Budi Pekerti, Diorama Masyarakat Digital Primitif Bernama Netizen

Anhar Dana Putra
Dosen Politeknik STIA LAN Makassar. Podcaster Sains.
Konten dari Pengguna
13 November 2023 12:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anhar Dana Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Konferensi pers dan gala premiere film Budi Pekerti. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi pers dan gala premiere film Budi Pekerti. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai seorang penikmat film, saya selalu membagi film ke dalam dua kategori, yakni film bagus dan film luar biasa. Film bagus adalah film yang menghasilkan decak kagum dari penontonnya, namun film yang luar biasa adalah film yang dapat memantik percakapan yang memiliki daya untuk menggerakkan masyarakat. Membawa masyarakat bergerak maju. Bagi saya, film Budi Pekerti adalah film yang kedua.
ADVERTISEMENT
Film ini ditulis dan disutradarai oleh Wregas Bhanuteja, seorang sutradara muda pendatang baru yang langsung menyabet penghargaan Piala Citra untuk kategori Sutradara Terbaik pada Festival Film Indonesia tahun 2021 untuk film layar lebar pertamanya, Penyalin Cahaya.
Film Budi Pekerti, yang merupakan film layar lebar kedua Wregas, memusatkan cerita pada sosok Ibu Prani (diperankan oleh Sha Ine Febriani), seorang guru BK di sebuah SMP di Yogyakarta. Ibu Prani yang selama ini dikenal sebagai guru teladan dan dicintai oleh murid-muridnya, harus mengalami rentetan tekanan yang bertubi-tubi karena sebuah potongan video yang menampilkan dirinya marah-marah sedang viral di internet. Karena potongan video 20 detik, reputasi yang sudah dibangun oleh Ibu Prani selama 20 tahun harus dipertaruhkan.
ADVERTISEMENT
Kasus yang dialami Ibu Prani dalam film ini sebetulnya tidaklah unik. Melalui kasus yang dialami Ibu Prani, film ini mencoba memotret gejala cancel culture yang beberapa tahun belakangan memang marak terjadi, utamanya di media sosial. Wregas dengan gaya penceritaannya yang khas, mampu menghadirkan dengan sangat ril betapa serius dampak yang dapat seseorang hadapi, ketika menjadi sasaran cancel netizen.
Tidak hanya cancel culture, film ini juga berhasil memotret laku lain netizen yang ada di internet dengan sangat lengkap dan akurat. Laku cyber-bullying, perang memes, berita-berita clickbait, opini-opini hoaks nan sensasional, video-video klarifikasi dan permohonan maaf, kebiasaan oversharing dan overcaring (mudah tersulut dan gampang tersinggung atas nama orang lain), semuanya ada dan tersampaikan dengan ril dan apa adanya, tanpa terasa judgemental.
ADVERTISEMENT

Netizen Sang Primitif Digital

Ilustrasi informasi digital. Foto: Shutter Stock
Jika harus menyebutkan satu kekuatan yang paling menonjol dari film ini, maka hal tersebut adalah kemampuannya untuk merepresentasikan dengan utuh dan sangat cermat laku budaya masyarakat digital. Sekelompok masyarakat yang sekarang kita kenal dengan sebutan netizen.
Tidak banyak film yang mengambil internet atau dunia maya sebagai latar cerita, yang berhasil melakukan itu. Kebanyakan film yang ada sebelumnya hanya menjadikan internet sebagai latar konflik atau peristiwa saja, tapi tidak pernah benar-benar mampu menunjukkan perilaku netizen secara utuh dan lengkap. Beberapa ada yang berhasil menangkap satu atau dua perilaku unik netizen, namun barangkali tidak ada yang selengkap film ini.
Film ini layak disebut sebagai diorama masyarakat digital yang memiliki daya gugah bagi penonton untuk belajar sekaligus bercermin, betapa mereka bisa menjadi sebegitu beringas dan mengerikan ketika berinteraksi dengan orang lain sebagai netizen di internet.
ADVERTISEMENT
Film yang baru saja diputar di Toronto International Film Festival bulan September kemarin ini, mau tidak mau mengingatkan saya pada sebuah ungkapan “it all starts with a group of primitive people”.
Setiap tahap evolusi yang menghasilkan dunia baru nan asing, selalu dimulai oleh sekelompok primitif yang menghuninya. Primitif dalam arti masyarakat awal dari sebuah peradaban baru, yang masih belum betul-betul mapan dalam membangun norma dan konsensus masyarakat, masih meraba-raba moralitas dan nilai-nilai luhurnya. Benar, salah, baik dan buruknya. Sopan dan santunnya.
Wregas dalam film ini ibarat menitip pesan secara implisit, bahwa di dunia baru nan asing bernama dunia digital ini, netizenlah sang primitif itu. Sekelompok penghuni baru yang bingung dan kaget dengan wahana asing bernama internet yang begitu bebas, chaotic dan terbuka, kemudian menjadi bar-bar dan memangsa satu sama lain dengan beringas. Menciptakan homo homini lupus di era digital.
ADVERTISEMENT
Film ini seolah mengajak penonton untuk mulai mempercakapkan bagaimana seharusnya kita, para netizen, para penghuni dunia baru bernama internet ini, bisa memikirkan strategi untuk mulai bertransformasi dari masyarakat digital yang primitif menjadi masyarakat digital yang beradab, berbudi pekerti. Sebagai mana judul filmnya, Budi Pekerti.

