Konten dari Pengguna

Cerpen: Hari Minggu

Femas Anggit Wahyu Nugroho
Seorang Mahasiswa S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muria Kudus. Oleh Tuhan ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.
5 November 2024 15:21 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Femas Anggit Wahyu Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
Nenek meninggal kemarin malam. Saya tahu dari Bi Diah yang menelepon saya. Sehingga tadi, pagi buta saya berkemas lalu mengendarai sepeda motor pulang ke desa untuk membantu prosesi pemakaman nenek. Padahal hari ini hari Minggu, hari di mana saya seharusnya bermalas-malasan dan menikmati tidur sepanjang pagi hingga siang.
ADVERTISEMENT
Setelah pemakaman nenek, saya kembali ke rumah nenek dan sekarang berada di kamar nenek. Bi Diah berada di ruang tamu. Saya mungkin berduka, mungkin juga tidak. Saya hanya merasa kosong. Untuk mengusir rasa kosong itu, saya berpikir akan segera kembali ke kota hari ini juga, sorenya ke pantai, malamnya pergi nongkrong. Tapi tiba-tiba saya terdampar pada ingatan masa lalu mengenai nenek.
Tentang nenek, entah mengapa saya tidak merasa memiliki ikatan emosional yang kuat dengannya meskipun ia merawat saya semenjak saya berusia lima tahun, atau enam tahun. Saya sendiri sudah lupa. Saat itu ayah dan ibu saya entah ke mana. Saya hanya ingat sebuah pertengkaran antara ayah dan ibu di tengah malam yang membangunkan saya. Saya tidak berani keluar kamar. Beberapa hari setelah pertengkaran itu, ayah pergi dari rumah, begitu pula ibu. Sejak saat itu saya membenci mereka, sebab menelantarkan saya, ketika saya belum tahu apa-apa.
ADVERTISEMENT
Meski nenek selalu ada untuk saya, segalanya terasa sama saja. Saya tetap merasa sendirian dan kesepian. Hingga sampai pada pemahaman bahwa kesendirian dan kesepian adalah sebuah keniscayaan. Bahwa kesendirian dan kesepian tidak bergantung pada ada atau tidaknya orang lain. Barangkali ini yang membuat saya tidak pernah bisa memiliki ikatan emosional yang kuat dengan siapa pun, termasuk nenek.
Saya merasa tidak ada yang berarti apa-apa bagi diri saya. Dalam dunia yang luas ini, saya tidak tahu di bagian mana darinya saya berada. Namun, ketidakberartian yang saya rasakan justru menjadi semangat hidup saya. Sebab ketidakberartian yang saya rasakan memberi kebebasan kepada saya untuk melakukan apa-apa di kehidupan saya.
Barangkali itu pula yang membuat saya tidak terkejut ketika mendengar kabar kematian nenek. Saya tidak pernah merasa memiliki apa-apa, sehingga saya tidak pernah merasa kehilangan apa-apa. Segalanya selalu datang dan pergi dengan cara yang tiba-tiba. Jika semua orang sadar akan hal itu, saya pikir tidak ada yang perlu dikejutkan ketika mendengar kabar kematian. Dan, nenek memang sudah tua.
ADVERTISEMENT
Saya kira, nenek tahu bahwa saya membenci ayah dan ibu. Pernah suatu hari, saat saya masih SMA, nenek memberikan sebuah foto di mana ada ayah, ibu, dan saya yang mungkin berusia empat tahun. Sejenak saya memandangi foto tersebut sampai akhirnya saya berniat membuangnya ke tempat sampah. Tapi saya mengurungkan niat itu dan mengembalikan foto tersebut kepada nenek, tanpa saya memberitahukan alasannya.
Selama tinggal bersama nenek, saya tidak tahu dan tidak pernah mempertanyakan dari mana nenek mendapatkan uang untuk biaya kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah saya. Sepanjang pengetahuan saya, nenek hanya mendapatkan uang dari hasil berjualan lontong sayur. Saya sering membantunya sehingga saya tahu kisaran pendapatannya. Jika saya hitung-hitung, pendapatannya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah saya. Namun, tiap saya butuh uang untuk keperluan sekolah, nenek selalu sanggup memenuhinya.
