Konten dari Pengguna

Keegoisan dan Konflik Keluarga: Perspektif Antropologi Keluarga

Anggun Nur Arifiani
Halo! Perkenalkan aku Anggun, mahasiswa Universitas Pamulang, Fakultas Ilmu Komunikasi.
11 Desember 2024 12:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggun Nur Arifiani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi suami istri yang bertengkar didepan anaknya, membuat anak tersebut melihat kegiatan yang kurang baik. (Sumber: pngtree)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi suami istri yang bertengkar didepan anaknya, membuat anak tersebut melihat kegiatan yang kurang baik. (Sumber: pngtree)
ADVERTISEMENT
Pasti Anda sudah tidak asing lagi dengan permasalahan keluarga, mulai dari yang sangat normal hingga yang tidak terduga. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara keegoisan dan konflik keluarga dari perspektif antropologi keluarga.
ADVERTISEMENT
Keegoisan dan konflik keluarga merupakan fenomena universal yang banyak terjadi di seluruh dunia. Informasi tentang hal ini sering muncul di berita televisi, radio dan media sosial. Bahkan, beberapa dari kita mungkin pernah mengalami kondisi serupa. Meskipun tidak semua orang tua egois, namun beberapa di antaranya memprioritaskan kepentingan pribadi.
Banyak orang tua yang menerapkan nilai – nilai dan ajaran yang diterima dari orang tua mereka, yang kadang – kadang dianggap ‘’kolot’’ oleh generasi muda. Hal ini disebabkan oleh keyakinan bahwa pengalaman dan pengetahuan orang tua sebelumnya sudah pasti benar dan efektif untuk diterapkan pada anak – anak di era modern. Selain itu, terdapat juga orang tua yang lebih focus kepada pemenuhan kebutuhan ekonomi anak – anaknya, tanpa mempertimbangkan kebutuhan emosional seperti kasih sayang dan waktu berkualitas. Bahkan, ada pula orang tua yang belum siap memiliki anak dan akhirnya mengabaikannya.
ADVERTISEMENT
Di era modern ini, banyak anak mengalami keegoisan dari orang tua mereka. Keegoisan ini menimbulkan konflik keluarga, baik antara orang tua maupun antara orang tua dan anak. Oleh karena itu, penting untuk menghilangkan keegoisan tersebut.
Keegoisan dan konflik keluarga berdampak signifikan pada pertumbuhan dan pembentukan identitas anak. Anak cenderung mengikuti lingkungan yang membesarkannya, sehingga konflik keluarga dapat menyebabkan kerusakan psikologis atau emosional anak tersebut.
Berikut adalah analisis definisi, faktor, dampak, dan Solusi permasalahan tersebut dari perspektif antropologi keluarga.
Keegoisan adalah perilaku individu yang berfokus pada kepentingan pribadi, mengabaikan kepentingan orang lain, dan dapat menyebabkan konflik. Keegoisan sering dikaitkan dengan sifat – sifat seperti egonsentrisme, individualisme berlebihan, kurang empati, dan mengabaikan kebutuhan orang lain.
ADVERTISEMENT
Faktor penyebab keegoisan dan konflik keluarga dapat dibagi mejadi beberapa kategori, yaitu seperti:
1. Faktor Internal seperti ketergantungan emosional, perbedaan nilai, kegagalan komunikasi, pengaruh masa lalu dan ketergantungan substansi.
2. Faktor eskternal seperti tekanan ekonomi, perubahan sosial – budaya, pengaruh media sosial dan konflik lingkungan.
3. Faktor psikologis seperti kepribadian egois, gangguan mental dan kurangnya empati.
4. Faktor sosial – budaya seperti nilai patriakis, peran gender tidak seimbang dan tradisi yang memperkuat keegoisan.
Sedangkan untuk dampaknya keegoisan dan konflik keluarga sangat luas dan berbahaya. Secara emosional, dapat menyebabkan stress, kecemasan, depresi dan kerusakan psikologis. Dampak sosialnya meliputi kerusakan hubungan keluarga, kehilangan dukungan sosial, dan stigma sosial. Selain itu, konflik keluarga juga berdampak pada Kesehatan fisik seperti gangguan tidur, penyakit kronis, dan kecanduan substansi. Jika tidak diatasi, konflik keluarga dapat berdampak jangka panjang seperti kerusakan psikologis permanen, kehilangan identitas, dan keterlibatan dalam kegiatan kriminal.
ADVERTISEMENT
Perspektif antropologi keluarga tentang keegoisan dan konflik keluarga menekankan bahwa keegoisan dan konflik keluarga dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, dan psikologis.
Faktor budaya seperti nilai-nilai patriarkis, peran gender, dan tradisi mempengaruhi dinamika keluarga. Faktor sosial seperti tekanan ekonomi, perubahan sosial, dan pengaruh media sosial juga berperan. Sementara itu, faktor psikologis seperti kepribadian egois, gangguan mental, dan kurangnya empati memperburuk konflik.
Antropologi keluarga menyarankan pendekatan holistik untuk memahami dan mengatasi keegoisan dan konflik keluarga, dengan mempertimbangkan konteks budaya, sosial, dan psikologis. Pendekatan ini dapat membantu membangun komunikasi efektif, memperkuat hubungan keluarga, dan menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis.
Kesimpulan
Kesimpulan dari artikel tersebut adalah bahwa keegoisan dan konflik keluarga dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial dan psikologis. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan dampak negatif pada individu dan keluarga. Oleh karena itu, pendekatan holistik yang mempertimbangkan konteks budaya, sosial dan psikologis sangat penting untuk mengatasi keegoisan dan konflik keluarga. Dengan demikian, keluarga dapat membangun hubungan yang harmonis dan meningkatkan kualitas hidup bersama.
ADVERTISEMENT