Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Krisis Idealisme Orang Minang
10 April 2023 9:38 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Anggun Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sengaja saya memakai terminologi "idealisme" karena memang itulah yang saat ini terjadi dan menjangkiti etnis Minangkabau. Kalau bicara soal politisi berdarah Minang yang eksis di Senayan, maka masih sangat mudah untuk menyebutnya satu per satu.
ADVERTISEMENT
Jangan ditanya nama-nama pengusaha berdarah Minang yang eksis dalam dunia bisnis. Apalagi membicarakan intelektual Minang. Sungguh banyak sekali. Dari yang eksis di Ranah Minang (Sumatera Barat) sendiri, menggapai gelar akademik tertinggi (professor) di kampus-kampus terbaik di Indonesia yang terpusat di Jawa, maupun yang berkiprah di perguruan-perguruan tinggi luar negeri.
Untuk bidang kepenulisan pun tidak berhenti para penulis Minang menunjukkan tajinya dan menghasilkan karya-karya yang diminati oleh orang-orang se-Indonesia.
Tak ada masalah dari segi kuantitas jumlah politisi, pebisnis, pejabat dan akademisi berdarah Minang. Bahkan dalam berbagai seminar dan webinar selalu disebut-sebut nama mereka untuk membuktikan bahwa orang Minang itu hebat dan tak pudar kehebatannya hingga detik ini.
Momen Rapat Dengar Pendapat antara Komisi 3 DPR RI dengan Menkopolhukam Kamis 30 Maret 2023 yang lalu kemudian membuat saya berpikir keras.
ADVERTISEMENT
Terutama sekali ketika Arteria Dahlan, politisi PDIP berdarah Minang yang pernah disebutkan kakeknya (dari pihak Ibu) pernah menjadi pimpinan PKI Sumatera Tengah oleh penulis kawakan Minang Hasril Chaniago, berseteru dengan Prof. Mahfud MD yang merupakan intelektual berdarah Madura.
Saya kok merasa keberanian untuk mengungkap kebenaran transaksi janggal Rp 349 triliun ada pada pihak Prof. Mahfud. Sementara Arteria menurut saya meskipun sudah menggunakan kalimat-kalimat teologis dan kematian, tapi sangat jelas hendak menutupi kasus itu dengan mengarahkannya kepada persoalan administratif prosedural soal berhak atau tidaknya Ketua Komite Penanggulangan Pencucian Uang yang diduduki oleh Prof. Mahfud untuk berbicara soal "sensitif" itu kepada publik.
Beberapa waktu sebelumnya, saya juga terpana ketika seorang mantan pegawai KPK berdarah Minang kemudian masuk jajaran pembela Irjen Ferdy Sambo yang melakukan kejahatan kemanusiaan yakni membunuh ajudannya sendiri berikut dengan melibatkan anak buahnya untuk membuat skenario tembak-menembak dan menghilangkan berbagai barang bukti di TKP.
Saat Sambo dibela oleh Tim Kuasa Hukum yang di dalamnya ada duo Minang yang selama ini sangat lantang bicara soal korupsi, muncullah alibi baru bahwa Sambo hanya memerintahkan "hajar" kepada Eliezer.
ADVERTISEMENT
Betapa naif ketika ada orang Minang plus aktivis korupsi membela Sambo yang bergelimang uang hasil manipulasi kasus dan judi yang bernaung di bawah kerajaan "konsorsium" Sambo.
Makin mengenaskan ketika tiba-tiba seorang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang tampil dengan sangat heroik menjadi saksi ahli yang meringankan Sambo. Sang guru besar kemudian berceloteh ilmiah soal apa yang dilakukan Sambo bukanlah pembunuhan berencana, tapi pembunuhan spontan karena dipicu emosi sesaat.
Di lokus yang lain, seorang politisi muda brilian kemudian berbalik arah menjadi pembela Jokowi setelah berjibaku selama kampanye Pilpres 2019 untuk menjatuhkan elektabilitas Jokowi. Kemudian dia berupaya masuk ke dalam kekuasaan hingga bisa menjadi staf khusus seorang menteri di Kabinet Jokowi.
