Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Masjid yang 'Dikunci'
21 April 2023 11:42 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Anggun Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Betapa banyak kita temukan masjid-masjid yang ada di Indonesia dibuka hanya saat waktu-waktu sholat saja. Setengah jam menjelang adzan dan setengah jam setelah sholat berjamaah.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tentu jauh dari seruan untuk menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas umat dan hanya mengerdilkan fungsi masjid sebatas untuk ibadah salat 5 waktu saja.
Jika dilihat dari sejarah pendiriannya, kebanyakan masjid-masjid di Indonesia dibangun dengan menggunakan sumbangan umat. Bahkan di beberapa daerah sangat jamak kita menyaksikan para petugas pembangunan masjid yang berdiri di pinggir atau tengah jalan untuk mendapatkan donasi dari pengendara yang berlalu lalang di jalan, artinya sebagian dana pembangunan masjid berasal dari para "musafir" atau orang jauh yang bukan berasal dari daerah setempat.
Namun, pada saat masjid itu selesai dibangun, para musafir itu tidak mendapatkan akses untuk masuk ke masjid tersebut di luar waktu salat. Ruang utama dikunci. Kamar mandi dikunci. Alasannya, agar masjid tetap bersih dan terjaga keamanannya.
Masjid kemudian gagal menjadi solusi keseharian umat. Entah itu untuk menumpang buat hajat di saat "darurat". Atau untuk sekadar beristirahat melepas lelah. Itu baru pada kebutuhan-kebutuhan biologis dasar. Apalah lagi mengharapkan masjid sebagai pusat peradaban Islam.
ADVERTISEMENT
Hal-hal yang remeh temeh saja, masjid gagal memberikan solusi. Apalagi menjadikan masjid sebagai pusat pemberantasan kemiskinan, pusat pendidikan, pusat ekonomi umat dan pusat politik umat.
Di sisi lain, masjid juga "dikunci" untuk memberikan pencerahan politik kepada masyarakat. Banyak keliru menafsirkan bahwa masjid itu adalah rumah Allah untuk beribadah. Jadi jangan kotori dengan hal-hal yang berbau politik.
Politik ditempatkan sebagai sesuatu yang penuh najis. Najis korupsi, manipulasi, konspirasi, adu domba, fitnah dan permusuhan. Masjid hanya dimanfaatkan untuk kampanye partisan dan sekelompok orang. Pengurus masjid membuka pintu untuk politisi yang berpotensi akan memberikan sumbangan. Kemudian menutup pintu buat politisi yang berseberangan haluan politik dengannya.
Di sinilah kemudian masjid menjadi tempat yang penuh persaingan dan kompetisi. Yang sejalan pahamnya dengan pengurus masjid, diterima dengan senang hati. Yang dianggap berbeda haluan ideologi, maka ditutup rapat pintu buat mereka.
ADVERTISEMENT
Masjid yang dikunci buat "lawan ideologi" ini juga terjadi pada pemilihan ustaz-ustaz yang akan mengisi ceramah di sana. Jika pengurus masjidnya beraliran NU, maka jangan harap ustaz-ustaz Salafi atau Muhammadiyah bisa menjadi khatib atau memberikan ceramah. Jika pengurus masjidnya adalah orang Salafi, maka mereka akan menghalangi masuknya ustaz-ustaz dari kalangan NU dan Tarbiyah (PKS).
Masjid-masjid yang terbelah sadar tidak sadar telah menciptakan polarisasi tajam di antara masyarakat. Maka tak mengherankan kemudian sangat sulit untuk menyatukan umat Islam dalam satu barisan apa pun. Entah barisan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Niat-niat menjadikan masjid hanya sebatas tempat para politisi mendulang suara disebabkan umat hanya ditempatkan sebagai"objek". Mereka dijejali dengan kampanye-kampanye tertentu dan hanya sebagai pihak yang pasif saja.
Padahal seharusnya para politisi itulah yang menjadi objek sasaran pertanyaan masyarakat untuk menggali ide-ide dan konsep-konsep pembangunan yang mereka miliki. Di masjid lah semuanya diuji.
ADVERTISEMENT
Para politisi juga harus meningkatkan frekuensi ke masjid. Agar mereka mendapatkan pencerahan dari ustaz-ustaz yang menyampaikan pesan-pesan agama. Karena sebagai calon atau orang yang sedang memimpin, para politisi itulah yang lebih membutuhkan siraman rohani agar bisa berperilaku lurus dan amanah.
Kembali kepada persoalan, masjid yang "dikunci" (harfiah), dibutuhkan sebuah kesadaran bagi siapa pun yang diberikan amanah untuk menjadi pengurus masjid untuk berpikiran terbuka dan tidak sempit dalam menempatkan fungsi masjid hanya sebatas tempat buat salat dan ceramah agama.
Karena pandangan sempit inilah yang kemudian membuat masjid sepi dan dijauhi umat. Bisa jadi ketertarikan hati seseorang kepada masjid timbul dari kesempatan "buang hajat".
Sekali dua kali mungkin yang menumpang di kamar mandi masjid hanya sekadar melepas keperluan biologisnya saja. Tapi di momen-momen berikutnya tentu dia pun malu dan mulai menambah aktivitasnya di masjid. Seperti memberikan sedekah. Setelah itu, dalam kesempatan yang lain dia akan singgah untuk salat.
ADVERTISEMENT
Seringkali alasan kebersihan bukanlah sesuatu yang esensial untuk mengunci ruang utama dan kamar mandi masjid. Banyak kita temukan masjid-masjid yang terkunci itu malah dibiarkan kotor. Ketika dibuka justru menambah semangat untuk membersihkannya. Jika masjid dibuka, sedekah pun pasti akan meningkat. Tak ada salahnya apabila memberikan tambahan gaji buat marbot yang semakin rajin membersihkan masjid.
Isu keamanan sebenarnya juga bukan masalah serius dan diantisipasi. Hilangnya uang infak bisa diakali dengan membuka kotak dan celengan masjid setiap hari untuk kemudian disimpan/ditransfer ke rekening bank oleh bendahara masjid. Masjid yang ramai tentu akan mengurungkan niat orang-orang jahat mengambil barang-barang masjid. Karena keamanannya dijaga bersama-sama.
Sudah saatnya masjid itu terbuka 24 jam buat umat. Untuk segala jenis kegiatan apa pun. Dengan cara itulah kita bisa memakmurkan masjid. Dan seterusnya meningkatkan status masjid sebagai pusat kegiatan umat.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan masjid dibangun dari dana umat. Pengurus masjid hanyalah sebagai fasilitator yang memungkinkan umat bisa memanfaatkan masjid untuk kegiatan apa pun. Meskipun untuk perkara rendahan seperti "buang hajat".
Semoga semakin banyak masjid-masjid di Indonesia yang mengubah pola manajerial dari sistem "mengunci" kepada pola "membuka". Dan momen 10 hari terakhir Ramadhan di mana masyarakat berlomba-lomba untuk melaksanakan iktikaf bisa jadi titik balik kesadaran itu.