ADVERTISEMENT
Sampai ketika saya hendak ke kota untuk kuliah sembari bekerja, nenek baru memberi tahu bahwa selama ini kehidupan kami berdua dibiayai oleh ibu. Setiap bulan ibu mengirimkan uang ke rumah melalui pos. Mengetahui hal itu tidak mengubah apa pun. Saya tetap menganggap ayah dan ibu sama-sama bajingannya. Tapi setelah saya pikir-pikir, ibu sedikit lebih baik. Setengah bajingan.
Pada hari ketika saya berangkat ke kota, saya mempercayakan nenek kepada Bi Diah untuk menemani dan menjaganya. Bi Diah adalah tetangga saya di desa. Ia sudah lama menjanda dan tidak punya anak. Rumahnya nyaris berdempetan dengan rumah saya. Saya bilang bahwa saya akan pulang ke desa dua minggu sekali, tapi mungkin terkadang satu bulan sekali. Sebab saya tahu kuliah sembari bekerja akan begitu menyibukkan.
ADVERTISEMENT
Pikiran saya itu terbukti benar. Saya hanya punya hari Minggu untuk bermalas-malasan. Jika pulang ke desa seminggu sekali-berangkat Minggu pagi, sore atau malamnya langsung kembali ke kota-saya pikir sangat menguras tenaga dan waktu. Perjalanan dari kota tempat saya berkuliah ke desa memerlukan waktu empat jam. Itu ketika tidak ada kemacetan. Jika macet, tentu lebih dari empat jam. Namun, saya selalu mengusahakan untuk video call ke Bi Diah setiap Sabtu malam. Bukan bermaksud apa-apa, saya hanya ingin tahu keadaan nenek.
Sampai kemarin malam ketika saya hendak melakukan video call dengannya, dia sudah lebih dulu menelepon saya dan mengatakan, “Nenekmu tiba-tiba meninggal di kamar mandi. Segeralah pulang untuk membantu pemakamannya besok.” Saya menyimpulkan mungkin nenek terpeleset di kamar mandi. Kemudian saya mengatakan kepada Bi Diah bahwa saya akan pulang ke desa esok paginya.
ADVERTISEMENT
Sekarang, saya berada pada kenyataan bahwa nenek sudah tiada. Saya keluar dari kamar nenek dan meneliti sudut-sudut rumah. Hanya ada kekosongan, benar-benar tinggal kekosongan, dan ketidakberartian. Saya lalu menemui Bi Diah di ruang tamu dan mengatakan bahwa saya akan segera kembali ke kota hari ini juga. Saya beralasan bahwa ada pekerjaan yang harus segera saya selesaikan.
“Begini, saya sebenarnya mau menyampaikan sesuatu,” tiba-tiba Bi Diah mengatakan hal ini yang seolah-olah ada sebuah rahasia besar. Saya berpikir dia sedang berusaha untuk menahan saya agar tidak segera kembali ke kota.
“Apa Bi?”
Saya menunggu Bi Diah bicara, tapi ia tak kunjung bicara. Lantas ia menyerahkah sebuah kartu alamat. Di kartu alamat tersebut tertulis: Blok C, No. 10, Griya Permai, Kota Manisan. Hmmm. Kota yang sama di mana saya berkuliah sekarang, dan saya tahu benar alamat itu merupakan perumahan yang berada di pinggiran kota.
ADVERTISEMENT
“Ini mungkin alamat ibu sampean sekarang. Jika sampean butuh apa-apa bisa coba ke alamat ini. Suatu hari, nenek sampean mendapatkan alamat ini terselip di antara uang di dalam amplop yang setiap bulan dikirim oleh ibu sampean melalui pos.”
“Begitu? Terima kasih Bi. Saya akan coba ke alamat ini kalau ada waktu.”
Saya pikir Bi Diah heran dengan reaksi saya. Dari mukanya, dia seperti bertanya-tanya mengapa saya tidak terlihat senang begitu mendapat petunjuk mengenai ibu saya.