Komentar-komentarnya kemudian bertolak-belakang dengan apa yang pernah ia gelontorkan selama Pilpres 2019. Bahkan dalam taraf tertentu ia mengeluarkan pernyataan-pernyataan naif kepada aktivis-aktivis mahasiswa yang masih berpikiran jernih dan kritis melihat situasi terkini di Republik ini.
ADVERTISEMENT
Di ranah lokal, terciptalah sekelompok orang penggiat literasi yang menjadi perpanjangan tangan penyebarluasan pengaruh seseorang yang sangat berambisi untuk menjadi "Paus Sastra Indonesia" dengan memakai kekuatan uang demi mendapatkan tempat tertinggi dalam sejarah sastra Indonesia. Banyak sastrawan yang bisa dibelinya dengan uang. Meskipun masih ada sastrawan-sastrawan waras yang melihat ada hal tidak beres dengan cara-cara megalomaniak sosok tersebut.
Para politisi Minang yang tampak garang di Parlemen dengan suara lantang dan kritis mencecar tamu-tamu yang diundang ke Senayan barulah sebatas menunjukkan teater narasi dan orasi saja. Kegarangan mereka masih dalam batas-batas "kemarahan dan persetujuan" Ketua Partai tempat dia bernaung.
Ketika ketua partai-nya menginstruksikan persetujuan kebijakan-kebijakan yang tak pro rakyat, keberanian dan daya kritisnya tumpul. Saat ketumnya melakukan praktik-praktik oligarki kekuasaan, ia hanya bisa diam seribu bahasa. Karena ia ternyata juga mengambil untung dari praktik-praktik bisnis yang dikuasai oleh bos partainya itu.
Idealisme itu adalah sikap mengabdi kepada ide-ide yang bersandar pada "Nan Bana" (Kebenaran). "Nan Bana" (Kebenaran) itu bisa bersumber pada “Kitabullah” (Al Quran), hati nurani dan norma-norma luhur yang berlaku pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ide itu ia suarakan sekaligus ia genggam dan praktikkan dalam kehidupan sehari-harinya. Karena ide itu bersifat kebenaran yang sangat statis "indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan" (Tidak layu karena panas, tidak lapuk/keropos karena hujan) maka ia tidak mudah bergeser atau berotasi karena keadaan tertentu.
Dalam bahasa lain, apa pun keadaan dan situasi yang terjadi idealisme itu tetap dipegang teguh. Ia tidak berubah karena perubahan tampuk kekuasaan, tidak bisa digoda karena jabatan dan tak pudar karena rayuan harta.
Dalam konteks pilihan dan pembelaan politik, idealisme diterapkan bukan pada pemberhalaan individu. Ketika individu yang dibela secara politik itu berubah dari idealisme yang diperjuangkan maka sosok itu yang ditinggalkan. Bukan idealisme yang ditanggalkan.
Saat diberikan amanah atau ditawarkan sebuah jabatan maka ia dipegang dan diterima untuk memperjuangkan idealisme. Ketika ia dipaksa untuk meninggalkan idealisme demi menjaga jabatan tersebut, maka ia lebih memilih mengundurkan diri.
ADVERTISEMENT
Praktik tersebut sangat kentara kita lihat pada sosok Bung Hatta dan Buya Hamka. Bung Hatta lebih memilih mundur menjadi Wakil Presiden di saat Soekarno tak lagi berjalan sesuai Konstitusi yang ia perjuangkan sejak muda dan Soekarno mengarahkan kepada praktik-praktik diktatorship.
Buya Hamka rela melepas jabatan sebagai Ketua MUI Pusat ketika dipaksa Rezim Orde Baru untuk melegalkan Natalan bersama yang memaksa umat Islam untuk turut merayakan hari besar umat Kristiani itu.
Idealisme juga menuntut para loyalisnya untuk berani dan sabar menjalani hidup penuh kesederhanaan, kekurangan dan kemiskinan materi. Karena idealisme menahan orang-orang yang "memeluk"-nya untuk tidak berkompromi dengan praktik-praktik manipulatif dan koruptif yang mendatangkan pundi-pundi kekayaan melimpah.
