Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Meminjam Konsep Vernakularitas dalam Bangunan di Era Modern
6 Februari 2021 17:44 WIB
Tulisan dari Benedicta Angelica tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, semakin banyak ditemukan bangunan modern bergaya barat, begitu pula arsitek yang menjadikan gaya tersebut sebagai preferensi desainnya. Mengadopsi konsep bangunan modern secara mentah-mentah terkadang tidak cocok dengan konteks lingkungan asal bangunan tersebut yang jauh berbeda berbeda dengan iklim dan kondisi lingkungan setempat. Akibatnya, perancangan kerap hanya melihat segi estetika tanpa memperhitungkan perancangan dan penggunaan material non sumber daya lokal yang dapat berpotensi merusak lingkungan. Belum lagi secara global, proyek pembangunan arsitektur diperkirakan menggunakan 50% sumber daya alam, 48% energi, dan 16% air, serta menjadi penyumbang 48% gas CO2 di bumi. Menanggapi masalah ini, konsep vernakularitas yang sebenarnya sudah ada di Indonesia baik untuk diadopsi dan dapat dihidupkan kembali dalam bentuk yang lebih modern.
ADVERTISEMENT
Secara umum, arsitektur vernakular dapat didefinisikan sebagai lingkungan binaan, khususnya berupa bangunan asli yang dirancang oleh masyarakat secara keseluruhan dalam suatu lingkungan, bukan oleh arsitek seorang, yang merupakan hasil dari adaptasi terhadap konteks lingkungan hidup dan sumber daya setempat untuk memenuhi kebutuhan kehidupan fisik dasar (rumah tinggal), sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat tersebut. Arsitektur vernakular apabila ditinjau dari konteks lingkungan memiliki beberapa ciri utama, yaitu perancangannya menyesuaikan iklim dan tapak lingkungan tersebut, serta menggunakan material alam sumber daya lokal. Penyesuaian dengan lingkungan pun dapat dilihat dari berbagai segi, seperti klimat, lokasi dan situs, bencana alam, kependudukan, dan pemukiman. Karena itu, pendekatan rancangan pada suatu daerah tentunya akan cukup bervariasi dan berbeda dengan daerah lain. Sebagai contoh, pemukiman suku Bajau yang terletak di daerah pantai membuat tipologi bangunannya menggunakan tiang-tiang penopang rumah yang tinggi untuk menghindari pasang surut air laut.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana menerapkannya dalam proses perancangan arsitektur? Bentuk-bentuk arsitektur vernakular Indonesia tidak harus diambil secara keseluruhan mentah-mentah dan diaplikasikan begitu saja dalam desain arsitektur, sama halnya dengan bentuk tipologi arsitektur modern. Rancangan seorang arsitek tidak dapat dikatakan sebagai arsitektur vernakular karena tidak melalui proses penyesuaian yang panjang dan tidak selalu dirancang oleh masyarakat lokal. Namun, konsep vernakularitasnyalah yang dapat diperhitungkan dalam merancang sebuah bangunan, tidak terkecuali dalam merancang bangunan modern. Sebagai contoh adalah menggunakan material yang banyak terdapat di daerah lokal misalnya bambu atau alang-alang, dikomposisikan dengan pendekatan yang berbeda agar terlihat lebih modern.
Salah satu contoh yang dapat dipelajari berkaitan dengan masalah perencanaan tapak adalah bagaimana menanggapi wilayah pervilaan puncak yang rentan terhadap longsor dengan melihat sistem penataan dan pengairan di Kampung Naga, Jawa Barat. Penataan permukiman Desa Naga mengikuti kontur tanah dan ketinggiannya sehingga tidak ada bagian tanah yang dipotong atau dikeruk. Tempat tinggal dan tempat MCK dipisahkan, dengan rumah tinggal ditempatkan pada kontur tinggi yang dekat dengan mata air, sedangkan tempat MCK di kontur yang lebih rendah, dekat dengan Sungai Ciwulan. Air kotor tidak langsung dibuang, melainkan ditampung terlebih dahulu di empang berisi ikan, sehingga ikan-ikan tersebut memakannya baru setelahnya disalurkan ke Sungai Ciwulan dalam keadaan terolah dan bersih. Vila-vila di Puncak dapat menggunakan penataan yang sejenis agar kontur tanah maupun kebersihan lingkungan tetap terjaga sekaligus menghindari bahaya longsor. Contoh konkret lain adalah Green Village di Bali yang menggunakan material lokal berupa bambu dan alang-alang yang bentuknya dikomposisikan berbeda dari umumnya sehingga kesannya tetap modern, meskipun menggunakan material yang sederhana dan mudah didapat.
Arsitektur vernakular adalah hasil dari kearifan dan keterlibatan masyarakat lokal yang sudah melalui proses panjang menanggapi konteks sosial budaya dan terlebih lingkungan alamnya. Memasuki era modern bukan berarti meninggalkan kecerdasan lokal yang sudah berhasil dicapai hanya karena dianggap tertinggal zaman, namun mengolah dan menggunakannya kembali bentuk yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman. Di situlah kemampuan seorang arsitek diuji. Harapannya, arsitek-arsitek kreatif Indonesia dapat diajak untuk berpikir lebih jauh demi lingkungan, sekaligus menjadi sarana agar arsitektur vernakular Indonesia mendapat lebih banyak perhatian dan semakin dipertahankan.
ADVERTISEMENT