Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jangan Provokasi Umat dalam Berlebaran
29 April 2023 12:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Anggun Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Dalam fiqh, lebaran itu ikut pemerintah . Secara aturan bermasyarakat, pemerintah tidak boleh melarang yang lebarannya berbeda. Tapi yang berbeda juga harus bertenggang rasa. Pakai fasilitas sendiri aja. Jangan pakai fasilitas publik atau milik pemerintah. Gampang kan toleransi itu."
ADVERTISEMENT
Begitulah pernyataan Dr. H. Nadirsyah Hosen, LL.M., M.A., Ph.D., seorang diaspora intelektual muslim Indonesia yang berkarier di Fakultas Hukum Universitas Monash Australia.
Sayang sekali, dengan statusnya sebagai seorang akademisi yang seharusnya bisa lebih arif melihat perbedaan penentuan Idul Fitri di Indonesia selama ratusan tahun, Hosen malah melakukan provokasi.
Ia membenturkan Muhammadiyah sebagai ormas kedua terbesar di Indonesia dengan Pemerintah Republik Indonesia yang Menteri Agama-nya berasal dari NU yang memiliki metode rukyatul hilal dalam penentuan 1 Syawwal (kemudian besar kemungkinan akan menetapkan Idul Fitri 1444 H pada Sabtu 22 April 2023 atau sehari lebih lambat dari Muhammadiyah).
Dalam sebuah negara yang menganut sistem toleransi beragama, maka segala perbedaan harus difasilitasi oleh negara. Keberpihakan negara kepada kelompok tertentu dan mengabaikan pihak lain sebenarnya malah melunturkan status "negara demokratis" yang secara imparsial memandang seluruh masyarakat dengan berbagai pilihan keberagamaan.
Melarang pihak-pihak yang berlebaran pada Jumat 21 April 2023 yang dalam hal ini dimotori oleh Muhammadiyah dengan metode hisab-nya untuk memakai fasilitas-fasilitas publik dan milik pemerintah dalam melaksanakan ibadah Salat Id adalah bentuk kekeliruan berpikir dalam memposisikan Negara yang harusnya hadir untuk siapapun.
ADVERTISEMENT
Hosen tampaknya lupa bahwasanya fasilitas-fasilitas publik dibangun oleh pemerintah didanai dari "uang publik" (baca pajak) yang juga dibayarkan oleh warga yang memilih berlebaran di hari Jumat (21 April 2023).
Jumlah kelompok berlebaran berbeda dari ketetapan pemerintah ini jumlahnya bisa mencapai 100-an juta orang atau mencapai separuh dari jumlah populasi Indonesia. Tidak ada argumen ataupun regulasi hukum yang bisa mencegah mereka untuk tidak memakai fasilitas-fasilitas publik.
Siraman provokatif yang dilemparkan oleh Hosen malah memaksa masyarakat untuk mengkapling-kapling masjid, musala, dan tanah lapang untuk kelompok-kelompok tertentu.
Dan tentu saja mendorong organisasi sebesar Muhammadiyah yang memiliki sekian ratus ribu sekolah dan masjid, sekian ratus perguruan tinggi dan rumah sakit, ribuan panti asuhan dan gedung-gedung semakin menguatkan eksistensi kepemilikkan ruang-ruang dan fasilitas publik yang menjadi amal usaha mereka.
ADVERTISEMENT
Ini tidak baik sesungguhnya dalam proses keterbukaan fasilitas milik ormas Islam untuk bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya buat umat Islam tanpa memandang apa preferensi manhaj dan firqoh-nya.
Ruang-ruang publik baik yang dibangun swadaya oleh masyarakat atau lewat anggaran pemerintah atau lewat hibah-hibah dari luar negeri seharusnya bisa dimanfaatkan secara berkeadilan untuk semua masyarakat.
Sangatlah indah melihat bagaimana salah satu kampus terbaik Indonesia, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, memberikan ruang yang berkeadilan untuk kedua kelompok yang berlebaran di hari yang berbeda.
