Konten dari Pengguna

Masa Depan Bangsa di Tangan Generasi Muda: Apakah Mereka Siap?

Anggita Leliana Dwi Anggraini
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Negeri Surabaya
10 November 2024 9:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggita Leliana Dwi Anggraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar Indonesia 2045. Sumber: canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar Indonesia 2045. Sumber: canva.com
ADVERTISEMENT
Fakta mengejutkan! Banyak pelajar yang darurat membaca. Kita harus bertindak sekarang, jika tidak, lantas bagaimana nanti yang disebut Indonesia Emas 2045? Sayangnya saat ini sedang marak isu-isu terkait pelajar menengah yang minim literasi. Hal ini tentunya akan banyak pelajar yang krisis terhadap pengetahuan berbagai isu, bahkan tentang negaranya sendiri. Dulu masuk SD harus sudah bisa baca. Namun, saat ini banyak pelajar yang belum bisa baca, bahkan fenomena tersebut dialami oleh pelajar menengah. Perubahan yang begitu drastis ini tentu saja sangat disayangkan. Jadi, ada apakah dengan sistem pendidikan di Indonesia dan bagaimana pelajar memanfaatkan era digital ini?
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini banyak bertebaran konten pada salah satu platform digital, di mana pada konten tersebut konten kreator melakukan sosial eksperimen berupa wawancara dengan sasaran pelajar SD hingga SMA. Pada konten tersebut, kreator mewawancara dengan menanyakan berbagai macam pertanyaan. Mulai dari pertanyaan umum hingga pertanyaan kewarganegaraan. Mirisnya dalam wawancara tersebut sebagian besar dari mereka tidak dapat menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Salah satunya konten yang diunggah pada akun tiktok @dino_wakkjes, dengan pertanyaan “Apa kepanjangan dari MPR?”. Pertanyaan sesederhana itu mereka tidak bisa menjawab, padahal sudah pelajar menengah.
Konten wawancara beberapa anak sekolah oleh tiktok.com/@dino_wakkjess.
Salah satu fenomena pelajar juga diunggah oleh salah satu guru SMP pada sosial media nya, di mana salah satu siswanya menanggapi teguran beliau dengan kasar dan terkesan membangkang. Pada unggahan ini terdapat satu siswa yang didapati tertidur saat jam pelajaran dan tidak pernah mengerjakan tugas. Namun ia tidak merasa bersalah dan memberikan respon yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang murid kepada guru. Hal ini tentunya sangat menandakan bahwa adanya krisis akhlak. Mengapa semua itu bisa terjadi?
ADVERTISEMENT
Fenomena-fenoma tersebut dapat terjadi karena cepatnya arus globalisasi, dengan adanya perkembangan digital dan tentu adanya sistem pendidikan yang kurang sesuai dilakukan oleh pelajar di Indonesia. Tidak adanya panduan dan kurangnya perencanaan sistem pembelajaran juga menunjukkan bahwa kurikulum merdeka ini berjalan kurang optimal. Selain itu juga kurangnya pemahaman guru dan ketidaksiapan dalam mengajar serta sulit menjalankan perubahan yang tiba-tiba juga menjadi salah satu faktornya. Dihapusnya sistem ujian nasional dan penghapusan sekolah favorit juga menjadi problem. Sebagian besar pelajar menjadi tidak termotivasi dengan berlomba–lomba belajar dan meningkatkan motivasi dalam bersaing. Pemerintah juga kurang melakukan pemantauan terhadap jalannya kurikulum tersebut. Pada kolom komentar di beberapa laman mayoritas orang ingin kurikulum dirubah seperti sebelumnya. Harapan kepada pemerintah apabila tidak merubah sistemnya, perlu diperlukan analisis lebih lanjut terkait kurikulum merdeka ini. Dengan mengkaji lebih lanjut terkait perencanaan sistem dan mematangkan agar bisa memberikan panduan secara jelas terhadap tenaga pengajar.
ADVERTISEMENT
Faktor lain juga karena Indonesia darurat membaca! Kondisi rendahnya minat baca ini menjadikan masyarakat, dalam case ini pelajar, menjadi tidak update dengan berbagai isu sekitar bahkan kurangnya memahami mata pelajaran di sekolah. Menurut UNESCO hanya 0,001% masyarakat Indonesia yang memiliki minat baca. Itu artinya hanya ada 1 orang yang memili minat baca diantara 1000 orang. Menurut PISA pada tahun 2022 Indonesia menempati peringkat 70 dari 80 negara yang memiliki minat baca. Fenomena ini tentunya sangat disayangkan terjadi pada era digital ini.
Selain karena sistem pendidikan juga ketidaksiapan pelajar terhadap era digital ini. Namun karena cepatnya perkembangan dengan tidak diimbangi pengetahuan, jadi pada era ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Seperti pelajar hanya menggunakan gadget untuk bermain game online. Maraknya penggunaan AI dan ketidaksesuaian terhadap pemanfaatan AI juga menghambat proses dalam pembelajaran. Pelajar jadi lebih bergantung pada AI dan tidak ada motivasi dalam belajar.
ADVERTISEMENT
Untuk menghadapi fenomena ini sebaiknya pemerintah bekerjasama dengan bidang pendidikan melakukan sosialisasi kepada pelajar agar dapat memanfaatkan gadget dengan baik. Seperti mengadakan program penyuluhan pada sekolah-sekolah dan membuat program belajar yang memanfaatkan gadget dengan baik.
Kesimpulan dari berbagai fenoma diatas Indonesia perlu adanya perubahan sistem pendidikan. Dengan mengganti sistem kurikulum atau mengkaji kembali dan mematangkan sistem kurikulum yang telah berjalan. Dalam kasus minim literasi, hendaknya pemerintah bekerjasama dengan kementrian pendidikan mengadakan program-program untuk menunjang minat baca. Dengan menyiapkan pojok baca di sekolah-sekolah dan mengadakan literasi. Para pelajar juga membutuhkan sosialisasi terkait pemanfaatan penggunaan gadget dan pemanfaatan AI oleh sekolah.