Survival of The Latest

Penampilan Angga Yunanda di film Budi Pekerti. Foto: Instagram/@angga
Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Peribahasa tersebut bermakna setiap tempat memiliki hukum, nilai-nilai luhur, serta kebenarannya sendiri. Internet merupakan sebuah tempat yang juga memiliki nilai-nilai, hukum dan kebenarannya sendiri yang unik. Dan film ini mampu dengan cukup terang memperlihatkan tabiat asli dari rimba liar bernama internet. Bagaimana nilai-nilai, hukum dan kebenaran diterima dan diperlakukan di sana.
Terdapat sebuah adegan yang menampilkan Muklas (diperankan oleh Angga Yunanda), anak laki-laki Ibu Prani yang berprofesi sebagai influencer, bersitegang dengan Ibu Prani karena ibunya itu tidak ingin menuruti permintaannya untuk mengunggah video permohonan maaf karena merasa tidak bersalah sama sekali. Muklas pun menjadi emosional dan mengucapkan “Salah atau benar itu cuma perkara siapa yang paling banyak ngomong!”.
ADVERTISEMENT
Selama ini saya adalah orang yang mengamini perkataan Muklas tersebut, tapi setelah mengalami film ini, menyaksikan sekuens adegan demi adegan pertarungan opini antara kelompok pendukung Ibu Prani dan perundung Ibu Prani di internet, saya mendadak memperoleh pencerahan bahwa barangkali di internet ada nilai dan hukum lain yang berlaku.
Dengan tipikal karakteristik para netizen yang mudah percaya dan malas memverifikasi, atau dalam ungkapan yang lebih santai “viralin aja dulu, kalau salah ya tinggal minta maaf terus bilang kan cuma mengingatkan”. Saya kemudian berpikir bahwa hukum yang berlaku di internet barangkali berbunyi seperti ini: Di dunia maya, kebenaran adalah apapun yang diunggah paling akhir. Kebenaran adalah milik siapapun yang bicara paling akhir.
ADVERTISEMENT
Jika dalam proses evolusi di dunia nyata hukum yang berlaku adalah survival of the fittest. Barangkali dalam proses evolusi di dunia digital, hukum yang berlaku adalah survival of the latest. Di internet, Yang bereaksi paling cepat, Yang bicara paling akhir adalah Yang menang, dan oleh karena itu menjadi Yang benar.
Film ini adalah film yang wajib ditonton sebab film ini bisa menjadi arsip yang menampilkan betapa bar-bar dan beringasnya kita, masyarakat digital yang kita panggil netizen ini, berinteraksi dan berperilaku pada suatu waktu.
Arsip yang sewaktu-waktu bisa ditilik kembali saat kita sudah sepenuhnya berevolusi menjadi masyarakat digital pada sebuah sistem moral digital yang mapan suatu saat nanti. Saat kita sudah bertransformasi seutuhnya menjadi netizen yang beradab. Netizen yang berbudi pekerti.
ADVERTISEMENT