Konten dari Pengguna

Pendidikan Tinggi untuk Semua? Realita APK di Indonesia

Anggra Dwi Prasetya
Mahasiswa D-III Statistik Politeknik Statistika STIS
14 Januari 2025 12:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggra Dwi Prasetya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar Ilustrasi dari Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Gambar Ilustrasi dari Freepik
ADVERTISEMENT
Pendidikan tinggi seringkali dianggap sebagai kunci untuk meningkatkan taraf hidup dan daya saing sumber daya manusia, Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia tahun 2024 mencapai 32,00% atau meningkat 0,55 poin dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 31,45%, menjadikannya salah satu yang terendah di kawasan ASEAN. APK pendidikan tinggi adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang bersekolah di pendidikan tinggi dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat usia sekolah di pendidikan tinggi. APK dihitung dengan membagi jumlah mahasiswa di pendidikan tinggi dengan jumlah penduduk berusia 19–23 tahun, dan dinyatakan dalam persentase. Angka ini mengindikasikan bahwa banyak generasi muda yang belum mendapatkan akses pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Apakah Pendidikan Tinggi Benar-benar dapat Diakses oleh Semua Kalangan?
Salah satu tantangan utama adalah ketimpangan akses pendidikan antara wilayah perkotaan dan perdesaaan. Berdasarkan data BPS tahun 2024, APK di perkotaan sebesar 38,60% dan di Perdesaan sebesar 21,16%, yang mengindikasikan bahwa ada ketimpangan nyata terhadap akses pendidikan. Selain itu, di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), angka partisipasi pendidikan tinggi jauh lebih rendah. Minimnya infrastruktur pendidikan seperti universitas atau politeknik menjadi kendala utama bagi generasi muda di daerah terpencil. Sebagian besar fasilitas pendidikan tinggi hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa, dibanding wilayah timur Indonesia yang masih kekurangan pendidikan tinggi yang memadai.
Faktor ekonomi juga menjadi penghalang untuk menempuh pendidikan tinggi. Hal ini terlihat dari penduduk dari kelompok pengeluaran 20% terbawah hanya memiliki APK sebesar 18,23% dibanding kelompok lainnya jauh lebih rendah. Angka ini menunjukkan adanya ketimpangan nyata dalam akses pendidikan tinggi jika dilihat dari kemampuan ekonomi masyarakat. Meskipun Kemendikbudristek telah menjalankan beberapa program, di antaranya: Beasiswa Unggulan (BU), KIP Kuliah, dan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI). Namun cakupannya belum mampu menjangkau seluruh kelompok penduduk, terutama biaya hidup yang tinggi didaerah perkotaan tempat universitas berada juga menjadi beban tambahan bagi keluarga.
ADVERTISEMENT
Di beberapa daerah, masih ada budaya yang menganggap bahwa laki-laki lebih baik bekerja untuk membantu finansial keluarga setelah lulus SMA/Sederajat , yang membuat kebanyakan laki-laki tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Angka partisipasi laki-laki di pendidikan tinggi yang hanya mencapai 28,89% dibanding perempuan sebesar 35,23%. Hal ini juga terlihat dari rasio APK perempuan dan laki-laki di pendidikan tinggi sebesar 121,96, artinya setiap 100 laki-laki yang melanjutkan pendidikan ke pendidikan tinggi, terdapat sekitar 121 atau 122 perempuan yang juga melanjutkan pendidikan ke tingkat yang sama.
Selain itu, relevansi pendidikan tinggi terhadap dunia kerja menjadi sorotan. Menurut data BPS tahun 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pendidikan sebesar 5,18%, angka ini menjadi penyumbang tertinggi ketiga setelah tamatan SMA dan SMK. Hal ini menimbulkan persepsi di kalangan masyarakat bahwa pendidikan tinggi tidak selalu menjamin kesuksesan karier.
ADVERTISEMENT
Mengapa Pendidikan Tinggi Penting?
Peningkatan APK pendidikan tinggi menjadi langkah strategis untuk memanfaatkan bonus demografi yang sedang berlangsung. Bonus demografi terjadi ketika jumlah penduduk yang berada dalam usia produktif yakni 15 - 65 tahun lebih besar dibandingkan usia 0 - 14 tahun dan di atas 65 tahun. Generasi muda yang berpendidikan tinggi diharapkan dapat menjadi motor penggerak ekonomi, pembangunan, dan inovasi. Namun, upaya ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, pendidikan tinggi, dunia industri, dan masyarakat.
Pendidikan tinggi memang untuk semua kalangan, tetapi realitas saat ini menunjukkan bahwa banyak hal yang harus dibenahi agar akses pendidikan tinggi benar-benar merata dan inklusif. Tanpa upaya yang terkoordinasi dan terstruktur, mimpi Indonesia untuk mencetak generasi emas berpendidikan tinggi bisa jadi hanya sebatas wacana.
ADVERTISEMENT