Huru-hara KUHP: Saat Demokrasi Digerus Pasal Kontroversial

Anggita Divacitra
undergraduate student at Amikom Yogyakarta University majoring in International Relations.
Konten dari Pengguna
9 Januari 2023 16:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggita Divacitra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Illustrasi | Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Illustrasi | Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sudah disahkan oleh DPR hingga kini masih jadi perdebatan hangat, melihat banyaknya tuaian kritik mulai hari itu juga ketika masih sebagai rancangan hingga resmi disetujui ini belum menemui titik terang. Pro kontra UU hadir dari masyarakat, terutama banyak menganggap KUHP akan ancam demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pengesahan RKUHP terkesan tergesa-gesa dengan belum memperhatikan segala aspek yang mencakup di dalamnya. Tak ada transparansi dan partisipasi yang jelas. Dalam proses penyusunan dan pembahasan seperti hanya jadi hak dan kepentingan pihak internal, tidak dilakukan secara terbuka. Ada ruang partisipasi bagi masyarakat, tetapi pemerintah seolah tak bersikap serius untuk mewujudkan partisipasi yang bermakna.
Lihat saja pasal-pasal kontroversial yang terus jadi polemik publik, di antaranya hina pemerintah atau lembaga negara terancam 1,5 tahun penjara, melakukan demonstrasi bisa dipidana 6 bulan penjara, aturan tentang hukuman mati hingga penurunan hukuman koruptor dengan minimal jadi 2 tahun.
Penghinaan terhadap lembaga negara dianggap sebagai bentuk pembatasan ruang kritik yang sudah seharusnya lembaga harus terima segala keluh kesah masyarakat. Namun, penulis berpandangan bahwasannya pasal ini tak begitu bermasalah mengingat masyarakat sudah seharusnya aktif ikut serta berpartisipasi politik.
ADVERTISEMENT
Tetapi ada baiknya memang dalam batasan undang-undang, hal ini juga tak menjadi indikator yang justru menyatakan kalau Indonesia bukan lagi negara demokratis karena ada batasan tersebut sebab bagaimanapun jika kebebasan dalam berpartisipasi dengan menyampaikan pendapat atau kritik yang bebas sebebasnya jelas akan berbahaya.
Maka dari itu, adanya Undang-undang juga diperlukan untuk membuat masyarakat tak terlalu frontal. Jangan hanya berlindung dibalik demokrasi yang dianut negara artinya ada kebebasan penuh bagi masyarakat. Adanya batasan dalam Undang-undang bukan berarti membatasi, masyarakat harus sadar kalau kadang kala apa yang disampaikan sudah sampai pada taraf penghinaan yang merendahkan pihak tertentu dan ini bukan tindakan yang dibenarkan.
Kemudian berdasarkan pasal 256, melakukan demonstrasi atau pawai tanpa pemberitahuan pihak berwenang yang mengakibatkan timbul huru-hara dalam masyarakat dapat dipidana 6 bulan. Pasal ini dinilai mengancam demokrasi karena bagaimanapun bentuk paling mudah untuk berpartisipasi melalui demonstrasi, tetapi menilik pada aksi demonstrasi yang sudah memiliki izin saja seringkali terjadi bentrok.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi jika tanpa pemberitahuan pihak berwenang. Penulis pikir pemerintah ingin aksi-aksi demonstrasi berjalan terstruktur dengan meminimalisasi kejadian-kejadian buruk. Akibatnya, dituangkanlah pada pasal ini guna sebagai bentuk pencegahan, tetapi memang dalam pemilihan kata dan kalimat kurang dapat langsung dipahami dengan jelas.
Selanjutnya, hukuman paling minimal koruptor yang justru diturunkan dari 4 tahun menjadi 2 tahun. Ini jelas merugikan baik masyarakat maupun negara. Namun, tak tahu pasti mengapa justru dilakukan demikian. Paling minimal 4 tahun saja sebetulnya belum sepadan, apalagi hanya 2 tahun.
Koruptor di Indonesia jelas paling berbahagia ketika membaca pasal ini. Risiko diketahui dan ditangkapnya rendah, jika tertangkap dianggap hanya kurang beruntung. Ketika para pelaku korupsi diungkap pada media juga tak menjadi perkara luar biasa. Korupsi justru jadi tindakan yang sudah biasa terjadi dan tak heran lagi kalau Indonesia menjadi negara paling nyaman bagi koruptor.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harusnya sadar kalau penurunan pidana ini justru membuat korupsi makin merajalela. Menyambung pada penerapan hukuman mati yang dinilai melanggar HAM, tetapi jika berbicara pada konteks kejahatan atau tindakan yang dilakukan seseorang sudah dalam batas yang tak dapat diampuni, maka hukuman mati dinilai tepat untuk dilakukan.
Pada akhirnya dengan masih beredarnya polemik pro-kontra KUHP hingga sorotan dari negara lain, sudah seharusnya lembaga negara meninjau dan mempertimbangkan kembali mana saja yang perlu dibenahi. Selain itu, jika menilik pada data The Economist Intelligence Unit, lembaga yang memberikan penilaian terhadap kondisi politik, sosial, dan ekonomi suatu negara.
Indonesia masih dikategorikan dalam demokrasi cacat, artinya salah satu indikator penilaian melihat pada sistem kontrol pemerintahan, yang meliputi peradilan dan penegakkan hukum serta kinerja dari pemerintah sendiri yang masih memiliki banyak tantangan untuk dihadapi. Contohnya jelas bisa dilihat pada pengesahan KUHP yang dinilai sebagai kemunduran demokrasi Indonesia dan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia.
ADVERTISEMENT
Apa yang masyarakat inginkan, pemerintah Indonesia dapat meningkatkan kualitas undang-undang agar demokrasi secara nyata terwujud dalam kehidupan negara Indonesia yang benar-benar demokrasi.