Itulah yang ditunjukkan oleh Pak Natsir yang saat menjadi Menteri zaman Orde Lama beliau tak malu dan tak risih memakai jas tambalan. Padahal dengan status sebagai menteri beliau bisa saja membeli jas mahal dan bergengsi.
ADVERTISEMENT
Tapi beliau menahan diri untuk mengambil kesempatan "aji mumpung" saat menjabat. Karena beliau paham betul kondisi ekonomi Republik yang baru merdeka itu lagi sulit. Masyarakat masih susah, masih tergopoh-gopoh hanya sekedar buat makan. Empati itu yang mendarah-daging dalam diri beliau sehingga tak digunakannya jabatan buat memperkaya diri.
Begitu juga yang dicontohkan oleh Bung Hatta. Belasan tahun menjadi Wakil Presiden tidak beliau jadikan sebagai momen menumpuk kekayaan demi hari tuanya. Bahkan saat masa Orde Baru, listrik di rumah Hatta diputus PLN karena menunggak pembayaran berbulan-bulan.
Idealisme seringkali mengantarkan orang-orang yang memeganginya dengan teguh tersisih dan terpinggirkan. Karena ia akan dianggap sebagai orang aneh dan tidak bisa diajak kompromi. Terlalu kaku karena tidak bisa bermain-main dalam pembagian kekuasaan, lahan dan kapling-kapling bisnis yang melingkupi elite penguasa. Ia merasa risih dengan perilaku-perilaku yang malah menghambat distribusi kesejahteraan berkeadilan untuk rakyat. Maka ia dikucilkan. Tidak diberikan ruang kekuasaan dan pengaruh.
Itulah yang kemudian dialami oleh Tan Malaka. Karena idealisme ingin "Indonesia Merdeka 100%" dan rakyat mendapatkan hak-haknya selepas Indonesia diproklamasikan kebebasannya dari penjajah, ia kemudian dianggap "musuh" dan "sosok berbahaya".
ADVERTISEMENT
Dengan licik ia disuruh untuk berkeliling ke seluruh penjuru negeri untuk mendapatkan dukungan rakyat. Tapi di tengah safari perjuangan tersebut ia ditembak mati oleh tentara Republik yang ia berikan namanya sejak lama.
Di tengah gempuran semua orang ingin menikmati kue kekuasaan plus jatah untuk berbisnis, maka menghadirkan sosok-sosok idealis itu semakin hari semakin sulit. Realita masyarakat Minangkabau yang masih menempatkan kesuksesan finansial sebagai ukuran penghormatan dan penghargaan telah semakin mematikan tumbuhnya bibit-bibit tokoh-tokoh Minang yang idealis.
Namun, cahaya itu tentu tak sepenuhnya pudar ketika kita mendidik generasi muda Minang dengan cara lama di mana yang ditekankan oleh pendidikan rumah tangga dan pendidikan agama adalah "dignity" dan kejujuran.
Yang sesuai dengan nilai-nilai adat "Nan kuriak kundi nan merah sago, nan baiak budi nan indah bahaso" (dalam bertindak itu harus mengedepankan kebaikan budi, dan lemah-lembut serta kejujuran berbahasa). "Alah bauriah bak sipasin, kok bakiek alah bajajak, habih tahun baganti musim sandi Adat jangan dianjak" (meskipun berbagai gelombang perubahan terjadi tetapi pondasi adat jangan berubah dan tergerus).
ADVERTISEMENT
Orientasi materialistis dan pragmatisme orang Minang itu bisa direduksi dengan kembali kepada semangat "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" (Adat berlandaskan Agama [Islam], Islam berlandaskan Al Quran).
Sesungguhnya orang Islam yang baik itu adalah orang tidak berlomba-lomba mengumpulkan harta dan memburu jabatan dunia. Tapi orang-orang yang konsisten menjalankan ketawadhu'an terhadap dunia. Apalagi menjadi keberhasilan duniawi sebagai parameter kesuksesan hidup individu-individu dalam etnisnya.
---------------------------
Oleh: Anggun Gunawan, S.Fil., M.A. (Putra Minang, Dosen Prodi Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta, S1 Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta, S2 Publishing Media Oxford Brookes University UK)