Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
Sastra Angkatan Balai Pustaka sebagai Perwujudan Politik Etis
15 November 2022 11:58 WIB
Tulisan dari Anggita Tri Hapsari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Balai Pustaka resmi berdiri pada 22 September 1917. Perusahaan ini bergerak di bidang penerbitan, percetakan, dan multimedia. Sebelum berdiri sebagai entitas birokrasi yang terpisah, perusahaan ini dulunya merupakan Commisie voor Inlandsche Scool en Volklechtuur atau Komisi Bacaan Rakyat dan Pendidikan Pribumi yang dibentuk pada 14 September 1908.
ADVERTISEMENT
Saat itu, banyak beredar surat kabar yang memunculkan gagasan-gagasan nasionalisme dan anti penjajahan. Belanda tentu saja mengetahui situasi dan gejolak politik pada saat itu. Untuk tetap melanjutkan cita-cita politik etis, Belanda mendirikan Komisi Bacaan Rakyat. Pembentukan komisi itu berdasarkan keputusan Departement van Onderwijs en Eredienst No. 12. Tugas komisi ini adalah memberikan masukan kepada Direktur Pendidikan dalam memilih buku yang baik untuk bacaan di sekolah dan bacaan rakyat pada umumnya.
Pada tanggal 13 Oktober 1910, Komisi Bacaan Rakyat mendirikan perpustakaan “Taman Poestaka”. Perpustakaan ini bertujuan untuk menyebarkan buku-buku kepada masyarakat. Selain mendirikan perpustakaan, komisi juga menjual buku melalui "mobil buku" sebagai toko buku berjalan yang dikelola Depot van Leermiddelen hingga ke desa-desa di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
ADVERTISEMENT
Tujuan awal komisi ini sederhana. Pendidik Belanda di Hindia berpendapat bahwa pembaca baru (dewasa dan anak-anak) dan guru mereka di daerah pedesaan sangat membutuhkan buku. Seiring dengan pertumbuhan komisi tersebut, tujuannya berkembang menjadi manipulasi sosial melalui kontrol monopolistik atas semua mode produksi sastra di Hindia Belanda. Balai Pustaka memiliki standar untuk memilih teks yang akan diterjemahkan dan disebarluaskan: tidak boleh memuat agama secara terang-terangan, tidak ada pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah, dan tidak ada karakter yang bermoral rendah.
Selama lima tahun, untuk mencapai tujuan ini, aparatur birokrasi yang kompleks dan sangat terorganisir dirakit secara bertahap. D.A. Rinkes yang telah bergabung dengan komisi beberapa tahun sebelumnya, mulai memimpin komisi pada tahun 1913. Setelah dianggap sukses, Komisi Bacaan Rakyat bertransformasi menjadi “Balai Poestaka” yang tidak hanya mengumpulkan, tetapi juga mencetak dan menerbitkan bahan bacaan. Rinkes dipercaya sebagai pimpinan pertama Balai Pustaka hingga pensiun pada tahun 1926. Kepala badan berikutnya mengikuti jejak Rinkes, dan Balai Pustaka terus beroperasi di bawah kendali Belanda sampai invasi Jepang ke Indonesia pada tahun 1942.
ADVERTISEMENT
Balai Pustaka banyak menerbitkan kesastraan modern Indonesia. Pada tahun 1917, Balai Pustaka telah memperluas produksi sastra yang sesuai dengan menerjemahkan dan menerbitkan cerita dan novel Eropa dan Melayu, dan memastikan distribusinya ke seluruh koloni. Balai Pustaka telah menjual seratus ribu buku dan membukukan satu juta peminjaman terhitung hingga tahun 1920.
Suatu kesusastraan modern yang di dalamnya para pengarang Minangkabau muncul dan memainkan peranan yang penting. Di antara semua bahasa daerah di Nusantara ini, bahasa Minangkabaulah yang paling dekat dengan bahasa Melayu/Indonesia. Muhammad Yamin (1903-1962) menerbitkan sajak-sajak pertama yang benar-benar modern dalam tahun 1920-1922 dan meninggalkan bentuk-bentuk pantun dan syair. Seorang pengarang Batak, Sanusi Pane (1905-1968) juga menulis puisi modern pada tahun 1921. Pada tahun 1922, Marah Roesli (1889-1968) menerbitkan roman modern yang pertama, Sitti Noerbaja, yang menceritakan suatu hubungan cinta yang tragis sebagai akibat terjadinya benturan antara nilai-nilai tradisional dan modern. Novel ini disebut-sebut sebagai novel paling populer dan penting di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1923, terdapat 623 perpustakaan Balai Pustaka yang menyimpan naskah asli atau terjemahan berbahasa Melayu, misalnya Trois Mousquetaires karya Alexandre Dumas, Jungle Book karya Rudyard Kipling, dan Le Tour Du Monde En Quatre-Vingt Jours karya Jules Verne.
Beberapa terjemahan cukup sesuai dengan aslinya, sementara yang lain, menyesuaikan dengan jenis pergeseran cerita yang terjadi dalam sastra Indonesia, mengubah latar dari Eropa ke tempat-tempat yang sudah dikenal, dan bahkan terkadang mengubah genre. Misalnya, cerita pendek populer Jan Smees yang ditulis oleh Justus van Maurik, dalam terjemahan Merari Siregar, menjadi Si Djamin dan Si Djohan. Cerita yang berlatarkan daerah kumuh Amsterdam, dan menceritakan perjuangan Jan dengan rum, dalam versi terjemahannya mengambil latar di daerah miskin di Jakarta, dan mengganti rum dengan opium. Genre cerpen realistis diubah menjadi hikayat yang bernada lebih tinggi dan tokoh Jan, si Belanda, menjadi dua karakter Jawa, Djamin dan Djohane.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar terjemahan Balai Pustaka adalah cerita petualangan fiksi anak-anak, yang cocok untuk pembaca baru, namun sebaiknya tidak ditujukan untuk orang dewasa. Balai Pustaka juga melakukan monopoli pada perpustakaan kecil yang didirikan di setiap sekolah desa yang baru. Cita-cita politik etis untuk situasi kolonial diterjemahkan dengan rapi ke dalam model orang tua/anak yang dengan sendirinya membuat rakyat melupakan gagasan tentang kebangkitan nasional. Selain itu, karena pendanaan pemerintah yang sangat besar dalam menanggung semua aspek produksi, harga buku yang disponsori jauh lebih rendah daripada yang didistribusikan oleh penerbit independen. Dengan berkedok mengembangkan sastra di Hindia Belanda, Balai Pustaka dengan sengaja memanipulasi dan mengganggu praktik sastra lokal dalam kepentingan mempromosikan nilai-nilai Eropa dan mempertahankan kekuasaan Belanda.
ADVERTISEMENT