Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Terbentuknya Desa Tunjungrejo sebagai Desa Kristen Pertama di Lumajang
23 April 2022 17:06 WIB
Tulisan dari Anggun Puspita Ningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tunjungrejo dikenal sebagai desa yang mayoritas penduduknya memeluk agama kristen dan menjadi tempat pertama kali penyebaran agama kristen di Lumajang. Sebelum dikenal sebagai Desa Tunjungrejo, desa ini bernama hutan Tunjung Putih. Penyebaran agama kristen di Lumajang khususnya di desa Tunjungrejo tidak terlepas dari peran Brontodiwirjo atau Iprayim Setoe Brontodiwirjo yang merupakan putra Karulus Wirjoguno yang berasal dari Mojowarno
ADVERTISEMENT
Konflik antara Brontodiwirjo dengan J.Kruyt
Sejarah penyebaran agama kristen di Lumajang dimulai ketika terjadi perpecahan di desa kristen terbesar di Jawa Timur yaitu di Mojowarno, Kabupaten Jombang. Masyarakat kristen Mojowarno merupakan masyarakat kristen terbesar di Jawa Timur.
Terjadi beberapa kali konflik yang terjadi di Mojowarno dan menyebabkan perpecahan. Salah satunya adalah ketika seorang Guru Injil Mojowarno yang bernama Brontodiwirjo melakukan perselingkuhan dengan istri orang Belanda. Konflik tersebut terjadi antara Brontodiwirjo dengan J. Kruyt yang menyebabkan pemecatan dari Brontodiwirjo dari sekolah injil di Mojowarno.
Brontodiwirjo yang sudah kepalang malu dengan perbuatannya akhirnya memutuskan untuk mengasingkan diri dan meninggalkan Mojowarno. Berita kepergian Brontodiwirjo ini kemudian terdengar oleh kerabatnya yang berada di Lumajang dan ia menyarankan Brontodiwirjo pergi ke hutan Tunjung Putih.
ADVERTISEMENT
Kedatangan Brontodiwirjo di Tunjungrejo
Sesampainya Brontodiwirjo di Lumajang, ia langsung diberi saran oleh kerabatnya yang bernama Purbowiyoto untuk membuka sebuah lahan baru yaitu di hutan Tunjung Putih. Tanah hutan ini merupakan tanah yang tidak berpenghuni dan milik pemerinta Belanda pada saat itu. Mendengar berita tersebut Brontodiwirjo menyetujui untuk membuka hutan tersebut sebagai tempat persembunyiannya.
Setelah Brontodiwirjo menyetujui gagasan yang diberikan oleh Purbowiyoto, kemudia ia meminta ijin kepada pemerintah Belanda untuk membuka hutan Tunjung Putih tersebut sebagai pemukiman. Setelah mendapatkan ijin, ia langsung membuka hutan Tunjung Putih dibantu dengan kerabat dekatnya yang ikut bersamanya. Pembukaan hutan Tunjung Putih dilakukan pada tanggal 17 juli 1897.
Perkembangan setelah Pembukaan Hutan Tunjung Putih
ADVERTISEMENT
Hal pertama yang dilakukan oleh Brontodiwirjo sesaat setelah berhasil membuka hutan tersebut adalah membangun sebuah gubuk panggung di tengah hutan Tunjung Putih yang akan dijadikan sebagai tempat istirahat oleh Brontodiwirjo dan keluarganya.
Berita tentang pembukaan hutan Tunjung Putih ini kemudian menyebar ke pelosok daerah-daerah di Jawa Timur. Pada tahun 1899 para pendatang mulai banyak yang datang ke desa Tunjungrejo dan menetap di desa tersebut. Pada akhirnya karena banyaknya pendatang yang sudah menetap di desa tersebut, wilayah hutan Tunjung Putih kemudian berubah dengan nama pedukuhan Tunjung Putih dengan Brontodiwirjo sebagai kepala dukuh.
Kebanyakan para pendatang yang berpindah ke desa Tunjungrejo rata-rata beragama kristen dan sebagian yang lain tidak beragama kristen. Namun seiring berjalannya waktu, pendatang tersebut akhirnya memeluk agama kristen. Terbentuknya desa Tunjungrejo menjadi harapan bagi Brontodiwirjo agar kelak desa ini menjadi desa yang bisa digunakan dengan baik dalam hal fisik maupun non fisik.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan pembangunan fisik pertama kali dilakukan pada tahun 1899. Pada saat pemerintahaan Brontodiwirjo, dibangun sebuah sekolah rakyat yang disebut sebagai sekolah zending. Di sekolah ini terdapat lima pendidik yang mengajar di sekolah ini. Kelima guru tersebut adalah Masirun, Saputro Yekti, Wusijo, Gariman dan Sudiharjo.
Tahun 1905 keberadaan Pedukuhan Tunjung Putih diketahui oleh Panitia Jawa NZG yang menangani masalah zending di Pulau Jawa. Diputuskan bahwa pedukuhan Tunjung Putih merupakan bagian dari Panitia Jawa. Jemaat Tunjung Putih diajarkan mengenai tata cara penyampaikan zending kepada sekitar, tata cara membimbing pertumbuhan sekolah-sekolah zending serta pedoman untuk guru-guru zending.
Konflik Masa Pemerintahan Brontodiwirjo
Pada masa kepemimpinan Brontodiwirjo terdapat konflik dimana beberapa penduduk pedukuhan Tunjung Putih merasa tidak cocok dengan ajaran Brontodiwirjo sehingga pada saat itu mereka yang merasa tidak cocok keluar dari pedukuhan Tunjung Putih.
ADVERTISEMENT
Mereka yang keluar dari pedukuhan Tunjung Putih pada akhirnya mendirikan sebuah desa atau jemaat yang baru di tempat yang mereka tinggali. Tak berselang lama dari konflik tersebut, tepatnya pada tahun 1910 Brontodiwirjo dinyatakan meninggal. Sepeninggalan dari Brontodiwirjo, kepemimpinan pedukuhan Tunjung Putih diambil alih oleh putra sulungnya yang bernama Prawito Kertodiwirjo. Pada kepemimpinan putra sulung inilah, nama desa berganti menjadi desa Tunjungrejo dari nama awalnya yang bernama Tunjung Putih
Terbentuknya desa Tunjungrejo menjadi harapan bagi Brontodiwirjo agar kelak desa ini menjadi desa yang baik dan digunakan dalam kebaikan sehingga perjuangan yang ia lakukan tidak sia-sia. Selepas kepergian dari Brontodiwirjo, perkembangan jemaat kristen dari desa ini semakin bertambah banyak dan menjadi desa yang unik dengan mayoritas penduduknya yang beragama kristen.
ADVERTISEMENT
Sumber :
Abdurrisan, Totok. 2016. Eksistensi Agama Kristen di Desa Tunjungrejo Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang Tahun 1965-2014. Skripsi. Universitas Jember. Jember.
Fitroh, Ismaul. 2018. Berdirinya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Tunjungrejo Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang. Jurnal. 6(1)
Fitroh, Ismaul. 2013. Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Tunjungrejo Lumajang. Skripsi. Universitas Negeri Malang. Malang