Konten dari Pengguna

Profesionalisme Militer di Negara Demokrasi

Anggita Raissa
Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
16 April 2022 20:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggita Raissa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pxhere.com
zoom-in-whitePerbesar
Pxhere.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keamanan nasional merupakan salah satu agenda penting dalam kebijakan keamanan nasional. Agenda keamanan nasional dirancang untuk meningkatkan keamanan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik bangsa terhadap pelbagai kemungkinan ancaman yang muncul dari negara-negara merdeka lainnya.
ADVERTISEMENT
Militer punya peran dalam pengambilan kebijakan. Jika militer tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, maka implementasi kebijakannya pun tidak akan cukup rapi. Bahkan di beberapa negara, hal tersebut bisa menimbulkan kudeta.
Seperti yang terjadi di Myanmar. Pada 1948 ketika Myanmar mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris, negara itu pada awalnya adalah negara demokrasi, tetapi setelah kudeta tahun 1962, kini Myanmar telah dikuasai militer.
Dalam mewujudkan keamanan nasional, hubungan militer-sipil sangat penting untuk menjaga manifesto demokrasi. Hubungan militer-sipil merupakan komponen institusional yang harus ada dalam kebijakan militer. Hubungan tersebut berfungsi untuk mengurangi atau menetralkan segala bentuk usaha yang akan menghancurkan kedaulatan suatu negara, yaitu dengan menggunakan kekuatan senjata sebagai alat mempertahankan diri dari ancaman.
ADVERTISEMENT
Di negara demokrasi, penting untuk menerapkan profesionalisme militer sebagai sebuah penyekat, guna membatasi kerja serta fungsi dari peran militer itu sendiri. Upaya tersebut efektif untuk meredam atau bahkan mengeliminir gejolak antara militer dengan sipil.
Profesionalisme dibutuhkan agar pembagian tugas dapat berjalan sebagaimana mestinya. Artinya fungsi profesionalisme sendiri adalah upaya untuk tidak mengintervensi sesuatu yang bukan tugas dan fungsinya. Profesionalisme militer dalam negara demokrasi, itu berarti, militer dituntut untuk melakukan tugas dan fungsinya, tanpa mengintervensi aspek lain yang bukan tugasnya. Dalam hal ini, militer tidak boleh sedikitpun mengintervensi ranah politik (Purnamasari, n.d.).
Huntington dalam artikelnya “The Soldier and The States: The Theory and Politics of Civil-Military Relations,” menyebutkan terdapat tiga aspek utama yang perlu dijadikan fokus dalam menerapkan militer yang profesional.
ADVERTISEMENT
Pertama, Keahlian (expertise), ini berarti profesionalisme dapat dijalankan oleh orang yang mendapatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang tertentu. Seseorang yang menekuni profesi di militer, harus mendapatkan pengalaman yang sesuai bidangnya. Kedua, Tanggung jawab sosial (social responsibility), penting bagi seorang yang memiliki profesionalisme–dalam hal ini seorang militer, untuk bertanggung jawab melindungi masyarakat. Ketiga, kelompok atau lembaga (Corporateness), loyalitas memegang peran yang cukup signifikan dalam menimbulkan semangat dan kekompakan anggota militer (Luis & Moncayo, n.d.).
Ketiga ciri tersebut, menurut Huntington dapat dikatakan dengan istilah “the military mind” yang termanifestasikan ke dalam ideologi yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil. Hal inilah yang membikin militer memiliki kepatuhan kepada negarawan sipil. Itu sebabnya menurut Huntington, kaum militer yang melakukan intervensi terhadap ranah politik, sebetulnya kaum militer tersebut telah menyalahi aturan dalam etika militer profesional. Intervensi politik yang dilakukan oleh militer dapat menciptakan kemunduran pola hubungan masyarakat ke arah “masyarakat pretorian”.
ADVERTISEMENT

