mem-blow up identitasnya yang ternyata adalah pengikut Ahmadiyah. Namun, nyatanya mayoritas warganet tidak mau ambil peduli terhadap identitas keagamaan sang ustaz. Hal ini saya pikir makin membuktikan bahwa kemanusiaan adalah kebaikan universal yang dapat dilakukan oleh siapapun dan kepada siapapun. Hanya kemanusiaan yang dapat menerobos sekat-sekat etnis, bangsa, negara, agama, golongan, mazhab maupun aliran.
ADVERTISEMENT
Ada satu twit dari Ustaz Faheem yang sangat menarik perhatian saya, yang kurang lebih berbunyi: “Di era Google Terjemahan, kita tidak perlu tahu 100 bahasa untuk meningkatkan kesehatan global. Kita hanya perlu tahu satu: bahasa kepedulian.” Bagi saya, bahasa kepedulian yang dimaksud oleh Ustaz Faheem sangat terkoneksi dengan konsep peri-kemanusiaan dalam Pancasila—yang dalam istilah Bung Karno adalah internasionalisme. Apalagi jika bahasa kepedulian itu ditempatkan dalam konteks peningkatan kesehatan dalam skala global.
Pada intinya, di saat kita masih berharap pemerintah masih mau untuk berbenah, kita semestinya tidak perlu merasa sendiri. Yakinlah masih banyak orang baik di luaran sana yang senantiasa memanusiakan manusia lain tanpa peduli apapun identitasnya. Mari merayakan kemerdekaan dengan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT