Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Malam Kelam di Bumi Blambangan
5 November 2023 12:48 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Anik Sajawi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kenangan itu seperti kotak-kotak kardus yang berserak, tersembunyi di sudut hati, kapanpun waktu tak dapat memudarkannya. Kenangan itu merupakan benang merah dalam kisah keluarga yang terjalin, seperti suara azan dari surau yang selalu dinantikan kumandangnya.
ADVERTISEMENT
Kenangan bisa menjadi harta yang tak ternilai harganya. Seperti kotak-kotak kardus yang bersemayam dalam hati, hingga selamanya akan tetap terpatri.
***
Kisah kelam masa lalu itu menggetarkan hati dan menjadi bayangan yang tak pernah hilang dalam ingatan keluargaku. Peristiwa yang pecah dua bulan sebelum kelahiranku di Bulan April 1998 meninggalkan bekas yang mendalam dalam benak keluargaku, saat rumahku terancam oleh gelombang teror dan kekerasan yang melanda kampung-kampung yang ada di Bumi Blambangan.
Aku masih dalam kandungan saat kejadian itu pecah, enam bulan, ketika ayah meminta ibu dan kakakku untuk tinggal di kamar belakang sementara dia berbicara dengan orang-orang yang berkumpul di ruang depan.
Teror dan ketegangan menguasai suasana, dan keluargaku merasa ketakutan, kakakku dipeluk erat oleh ibu yang mencoba melindungi dari ketidakpastian yang merajalela di luar sana.
ADVERTISEMENT
Ibu ingat dengan jelas ketika ayah akhirnya datang ke kamar belakang dan memberitahumu bahwa kami semua harus pergi. Ia memandang dengan mata penuh kekhawatiran, lalu meminta kami pergi ke rumah Anang—sebutan untuk seorang kakek dalam Bahasa Osing—yang terletak di kota kecamatan.
Kami diarahkan untuk melewati pintu belakang, dan bersama ibu dan kakak-kakakku melintasi jalan yang licin dan berlumpur, menuju tempat yang aman.
***
Cahaya bulan yang redup menjadi satu-satunya panduan kami dalam malam yang gelap. Ibu yang terburu-buru membawaku dalam kandungan sesekali kau terpeleset di lumpur sawah, tetapi ia tak berhenti, terus membawaku dengan tekad yang kuat bersama kakak-kakak kami. Akhirnya, kami tiba di rumah anang dan ibu merasa lega sejenak.
ADVERTISEMENT
Malam itu, kami tidur di sana, dalam kegelapan yang menenangkan, meskipun di luar, dunia tengah dihebohkan oleh peristiwa yang tak dapat aku pahami dalam kandungan. Anang merasa khawatir tentang ayahku yang telah pergi lebih awal, tetapi ia berusaha membuatmu tidur.
Kami terbangun oleh suara azan yang merdu di subuh hari, dan saat itu, Anang merasa terkejut karena ibu telah pergi. Kakak-kakakku konon dibawa pulang dengan kendaraan dan diantar ke depan rumah.
Namun, apa yang ditemui sangat mengguncangkan hatimu. Rumah yang dulu penuh dengan kehangatan keluarga kini hancur berantakan. Darah mengering di dinding dan teras, mengingatkanmu pada peristiwa tragis yang telah terjadi. Anang memutuskan untuk membawa semua kembali ke rumahnya dan menjauh dari pemandangan mengerikan itu.
ADVERTISEMENT
Ketika pergi, ibu melihat orang-orang yang lalu lalang dengan karung keranda di depan rumah, itu mengingatkan pada kenyataan bahwa kejadian tersebut telah mengubah hidupmu selamanya.
Dua puluh lima tahun berlalu, aku memahami bahwa saat itu adalah awal dari perjalanan yang penuh dengan rahasia, kesedihan, dan perjuangan yang akan membentuk masa depan.
***
Kisah berlanjut, dan hawa mencekam yang terasa sejak peristiwa tragis yang terjadi di rumah itu kembali diceritakan ibu, membuatku tidak bisa melupakan momen-momen sedih itu.
Setelah ibu pergi dan Anang mengantarku ke rumah ayah, aku dipersilakan untuk tinggal sebentar di rumah yang menyimpan cerita kelam itu. Anang masih saja tidak ingin membuka pintu atau keluar rumah sampai ia kembali, meski kejadiannya sudah berlangsung dua puluh lima tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Ketika Anang pergi, aku mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Aku merasa terasing dan takut karena suasana kampung tampak tidak kukenali, seolah-olah kampung tersebut telah mengubur kenangan kelam yang pernah terjadi di masa silam.
Selain hanya bisa menunggu dan menunggu, namun Anang tak kunjung kembali. Aku memantau waktu hingga berlalunya waktu shalat ashar dan baru setelah itu si Anang sudah kembali.
Ketika melihatnya semua muncul dengan rasa lega, Aku merasakan kehadiran Anang seperti menyongsong sebuah harapan. Namun, apa yang dilihat membuat hatiku terasa berat.
Anang memasuki rumah dengan langkah tertatih dan merangkul kami yang tampak sangat lemas. Aku hanya terdiam, mataku kosong dengan tubuh bergetar lemah seperti sehelai daun yang gugur. Aku ingin tahu apa yang terjadi di masa lalu, apa yang menyebabkan kondisi keluargaku menjadi seperti ini.
Anangku hanya menjawab singkat bahwa semuanya berjalan dengan cepat. Kemudian, aku bertanya lagi, "Apa yang sebenarnya terjadi?" Namun, Anang masih belum memberikan jawaban yang pasti.
ADVERTISEMENT
Beberapa saat kemudian, Anang mulai menjelaskan secara perlahan, bahwa hidup dan mati merupakan bagian yang tak terpisahkan. Semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, akhirnya akan menghadapi kematian karena mereka pernah hidup.
Penjelasan itu membuatku memahami dengan kondisi keluarga kami yang pernah mengenang kelamnya kehidupan di masa lalu. Aku mungkin belum bisa menangis, tapi dalam hati, ada rasa ngeri yang sulit diungkapkan.
Momen-momen seperti ini mengajarkanku bahwa hidup selalu penuh misteri yang tak selalu bisa dijelaskan, dan kadang-kadang, kematian merupakan bagian tak terelakkan dari perjalanan kehidupan.
***
Peristiwa yang menghantui keluargaku terus berlanjut dengan kehadiran kabut misterius yang mengisi kamar-kamar milik ibu. Misteri tersebut menjadi metafora yang sempurna untuk keadaan masa silam yang membingungkan, sejak peristiwa tragis itu.
ADVERTISEMENT
Keluargaku yang sejak itu menarik diri dari dunia luar dan hanya menghabiskan waktu karena dikucilkan benar-benar mengalami sakit dan kehilangan semangat.
Berbagai upaya untuk mengembalikan nama baik keluarga dan mencoba memulihkan semuanya selalu berakhir dengan percuma. Semua usaha tampak menemui wajah keputusasaan, sebagai tanda bahwa ada yang hilang dalam diri, sesuatu yang pernah membuatnya bahagia di keluarga kami tidak akan pernah kembali.
Hingga kini semua masih menjadi misteri yang selalu menggangguku. Kabut kesedihan yang terus menyelimuti kehidupan kami. Semua seolah-olah telah menyimpan segala kepedihan dan perasaan yang terpendam selama bertahun-tahun.
Kabut yang muncul adalah metafora dari rasa sakit dan kesedihan dalam hati keluarga kami yang akhirnya membanjir dan mengepul keluar.
ADVERTISEMENT