Pemilihan Kepala Desa Rentan Transaksional

Anindra Guspa
Staff Pengajar Jurusan Psikologi Universitas Negeri Padang
Konten dari Pengguna
17 Maret 2021 19:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anindra Guspa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Green Mountains Under Blue Sky / Adhista from Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Green Mountains Under Blue Sky / Adhista from Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilihan kepala desa wujud politik praktis di unit terkecil masyarakat
ADVERTISEMENT
Politik Praktis di Indonesia juga merambah di unit-unit kemasyarakatan dimulai dari negara, provinsi, kabupaten/kota, sampai ke level Desa. Tak heran jika pemilihan kepala desa 2021 ini menjadi ajang yang sangat istimewa di perpolitikan level desa.
Adanya penundaan pelaksanaan pilkades tersebut akibat COVID-19 di tahun 2020 memaksa perhelatan pemilihan kepala desa pun tertunda di 2021. Di awal tahun ini beberapa desa di tiap kabupaten kota memulai tahapan PILKADES sesuai dengan aturan yang berlaku, tak ayal memang para bakal calon pun berdatangan mendaftarkan diri menjadi calon kepala desa.
Foto udara areal persawahan Desa Kawengen, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Foto: Antara/Aji Styawan
Menjadi Kepala Desa
Untuk menjadi orang nomor satu di desa tidak sesederhana yang dibayangkan, setiap orang harus memenuhi persyaratan yang diatur baik dari segi pendidikan, afiliasi politik, usia, dan tentunya "dana" untuk keperluan kampanye. Namun walaupun banyak persyaratan, banyak desa yang bahkan calon kepala desa lebih dari 5 orang. Jumlah penduduk di desa tentunya tidak sampai ribuan, hanya ratusan di beberapa desa sehingga untuk berkampanye dari rumah ke rumah pun tidak menyulitkan para calon kepala desa dalam memperkenalkan diri mereka. Selain kampanye di level desa juga dominan politik kekerabatan yang menjadi salah satu hal yang menarik.
ADVERTISEMENT
Motivasi untuk menjadi kepala desa tidak lepas dari beberapa motif. Idealnya adalah motif ingin perubahan di desa mereka, menariknya ada juga karena motif ekonomi dan kekuasaan. Motif ekonomi dan kekuasaan ini sering kali tak bisa dilepaskan dari seorang kepala desa, dikarenakan ada gaji yang menetap, tunjangan, dan sumber pendapatan lainnya. Kemudian dengan adanya kekuasaan yang otonom dana desa yang jumlahnya 1 miliar rentan sekali dikorupsi oleh oknum kepala desa jika tidak dilakukan pengawasan yang ketat dari inspektorat dan pemerintah daerah setempat
Politik Transaksional di Level Desa
Program satu miliar satu desa seharusnya digunakan dalam pengembangan desa dan kemasyarakatan desa tak jarang digunakan untuk kepentingan pribadi oleh oknum kepala desa, sehingga banyak kasus korupsi dana desa yang belakangan mencuat.
ADVERTISEMENT
Potensi korupsi ini seharusnya bisa diprediksi oleh masyarakat desa. Salah satu cara yang mudah adalah dengan mengamati apakah ada praktik politik yang sifatnya transaksional. Politik transaksional diartikan bahwa orang-orang yang berpolitik ingin meraup kekuasaan dengan cara apa pun demi untuk mengisi pundi-pundi ekonomi dan kekuasaan. Sederhananya bentuk politik transaksional yang sering terjadi adalah "politik uang". Dengan jumlah pemilih yang hanya ratusan tak sulit bagi para oknum calon kepala desa "membeli" suara masyarakat demi kekuasaan dan ekonomi.
Kejadian-kejadian seperti ini hendaknya dihindari dan ini merupakan bagian dari perwujudan pendidikan politik yang belum menjarah di level masyarakat desa. Menjadi pemimpin desa hendaknya menjadi hulu untuk ikut serta membangun bangsa yang lebih baik.
ADVERTISEMENT