Konten dari Pengguna

Katanya Cuma Oknum

Anggun Kurnia Likawati
A second-year student of Indonesian Language and Literature at Indonesia University of Education (UPI). She is deeply interested in social issues, culture, language, travel, and events.
14 Maret 2022 15:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggun Kurnia Likawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, media massa dipenuhi dengan beragam pemberitaan terkait tindak kriminal yang mengatasnamakan oknum sebagai pelakunya. Penggunaan istilah oknum oleh media ini, nampaknya semakin masif digunakan karena dipercaya dapat memisahkan pelaku kejahatan dengan instansi yang menaunginya.
ADVERTISEMENT
Seperti pemberitaan yang belum lama terjadi, yaitu pada Sabtu (12/3) oleh Tribunnews.com dengan headline utama “Tak Terima Diputus, Oknum Polisi Mengamuk, Nekat Bakar Pacarnya”. Pemberitaan tersebut sontak menjadi perhatian masyarakat dan media massa yang ikut mereportase kejadian dengan headline yang tidak jauh berbeda. Pasalnya, penggunaan istilah oknum oleh media yang merujuk pada pelaku tindak kriminal yang terikat di bawah suatu instansi, tidak hanya terjadi sekali-dua kali. Catatan kriminal mereka cukup beragam, mulai dari tindak kekerasan fisik dan seksual, hingga pembunuhan.
Adanya fenomena oknumisasi ini tidak lepas dari perbincangan hangat netizen yang lantas melahirkan tagar baru di media sosial, seperti #satuharisatuoknum sebagai ilustrasi lemahnya kinerja serta maraknya bentuk kejahatan yang dilakukan oleh pegawai suatu instansi pemerintahan, kepolisian, ataupun militer. Bukan hanya itu, penggunaan tagar #satuharisatuoknum juga menjadi bentuk protes netizen kepada media yang seolah melindungi institusi terkait melalui penggunaan istilah oknum tersebut.
ADVERTISEMENT
Latar Belakang Istilah Oknum & Problematikanya
Dilansir dari Remotivi, Senin (28/2) melalui channel YouTube-nya, mengatakan bahwa sejarah istilah oknum dapat ditinjau dari masa transisi Orde Lama ke Orde Baru. Yang pertama kali menggunakan istilah oknum adalah Mochtar Lubis pada tahun 1969. Istilah oknum tersebut, menurutnya, merupakan sebuah istilah yang merujuk pada koruptor dan pejabat-pejabat Orde Lama yang harus dibersihkan. Bukan hanya itu, istilah oknum ini juga disematkan pada anggota PKI yang berpartisipasi dalam Peristiwa G30S.
Seno Gumira Ajidarma, seorang wartawan dan sastrawan, melalui artikelnya yang terbit di Majalah Tempo pada 19 Mei 2014 dengan judul “Oknum dalam Politik Bahasa”, mengungkapkan bahwa kata oknum banyak digunakan oleh media massa dengan tujuan menjaga nama baik institusi melalui pengalihan permasalahan sistemik menjadi permasalahan personal para pelaku di bawah institusi tersebut (Ajidarma, 2014). Sekilas, hal ini bukan merupakan sesuatu yang negatif dan memiliki celah perdebatan, karena perbuatan individu yang bermasalah, tidak berarti bahwa seluruh institusinya bermasalah. Tetapi, pada kenyataannya justru istilah oknum ini mengaburkan permasalahan institusional atau menghilangkan tanggung jawab institusi dengan mereduksi permasalahan ke level individual atau anggotanya sebagai pelaku.
ADVERTISEMENT
Istilah Oknum dalam Sudut Pandang Pragmatik
Dalam bukunya yang berjudul Pragmatics (1996), George Yule mengemukakan definisi studi Pragmatik sebagai studi yang berfokus pada makna bahasa yang dikomunikasikan oleh pembicara dan diinterpretasikan oleh pendengar. Sesuai dengan definisinya, tentunya studi Pragmatik ini melibatkan interpretasi terhadap apa yang dimaksud pembicara pada konteks-konteks tertentu dan bagaimana konteks tersebut memengaruhi apa yang dibicarakannya (Yule, 1996).
Studi Pragmatik ini juga mengenal istilah “referensi”. Yule (1996) berpendapat bahwa referensi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pembicara dengan menggunakan bahasa untuk memudahkan pendengar dalam mengidentifikasi dan mengekspresikan maksud pembicara. Dengan demikian, referensi ini sangatlah terikat dengan tujuan dan ekspektasi pembicara pada pendengar melalui penggunaan bahasa itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, istilah oknum digunakan oleh media massa sebagai referensi pada pelaku tindak kriminal yang terikat di bawah naungan suatu instansi, misalnya oknum polisi. Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang hadirnya istilah oknum, bahwasannya media dan masyarakat sebagai penikmatnya merupakan suatu komunitas bahasa yang telah menyepakati konvensi bahasa terkait istilah oknum, sehingga penggunaannya masih ramai hingga saat ini.
Sebagai bentuk referensi, istilah oknum ini memiliki kecenderungan politik bahasa. Mengapa? Karena strategi oknumisasi ini digunakan sebagai bentuk praktik kekuasaan yang dilakukan oleh institusi berkepentingan, seperti pemerintahan, polisi, dan militer dalam menjaga nama baik dan kesucian institusi dari kesalahan yang dilakukan individu di dalamnya atau oknum (Azca, 2022). Contohnya seperti ujaran, “Ini murni kesalahan oknum, bukan institusi kepolisian yang menaunginya,”.
ADVERTISEMENT
Istilah Oknum dalam Praktik Demokrasi
Dr. M. Najib Azca, seorang Dosen dan Peneliti Sosiologi FISIPOL UGM, dalam wawancaranya oleh pihak Remotivi, menjelaskan bahwa istilah oknum akan lebih mudah dipraktikan dalam masyarakat tertutup, seperti masyarakat otoritarian dan masyarakat totalitarian yang mana kritik dan opini terbuka masih dilakukan dengan terbatas. Sedangkan dalam sistem politik terbuka seperti demokrasi yang dianut oleh Indonesia saat ini, penggunaan istilah oknum seharusnya sulit dilakukan karena mengetahui fakta bahwa informasi pasca reformasi, semakin terbuka.
Penggunaan istilah oknum oleh media di dalam praktik politik terbuka seperti demokrasi saat ini, sangatlah berdampak pada impunitas institusi dalam melakukan perbaikan struktural yang berakibat pada terus-menerusnya perilaku kejahatan yang ditimbulkan oleh individu di dalamnya. Seperti pada permasalahan oknum kepolisian yang kian hadir menghiasi berita, bukannya berbenah institusi, malah berlindung di balik strategi oknumisasi. Lainnya, hal ini juga seharusnya bukan hanya menjadi kritik terhadap institusi, melainkan juga pada media massa sebagai penyedia wadah informasi untuk berhenti melanggengkan istilah oknum karena hal tersebut berpotensi menyuburkan impunitas institusi dan mengaburkan peran lembaga kepentingan publik yang akuntabel dan terpercaya.
ADVERTISEMENT