Takmir Masjid UGM menyelenggarakan pelaksanaan salat dan khotbah Idul Fitri 1444 H ini selama dua hari yang berbeda di Lapangan Grha Sabha Pramana UGM. Masyarakat diberikan pilihan dan difasilitasi atas pilihan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang cendikiawan yang lama tinggal di negara maju yang dikenal mengutamakan semangat toleransi dan pluralitas beragama, Hosen seharusnya bisa melihat bagaimana cendikiawan UGM dalam mengakomodir perbedaan di tengah-tengah umat Islam Indonesia. Bukan malah melempar pernyataan yang malah menimbulkan friksi di tengah-tengah masyarakat.
Metode hisab dan rukyat adalah dua metode ilmiah yang sudah dipakai puluhan tahun oleh umat Islam Indonesia dan sama-sama memiliki basis epistemologis yang sama-sama kuat.
Namun, sebagai negara yang besar, kita gagal memandang Indonesia dari Aceh sampai Papua. Sidang isbat yang dilakukan di Jakarta pada jam 18.15 jam 19.15 sebenarnya sangat "Jakarta minded".
Ketika Jakarta sudah menunjukkan waktu 18.15, maka di Papua dan Maluku sudah berada di jam 20.15. Kita memaksa masyarakat Muslim di wilayah Indonesia Bagian Timur untuk menunggu sampai larut malam hanya untuk memutuskan apakah mereka di malam itu akan tetap salat tarawih atau tidak.
ADVERTISEMENT
Dari sisi pragmatisnya, proses menunggu sidang isbat di Jakarta juga tidak pro perempuan. Karena ibu-ibu mengalami kegalauan apakah mereka akan masak untuk lebaran besok paginya atau tidak karena Idul Fitri masih lusa.
Syukurlah kalau di rumah mereka ada kulkas atau lemari es untuk menyimpan bahan makanan. Tapi bagaimana jika tidak. Bahan-bahan yang sudah telanjur dibeli banyak berpotensi menjadi basi dan tak bisa diolah menjadi masakan.
Seharusnya energi pemerintah diprioritaskan untuk memecahkan kenyataan adanya 3 zona waktu di Indonesia. Jangan sampai keputusan "orang Jakarta" membuat galau dan merugikan masyarakat muslim yang berada di daerah Indonesia bagian Timur.
Pilihannya bisa dengan membuat sistem Mufti berbasis waktu kewilayahan. Di mana di WIT, WITA dan WIB ada otoritas keislaman regional yang diberikan hak prerogatif untuk menentukan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Zulhijah. Sehingga umat bisa mengatur agenda ibadah mereka sesuai dengan matlaq waktunya masing-masing.
Para diaspora Indonesia yang berada di luar negeri seyogyanya mengumandangkan semangat persatuan buat Indonesia dari negara-negara tempat mereka merantau. Jangan malah membuat kegaduhan-kegaduhan kontraproduktif bagi umat Islam di tanah air.
ADVERTISEMENT
Semangat kebersamaan dan tenggang rasa dalam berislam sudah mulai tumbuh di tanah air. Di Indonesia bermunculan masjid-masjid yang memfasilitasi salat tarawih 8 dan 20 rakaat. Satu masjid bisa menyelenggarakan salat dua versi rakaat tersebut secara reguler tanpa menimbulkan friksi antar jemaah.
Masing-masing orang bisa mencukupkan diri sampai 8 atau lanjut hingga 20 rakaat tarawih. Dan itu terjadi pada masjid-masjid kampung yang masyarakatnya didominasi oleh para petani dengan pendidikan tidak begitu tinggi.
Masyarakat Indonesia sebenarnya adalah masyarakat yang toleran dan malas untuk bersengketa. Tapi seringkali kita menyaksikan fitrah baik dari masyarakat itu kemudian dicemari dan dikompori oleh kaum cendikiawan dan intelektual yang berpemikiran partisan. Itulah yang kemudian memperkeruh suasana di tanah air.
ADVERTISEMENT
Semoga sikap-sikap akomodatif pengurus Masjid Kampus UGM menjadi arus dominan yang menaungi keindahan dan kesyahduan Idul Fitri di tahun ini. Meskipun dirayakan dalam dua hari yang berbeda.