Konten dari Pengguna

Pengaruh Krisis Pengungsi Suriah Terhadap Kebijakan Migrasi Di Uni Eropa

Anggita Febriyanti
Mahasiswi Universitas Bali Internasional
7 November 2024 12:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggita Febriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jumlah pengungsi Suriah mencapai empat juta lebih - ANTARA News
zoom-in-whitePerbesar
Jumlah pengungsi Suriah mencapai empat juta lebih - ANTARA News
ADVERTISEMENT
Krisis pengungsi Suriah adalah salah satu tragedi kemanusiaan terbesar di era modern, yang secara langsung berdampak pada kebijakan migrasi di berbagai negara, terutama Uni Eropa (UE). Konflik berkepanjangan di Suriah, yang dimulai pada 2011, telah mengakibatkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan melarikan diri ke negara-negara tetangga, serta banyak yang mencari perlindungan di Eropa. Menyusul konflik ini, gelombang migrasi besar-besaran terjadi pada 2015-2016, yang menguji kapasitas kelembagaan, solidaritas antarnegaranya, serta prinsip-prinsip dasar kebijakan migrasi UE. Krisis ini memaksa UE untuk mempertimbangkan kembali kebijakan migrasi, yang sebelumnya difokuskan pada pengendalian perbatasan dan keamanan, menuju pendekatan yang lebih humanis tetapi juga penuh tantangan (ROYNANDA, 2019).
Krisis Suriah Archives - Suara Muslim
zoom-in-whitePerbesar
Krisis Suriah Archives - Suara Muslim
Kebijakan Migrasi UE Sebelum dan Setelah Krisis Pengungsi Suriah
ADVERTISEMENT
Sebelum krisis, kebijakan migrasi Uni Eropa sudah mengatur berbagai aspek terkait migrasi dan perlindungan pengungsi. Kebijakan tersebut mencakup aturan pengendalian perbatasan melalui Frontex, Badan Perbatasan UE, serta kebijakan Dublin Regulation yang mengatur di mana seorang pengungsi pertama kali mengajukan permohonan suaka di wilayah UE. Namun, sistem ini terbukti kurang fleksibel dalam menghadapi arus pengungsi yang besar. Kebijakan prakrisis ini justru membebani negara-negara perbatasan seperti Yunani dan Italia, yang harus menampung ribuan pengungsi dengan fasilitas yang sangat terbatas.
Setelah krisis mencapai puncaknya pada 2015, kebijakan UE dirombak secara mendasar. UE memperkenalkan skema redistribusi untuk membagi tanggung jawab antarnegara anggota melalui Relocation and Resettlement Scheme. Kebijakan ini bertujuan untuk mendistribusikan pengungsi secara lebih merata ke seluruh negara anggota. Selain itu, UE menandatangani perjanjian dengan Turki pada 2016, yang bertujuan untuk mengurangi jumlah pengungsi yang mencapai Eropa melalui rute Mediterania Timur. Dalam kesepakatan tersebut, Turki setuju untuk menampung pengungsi Suriah di wilayahnya dengan imbalan bantuan keuangan dari UE serta beberapa konsesi politik. Namun, kebijakan ini menuai banyak kritik, terutama dari organisasi hak asasi manusia yang menilai bahwa UE mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan demi kepentingan keamanan dan stabilitas politik. Beberapa negara anggota juga merasa terbebani oleh kebijakan redistribusi, yang akhirnya memicu perdebatan internal dan tantangan solidaritas antarnegara anggota UE (Arne Niemann, 2023).
