Konten dari Pengguna

Rasionalisasi Gaya Hidup Gen Z, Pisau Bermata Dua

Putri Anggriani
Mahasiswi jurusan komunikasi dan penyiaran islam, UIN K. H Abdurrahman Wahid Pekalongan, selain kuliah saat ini saya juga aktif di organisasi HMPS KPI divisi Broadcasting Radio sebagai koordinator bidang media.
18 November 2024 11:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Anggriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar ilustrasi dari Ai: Menggambarkan Rasionalisasi gaya hidup gen Z
zoom-in-whitePerbesar
Gambar ilustrasi dari Ai: Menggambarkan Rasionalisasi gaya hidup gen Z
ADVERTISEMENT
Generasi Z, atau yang sering disebut sebagai Gen Z, adalah kelompok yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Dikenal sebagai generasi “digital native,” mereka tumbuh di tengah kemajuan teknologi yang pesat dan media sosial yang mapan. Lingkungan ini secara signifikan membentuk cara mereka berpikir, bertindak, dan menjalani kehidupan. Berbeda dari generasi sebelumnya, Gen Z dikenal adaptif terhadap perubahan, memiliki kepedulian sosial yang tinggi, serta antusias terhadap inovasi teknologi dan isu keberlanjutan. Di balik semua ini, satu aspek yang menonjol dalam kehidupan mereka adalah rasionalisasi, sebuah proses berpikir logis yang mengarahkan mereka untuk mencari solusi yang praktis dan efisien.
ADVERTISEMENT
Rasionalisasi telah membawa banyak dampak positif bagi Gen Z. Melalui pola pikir ini, mereka terdorong untuk menciptakan atau memanfaatkan inovasi yang mempermudah kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah penggunaan aplikasi yang mendukung kesehatan fisik dan mental, platform yang memberikan informasi pekerjaan lokal, atau alat yang membantu mengembangkan bisnis kecil. Selain itu, kesadaran sosial mereka yang tinggi juga didukung oleh proses rasionalisasi. Banyak Gen Z yang terlibat dalam gerakan lingkungan, kampanye hak asasi manusia, atau proyek sosial yang berorientasi pada perubahan positif. Tidak hanya sebagai konsumen, mereka juga tampil sebagai produsen solusi kreatif yang memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Namun, seperti pisau bermata dua, rasionalisasi juga membawa tantangan yang tidak bisa diabaikan. Di era media sosial, tekanan untuk “tampil sempurna” di depan publik semakin besar, yang sering kali berdampak pada kesehatan mental mereka. Standar sosial yang terbentuk melalui media digital mendorong sebagian Gen Z untuk mengadopsi gaya hidup konsumtif demi memenuhi ekspektasi orang lain. Rasionalisasi yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai yang kuat juga dapat memicu perilaku konsumsi berlebihan, seperti membeli barang baru hanya untuk memenuhi tren tanpa mempertimbangkan kebutuhan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, meskipun akses terhadap teknologi menjadi ciri khas mereka, kenyataannya tidak semua anggota Gen Z memiliki kesempatan yang sama. Faktor finansial dan geografis sering kali menjadi penghambat, menciptakan kesenjangan digital yang memperbesar perbedaan antara kelompok Gen Z yang berada di wilayah perkotaan dan pedesaan.
Fenomena “self-care” di media sosial adalah salah satu contoh nyata dampak dualitas rasionalisasi ini. Di satu sisi, konsep self-care mendorong Gen Z untuk lebih peduli pada kesehatan mental dan fisik mereka, terutama di tengah tekanan digital yang tinggi. Namun, di sisi lain, self-care kerap kali dikomodifikasi. Produk-produk kecantikan dan gaya hidup tertentu dipromosikan sebagai “syarat” kebahagiaan, sehingga mengaburkan makna sejati dari self-care itu sendiri. Ketika rasionalisasi diterapkan tanpa kesadaran penuh akan nilai-nilai dasar, hasilnya dapat menjadi kontraproduktif.
ADVERTISEMENT