Konten dari Pengguna

Demi Diskon dan Flash Sale: Paylater Jadi Solusi atau Masalah?

Anggita Putri Maharani
Mahasiswi Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada
15 Desember 2024 15:34 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggita Putri Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gaya Hidup Belanja Online
Seiring dengan perkembangan zaman, perubahan teknologi dan inovasi telah mengubah cara masyarakat menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pola konsumsi. Di era globalisasi ini, masyarakat cenderung terdorong untuk terus mengikuti tren terbaru agar tetap relevan di lingkungan sosial mereka. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) atau rasa takut ketinggalan menjadi salah satu pendorong utama perilaku konsumtif yang semakin mengakar di kalangan generasi masa kini. FOMO menciptakan tekanan sosial untuk selalu berada di garis depan dalam mengikuti perkembangan mode, teknologi, hingga tren belanja online yang kini marak terjadi.
ADVERTISEMENT
Kemajuan teknologi telah memudahkan masyarakat untuk mengakses berbagai barang dan layanan, termasuk melalui e-commerce dan platform belanja online. Fenomena seperti flash sale dan diskon besar-besaran menjadi strategi utama yang mampu menarik perhatian konsumen. Dengan hanya beberapa klik, produk yang diinginkan dapat segera dimiliki, sering kali dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasar. Hal ini menciptakan euforia belanja yang sulit dibendung, khususnya di tengah maraknya inovasi dalam industri seperti fashion dan elektronik.
Namun, dibalik kemudahan tersebut, pola konsumsi ini juga menimbulkan tantangan baru. Dorongan untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak selalu dibutuhkan sering kali berujung pada perilaku konsumtif yang berlebihan. Tren belanja yang semakin masif tidak hanya berdampak pada gaya hidup individu, tetapi juga memengaruhi aspek sosial dan lingkungan secara lebih luas.
ADVERTISEMENT
Keputusan Masyarakat terhadap Praktisnya Belanja Online
Dalam era digital saat ini, banyak masyarakat yang memilih untuk berbelanja online demi kemudahan dan efisiensi waktu. Selain faktor kenyamanan dan harga, ada juga aspek sosial dan emosional yang memengaruhi keputusan masyarakat dalam berbelanja online maupun offline. Berbelanja offline seringkali memberikan pengalaman sosial, seperti interaksi langsung dengan penjual dan konsumen lain, yang dapat menciptakan hubungan personal dan loyalitas. Sebagai contoh, penjual seringkali dapat memberikan rekomendasi produk secara langsung dan memungkinkan konsumen untuk menawar harga. Sementara itu, belanja online menawarkan kenyamanan tetapi cenderung memisahkan aspek sosial tersebut. Konsumen hanya berinteraksi dengan platform digital, algoritma, dan review produk yang dibuat oleh pembeli sebelumnya. Di sisi lain, perkembangan teknologi juga memberikan solusi untuk mengatasi beberapa kekurangan belanja offline. Dengan fitur seperti ulasan produk dan sistem pengembalian produk (return) yang mudah, e-commerce mencoba memberikan pengalaman yang lebih dekat dengan pengalaman berbelanja offline. Namun, aspek pengembalian produk (return) seringkali memerlukan biaya tambahan dan proses yang tidak selalu praktis bagi konsumen.
ADVERTISEMENT
Salwa, seorang remaja berusia 19 tahun, menyatakan bahwa ia menyukai berbelanja online karena dapat menghemat waktu. Dengan akses yang mudah melalui smartphone, Salwa dapat berbelanja kapan saja dan di mana saja tanpa terbatas jarak. Selain itu, ia sering menemukan penawaran yang lebih murah secara online dibandingkan dengan membeli secara offline. Namun, Salwa juga mengakui bahwa ada risiko ketidaksesuaian antara produk yang dibeli dengan ekspektasinya, baik dari segi bahan, model, dan kualitas produk.
Di sisi lain, Ibu Amalya, seorang perempuan berusia 49 tahun, memilih untuk berbelanja secara offline. Bagi beliau, membeli secara langsung memberikan keuntungan berupa pengamatan langsung terhadap bahan, model, dan kualitas produk. Bahkan, ada keuntungan tambahan seperti kemampuan tawar-menawar yang sering kali tidak dapat dilakukan saat berbelanja online. Namun, Ibu Amalya juga menghadapi beberapa hambatan, seperti faktor cuaca. Ketika hujan turun, ia harus menunggu reda, sedangkan saat cuaca panas terik, hal tersebut membuatnya malas untuk keluar rumah.
ADVERTISEMENT
Kedua pengalaman ini menunjukkan bahwa keputusan masyarakat dalam memilih antara berbelanja online dan offline dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kenyamanan, harga, kualitas, serta kondisi lingkungan. Praktisnya berbelanja online memang menawarkan fleksibilitas dan efisiensi, tetapi pengalaman offline memberikan pengalaman tentang kualitas produk secara langsung. Dengan memahami preferensi dan pertimbangan ini, perusahaan e-commerce dan toko offline dapat meningkatkan pengalaman berbelanja konsumen agar lebih optimal dan memuaskan.