Turki Menampung Lebih dari 3,6 Juta Pengungsi Suriah' - gontornews.com
Pendekatan Kelembagaan Kebijakan Migrasi UE dalam menangani Krisis Suriah
ADVERTISEMENT
Pendekatan kelembagaan adalah salah satu perspektif utama yang digunakan untuk memahami respons kebijakan UE terhadap krisis pengungsi Suriah. Sebagai organisasi supranasional, UE memiliki berbagai institusi yang terlibat dalam perumusan kebijakan migrasi, seperti Komisi Eropa, Dewan Eropa, dan Parlemen Eropa. Krisis pengungsi menunjukkan kelemahan sistem kelembagaan UE dalam menangani tantangan migrasi yang mendesak, terutama dalam menghadapi berbagai kepentingan nasional yang berbeda di antara negara-negara anggotanya. Kebijakan redistribusi pengungsi, misalnya, diusulkan oleh Komisi Eropa untuk meningkatkan solidaritas antarnegaranya, tetapi menghadapi penolakan dari negara-negara seperti Polandia, Hungaria, dan Ceko, yang menolak menerima pengungsi atas dasar kedaulatan dan keamanan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan kelembagaan UE memiliki keterbatasan ketika berhadapan dengan kepentingan nasional yang kuat. Akibatnya, UE terpaksa mencari solusi kompromi, seperti kesepakatan dengan Turki, yang bertujuan untuk membatasi migrasi langsung ke wilayah UE (Amorim, 2022). Uni Eropa (UE) menghadapi berbagai keterbatasan kelembagaan dalam menangani tantangan migrasi, terutama karena kurangnya koordinasi antarnegara anggota yang memiliki pandangan berbeda terkait penerimaan migran. Negara-negara perbatasan seperti Yunani, Italia, dan Spanyol sering menanggung beban lebih besar, sementara solidaritas pembagian beban yang minim membuat mereka kewalahan. Proses suaka yang lambat dan kompleks menambah penumpukan aplikasi. Selain itu, UE cenderung berfokus pada penanganan darurat daripada mengatasi akar masalah migrasi, seperti konflik di negara asal, yang membuat tantangan migrasi berulang. Kebijakan eksternalisasi dan keterbatasan kapasitas negara anggota juga sering menciptakan masalah sosial dan moral, sedangkan kesenjangan kebijakan antar negara menyulitkan konsistensi dalam penanganan migrasi. Secara keseluruhan, UE memerlukan kebijakan migrasi yang lebih komprehensif, adil, dan selaras di antara negara anggotanya (Zeynep Sahin-Mencutek, 2022).
ADVERTISEMENT
Pengaruh Sosial dan Politik dari Krisis Pengungsi
Krisis pengungsi Suriah tidak hanya berdampak pada kebijakan migrasi UE, tetapi juga memperkuat tren politik dan sosial tertentu di Eropa. Seiring dengan meningkatnya kedatangan pengungsi, partai-partai sayap kanan dan anti-imigran mendapatkan dukungan yang signifikan di banyak negara UE. Partai-partai seperti Alternative für Deutschland (AfD) di Jerman, Front National di Prancis, dan Lega di Italia, menggunakan isu migrasi sebagai alat politik untuk memobilisasi dukungan, dengan menggambarkan pengungsi sebagai ancaman bagi keamanan dan identitas nasional. Selain itu, krisis
pengungsi mengungkapkan ketidaksepakatan mendalam di antara negara-negara anggota UE mengenai solidaritas dan tanggung jawab bersama. Negara-negara di Eropa Timur menolak redistribusi pengungsi dengan alasan keamanan dan kedaulatan, sementara negara-negara Barat yang lebih terbuka terhadap pengungsi merasa bahwa mereka tidak didukung dalam menangani beban migrasi. Situasi ini menyebabkan ketegangan yang mengancam prinsip kesatuan UE, yang seharusnya didasarkan pada nilai-nilai solidaritas dan kesetaraan (SETIABUDI, 2021).
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Krisis pengungsi Suriah memberikan tantangan besar bagi Uni Eropa dalam mengelola kebijakan migrasi yang adil dan efektif. Di satu sisi, UE harus mempertahankan prinsip-prinsip kemanusiaan dan solidaritas sebagai bagian dari identitasnya; di sisi lain, UE menghadapi keterbatasan institusi dan kepentingan nasional yang sulit untuk disatukan. Pendekatan kelembagaan dan rasional yang diambil UE menunjukkan upaya untuk mengatasi krisis ini, meskipun ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Pada akhirnya, krisis pengungsi Suriah menekankan pentingnya reformasi dalam kebijakan migrasi UE yang lebih fleksibel dan responsif terhadap tantangan global. UE perlu membangun kebijakan yang lebih solid, baik dalam hal koordinasi antarinstitusi maupun dalam penyatuan kepentingan negara-negara anggotanya, agar dapat menangani tantangan migrasi masa depan dengan lebih baik.
ADVERTISEMENT