Sebenarnya, sudah lama saya menduga bahwa Bi Diah diam-diam tahu mengenai keberadaan orang tua saya sekarang, setidaknya ibu saya. Bi Diah begitu akrab dengan nenek. Saya pikir nenek pasti banyak bercerita kepadanya mengenai ibu saya, sebab ibu lah yang masih sedikit peduli dengan saya dan nenek. Kalau ayah, saya tidak bisa menduga apa pun mengenai dirinya sekarang. Dan, saya tidak pernah ingin tahu tentangnya.
ADVERTISEMENT
“Oh ya Bi, bisa saya titip rumah ini?”
“Tenang, soal itu serahkan ke saya. Saya akan mengurusnya.”
Segera saya berkemas dan kembali ke kota. Diam-diam saya juga membawa foto yang dulu hendak saya buang ke tempat sampah. Saya menemukannya di kamar nenek.
Saya sampai di kota pada sore hari. Saya masih ingat dengan rencana untuk ke pantai. Tapi rencana itu saya batalkan. Sebab begitu sampai di kos, saya merasa capai. Saya ingin tidur sepanjang sore, menggantikan jam tidur yang seharusnya saya nikmati sepanjang pagi dan siang tadi.
Malam hari, saya juga masih ingat dengan rencana untuk pergi nongkrong. Rencana itu juga saya batalkan. Sebab saya ingin pergi ke alamat yang katanya adalah alamat ibu saya. Segera saya bersiap dan melaju mengendarai motor. Dari kos saya yang berada di pusat kota ke perumahan itu memerlukan waktu tempuh kurang lebih tiga puluh menit.
ADVERTISEMENT
Gang untuk masuk ke perumahan itu kecil dan tepat berada di tepi jalan raya. Saya memasuki gang perumahan itu, mencari Blok C dan rumah nomor 10. Tidak perlu waktu lama untuk saya menemukannya.
Rumah itu tidak berpagar dan pintunya tertutup. Segera saya menotok-notoknya dan mengucap salam. Tak berselang lama seorang gadis membuka pintu. Saya perkirakan usianya lima tahun di bawah saya. Jika sekarang saya berusia dua puluh tahun, maka gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun.
“Cari siapa mas?”
“Benar ini tempat tinggalnya Bu Maya?” (Ibu saya memang bernama Maya. Saya tahu itu dari nenek ketika ia memberikan foto yang hendak saya buang ke tempat sampah.)
“Iya, benar. Tapi ibu sedang keluar bersama ayah. Ada keperluan apa ya?”
ADVERTISEMENT
“Oh, sedang tidak ada di rumah ya. Saya ada keperluan untuk berbincang sebentar dengan Bu Maya. Tidak apa-apa, besok saja saya akan ke sini lagi.”
“Oh, ya sudah mas. Nanti saya sampaikan ke ibu.”
Akhirnya saya tahu tentang ibu saya dan bagaimana kehidupannya sekarang. Segera saya keluar dari gang perumahan itu untuk pulang ke kos. Tapi saya merasa sedikit mengantuk. Mungkin jam tidur saya tadi sore masih kurang. Saya melihat di seberang gang ada sebuah angkringan. Saya memutuskan ke sana untuk memesan segelas kopi dan gorengan untuk menunda rasa kantuk. Sebab saya tahu akan bahaya jika berkendara dalam keadaan mengantuk.
Saya duduk di bangku paling ujung, sendirian dengan posisi menghadap jalan. Tidak ada hal lain yang saya lakukan selain menikmati pesanan dan mengamati lalu lalang orang. Saya berada di angkringan cukup lama. Orang-orang di angkringan silih berganti, datang dan pergi. Tapi saya tetap duduk sendirian di sini, di bangku paling ujung. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk segera pulang ke kos sebab besok pagi saya harus berkuliah hingga siang dan lanjut bekerja sampai malam.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan pulang, dapat saya rasakan malam yang semakin larut dan hari Minggu yang semakin dekat dengan penghabisan. Hari Minggu kali ini tetap sama dengan hari Minggu sebelum-sebelumnya. Bahwa sekarang nenek sudah tiada dan saya sudah tahu tentang ibu saya, itu semua tetap tidak berarti apa-apa. Dalam keseluruhannya, kehidupan saya tidak berubah.
Malam semakin dingin dan saya terus melaju. Tiba-tiba saja saya bertanya-tanya, di mana dan bagaimana ayah saya sekarang? []
Juni-Oktober 2024