Ilustrasi Belanja Online. Sumber: Freepik
Fenomena Belanja Online Tanpa Batas
Fenomena belanja online tanpa batas telah menjadi tren yang signifikan di kalangan masyarakat, terutama remaja. Berbagai platform e-commerce menawarkan akses mudah dan cepat ke produk yang diinginkan tanpa terhalang waktu dan lokasi. Dengan kemudahan ini, banyak remaja cenderung membeli barang hanya berdasarkan keinginan dan kesenangan, tanpa mempertimbangkan kegunaan atau fungsi dari produk tersebut. Mereka sering kali tergiur oleh diskon, flash sale, atau tren yang sedang populer di media sosial (Brilianaza dan Sudrajat, 2022).
ADVERTISEMENT
Keberadaan online shop menciptakan gaya hidup konsumtif di kalangan anak muda, di mana dorongan untuk memiliki barang lebih didasarkan pada tren sosial dan popularitas daripada kebutuhan sejati. Hal ini berdampak pada perilaku impulsif, pengeluaran berlebih, serta risiko utang konsumtif yang tidak terkendali. Selain itu, fenomena ini juga menimbulkan dampak lingkungan, seperti limbah produk yang tidak ramah lingkungan dan produksi massal dalam industri fast fashion. Dengan kata lain, fenomena belanja online tanpa batas bukan hanya mempengaruhi aspek individu tetapi juga menciptakan tantangan sosial dan lingkungan yang lebih kompleks.
Tren yang selalu terbarukan dengan sangat cepat membuat masyarakat akan ke arah pola konsumtif yang berlebihan dan seringkali kehilangan kesadaran akan apa yang memang pantas dibutuhkan, dikenakan, dan dimiliki. Dorongan untuk mengikuti tren, mendapatkan diskon, atau meniru teman-teman di media sosial seringkali membuat mereka membeli barang secara impulsif, tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau konsekuensi jangka panjang. Konsumen sering kali lebih fokus pada kepuasan sesaat daripada kualitas produk, fungsionalitas, atau keberlanjutan penggunaan barang tersebut. perilaku konsumtif dapat membawa dampak negatif, khususnya bagi kalangan remaja. Beberapa dampak negatif tersebut meliputi munculnya kecemburuan sosial, pengurangan peluang untuk menabung, serta kecenderungan untuk tidak mempertimbangkan kebutuhan di masa mendatang (Irmasari, 2010). Selain itu, perilaku ini dapat menyebabkan pengeluaran berlebihan, yang pada akhirnya berujung pada kesulitan keuangan, bahkan sampai harus berutang melalui platform online.
ADVERTISEMENT
Paylater demi Mengikuti Tren
Penggunaan metode paylater menawarkan kemudahan bagi kalangan muda untuk mendapatkan produk yang diinginkan tanpa perlu membayar secara langsung. Berdasarkan penelitian Kredivo dan Katadata pada Juni 2022, ada beberapa alasan mengapa banyak pengguna memilih paylater. Sekitar 56% responden merasakan fleksibilitas pembayaran cicilan, 55% menyukai akses cepat untuk mendapatkan kredit, dan 51% merasa bahwa metode ini aman karena terhubung dengan platform e-commerce yang telah diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Namun, salah satu tantangan utama dari penggunaan paylater adalah kesulitan dalam melunasi cicilan. Banyak pengguna, terutama remaja, tidak mempertimbangkan kondisi finansial mereka saat menggunakan layanan ini. Dorongan impulsif muncul akibat sistem paylater yang cepat dan praktis, yang membuat mereka cenderung membeli produk yang tidak benar-benar dibutuhkan. Hal ini menyebabkan cicilan yang harus dibayar menumpuk tanpa kesadaran.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kasus, ketidakmampuan untuk membayar cicilan paylater mengakibatkan terjerat utang dalam jumlah besar, bahkan hingga puluhan juta rupiah. Situasi ini tidak hanya berdampak pada aspek finansial pribadi, tetapi juga mempengaruhi stabilitas mental dan emosional, seperti stres, kecemasan, dan perasaan tertekan. Tidak jarang, remaja terpaksa mengambil pinjaman tambahan hanya untuk membayar utang sebelumnya.
Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang pengelolaan keuangan yang sehat dan mempromosikan kebijakan dari platform e-commerce serta lembaga terkait. Hal ini dapat berupa edukasi finansial, pembatasan penggunaan metode pembayaran digital seperti paylater, dan pengawasan yang ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan dapat menciptakan kesadaran finansial yang kuat dan stabilitas ekonomi jangka panjang bagi generasi muda, serta meminimalkan risiko masalah keuangan yang berdampak secara individu maupun sosial.
ADVERTISEMENT
Referensi
Auliaashary6571. (2023, 5 Juni). Wawancara Konsumen Pembelian Offline dan Online. Kompasiana. https://video.kompasiana.com/auliaashary6571/647e11ea82219905b471b462/wawancara-konsumen-pembelian-offline-dan-online
Universitas Indonesia (UI). (2023). Kecanduan Paylater dan Konsumtif Ancam Generasi Muda. https://www.ui.ac.id/kecanduan-paylater-dan-konsumtif-ancam-generasi-muda
Geotimes. (2023). Fenomena Online Shop sebagai Pilihan Gaya Hidup Remaja. Geotimes. https://geotimes.id/opini/fenomena-online-shop-sebagai-pilihan-gaya-hidup-remaja/
Irmasari, D. (2010). Dampak Positif dan Negatif dari Perilaku Konsumtif. Ringkasan Skripsi. Tersedia di: http://gunadarma.ac.id/. Diakses: 23 Oktober 2011.