Upaya melepas intervensi militer ke politik

Intervensi militer terhadap politik gencar dilakukan pada era Orde Baru. Kesalahpahaman dwifungsi ABRI yang digagas oleh A.H Nasution, membuat pemerintahan Soeharto pada saat itu bergulir sangat lama. 32 tahun pemerintahan diktator Soeharto berkuasa yang bukan lain adalah buah dari intervensi militer (Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Indonesia), 2005).
Selepas pemerintahan diktator itu tumbang pada Mei 1998. Pemerintahan Habibie mulai menapak ke arah Reformasi dengan melakukan pemilu 1999, yang pada saat itu diikuti oleh 48 partai politik. Sebagai komitmen arah tuntutan Reformasi, tahap demi tahap pengurangan anggota legislatif terpilih yang berasal dari fraksi ABRI di DPR pun akan dikurangi.
Reformasi bangkit dan perlahan Indonesia berusaha melepas intervensi militer tersebut terhadap politik. Kebijakan telah telah diupayakan Indonesia untuk perwujudan demokrasi yang bebas dari intervensi militer. Hal itu merupakan implementasi dari dihapuskannya dwifungsi ABRI. Usaha tersebut tertuang dalam TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) yang menyatakan bahwa: “peran sosial politik dalam Dwi-fungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.”
ADVERTISEMENT
Namun, jika di lihat perkembangan demokrasi Indonesia saat ini, sebenarnya masih berjalan maju-mundur. Terlebih lagi dalam profesionalisme TNI sebagai sebuah institusi. Implementasi dari TAP MPR Nomor VI tahun 2000 belum benar-benar diterapkan sepenuhnya dalam ruang demokrasi. Upaya untuk mereformasi TNI harus segera dilaksanakan dengan maksimal serta membangun demokrasi yang berasal dari pemerintahan sipil (civil government) harus segera direalisasikan (Yusa Djuyandi, 2007).
Lambatnya rangkaian profesionalisme TNI, juga akan berakibat buruk bagi demokrasi Indonesia. Intervensi militer terhadap politik akan menimbulkan pemaksaan militer kepada pemerintah. Militer yang ikut andil dalam kerja-kerja politik, itu akan menghambat lajunya civil society.
Contoh lain penerapan profesionalisme militer ada pada Amerika Serikat yang memiliki pola hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan landasan kepercayaan. Amerika sangat membebaskan seluruh kehidupan rakyatnya pada negara, dan mereka pecaya bahwa Amerika akan melindungi hak-hak warga negaranya. Tak terkecuali hubungan militer-sipil di Amerika. Militer Amerika bertugas secara kolektif untuk menjalankan profesionalisme dan bertanggung jawab secara penuh terhadap seluruh rakyatnya (Luis & Moncayo, n.d.)
ADVERTISEMENT
Profesionalisme militer Amerika didapatkan dari adanya dukungan pemerintah terhadap pembentukan militer yang profesional. Terbukti dengan adanya institusi pemerintahan Amerika yang membentuk terciptanya militer yang profesional.
Institusi profesional militer tersebut adalah pendidikan militer yang lengkap. West point tersebut akan memberikan pendidikan awal yang nantinya diperlukan oleh para profesional. Selain itu, pemberian doktrinasi terhadap nilai-nilai militer dan disiplin militer juga ikut diberikan.
Sistem teknik infantri yang baru di Angkatan Darat militer Amerika juga dipersiapkan dengan baik. Pembentukan institusi profesionalisme pendidikan khusus militer juga dibuat untuk mengokohkan militer Amerika untuk mampu bersikap profesional sesuai bidangnya, yaitu membantu menjaga pertahanan negara.
Profesionalisme militer sangat dibutuhkan di negara demokrasi. Peran militer di negara demokrasi adalah sebagai penjaga keamanan nasional. Namun, apabila tidak ada kontrol untuk membatasi ruang gerak militer agar tidak mengintervensi pemerintahan sipil, Cepat atau lambat hal tersebut akan menciptakan kehancuran bagi marwah demokrasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT