Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Kelegaan dalam Ketidakadilan, Kematian dalam Perubahan
2 Januari 2025 16:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Anindya Rara Caluella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Nrimo ing pandum merupakan salah satu filosofi Jawa yang berasal dari kata “narimo” yang berarti menerima dan “pandum” yang berarti pemberian. Jadi, istilah “nrimo ing pandum” memiliki arti sikap penerimaan secara penuh atas segala yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Prayekti dalam jurnalnya menulis bahwa penggunaan istilah nrimo ing pandum merupakan upaya untuk mengurangi kekecewaan terhadap peristiwa yang mengecewakan, selain itu juga bertujuan untuk mewujudkan adanya ketenangan, ketenteraman dan keberkahan dalam hidup. Filosofi ini menjadi salah satu filosofi yang sudah terpatri dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun dengan semakin berkembangnya zaman, filosofi ini mulai disalahartikan dan disalahgunakan. Salah satu contohnya adalah dengan tidak melawan atau mengkritik kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat, menumbuhkan budaya pasif dan tidak peduli terhadap perkembangan sosial dan politik. Masyarakat menjadi lebih memilih untuk menerima setiap keputusan pemerintah dan membiarkan terjadinya ketidakadilan daripada berusaha untuk mengubahnya.
ADVERTISEMENT
Banyak masyarakat berpendapat bahwa politik tidak akan mempengaruhi kehidupan mereka bahwa siapa pun pemimpinnya hidup mereka akan tetap sama. Pemikiran ini mencerminkan keputusasaan yang mendalam terhadap sistem politik yang ada. Ketika masyarakat menganggap bahwa politik hanya berputar di kalangan elite dan tidak memberikan dampak nyata pada kesejahteraan mereka, maka apatisme tumbuh subur. Padahal kenyataannya politik ada dalam setiap sendi kehidupan kita, di mana kebijakan politik mengatur dan mempengaruhi kita dalam melakukan praktik jual beli hingga hak kita dalam hidup bermasyarakat. Ketika masyarakat enggan dan merasa tidak berdaya untuk terlibat dalam politik, maka mereka memberikan ruang yang luas bagi praktik korupsi, nepotisme dan kebijakan yang merugikan masyarakat. Dengan demikian, budaya "nrimo ing pandum" tidak hanya menumbuhkan sikap apatis, tetapi juga menyuburkan ketidakadilan yang terus berlanjut.
ADVERTISEMENT
Sikap ini secara tidak langsung menghambat proses menuju perubahan yang lebih baik. Padahal dalam berdemokrasi, kritik terhadap pemerintah merupakan alat pengontrol dan penyeimbang kekuasaan pemerintah agar tercipta pemerintahan yang demokratis. Sayangnya, pemerintah pun ikut serta dalam melanggengkan praktik ini dengan tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan secara efektif dan dianggap tidak serius. Masyarakat pun mulai kehilangan harapan akan perubahan dan semakin terjebak dalam pola “nrimo ing pandum”. Contohnya pada kebijakan PPN 12% yang mulai berlaku 1 Januari 2025, masyarakat menganggap kenaikan 1% saja tak akan mempengaruhi perekonomian keluarga padahal harga barang seperti bahan bakar, makanan, dan kebutuhan primer akan meningkat mau tak mau. Pada akhirnya kenaikan yang dianggap 1% ini hanya akan menimbulkan domino effect berkepanjangan. Masyarakat kelas menengah ke bawahlah yang pada akhirnya akan semakin tercekik, sementara kelompok-kelompok tertentu justru menikmati keuntungan melimpah. Walau kini pemerintah telah membatalkan kenaikan PPN 12% namun efek yang ditimbulkan oleh ketidakjelasan peraturan ini telah membuat sebagian harga barang mengalami kenaikan. Tentu hal ini merugikan masyarakat, oleh karena itu kita perlu menuntut adanya transparansi dan kejelasan desain regulasi kebijakan yang akan diterapkan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Ketika rasa ketidakadilan dan ketidakberdayaan dibiarkan mengakar dalam kehidupan sehari hari, pemerintah mulai memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan politiknya. Pemerintah mulai membangun narasi yang mendorong masyarakat untuk menerima segala sesuatu apa adanya, tanpa berusaha memenuhi tanggung jawab mereka dalam perbaikan infrastruktur dan penyediaan fasilitas publik yang lebih baik. Dengan masyarakat semakin dibelenggu apatisme dan ketidakpedulian, alih-alih mengkritisi kebijakan, mereka membiarkan diri dimanfaatkan dalam berbagai cara, baik untuk meraih suara ketika pemilu maupun untuk mendukung kebijakan yang mungkin tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini menciptakan sistem yang memperlakukan masyarakat seolah-olah mereka hanyalah objek eksploitasi. Proyek-proyek pembangunan yang hanya tersentralisasi di satu wilayah dan hanya menguntungkan segelintir pemangku kepentingan serta kebijakan yang semakin menyengsarakan masyarakat akan terus berlanjut jika tidak ada cukup desakan untuk melakukan perubahan. Praktik seperti inilah yang pada akhirnya membentuk pola pikir “nrimo ing pandum” yang semakin enggan berpikir kritis, takut akan menuntut haknya, dan terjebak dalam siklus ketidakadilan yang tiada henti.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya filosofi ini kemudian menjadi pisau bermata dua, di satu sisi mengajarkan ketabahan dan rasa syukur. Sedangkan di sisi lain, ketika nilai yang diterapkan dalam konteks yang salah, masyarakat menjadi pasif dan tidak ingin berusaha untuk memperbaiki keadaan atau memperjuangkan hak-haknya. Sikap “nrimo” ini kemudian berkembang menjadi sikap apatis terhadap pemerintahan, masyarakat cenderung hanya menerima yang diberikan pemerintah tanpa melakukan kritik yang konstruktif. Tanpa kritik dan masukan masyarakat, pemerintah dapat terus menerapkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat banyak, bahkan memperburuk kesenjangan sosial dan mengabaikan hak-hak dasar warga negara.
Oleh karena itu, alangkah baiknya filosofi “nrimo ing pandum” dapat menjadi landasan moral dalam menghadapi tantangan hidup, namun kita harus menerapkannya dengan bijaksana. Hendaknya tidak menganggap remeh setiap situasi yang kita terima. Terutama jika menyangkut ketidakadilan dan ketimpangan yang bisa diperbaiki. Sikap proaktif, berani menyuarakan hak, dan membangun kesadaran kolektif untuk memperjuangkan perubahan yang lebih baik, adalah bagian dari peran masyarakat dalam membangun negara yang adil, sejahtera dan demokratis.
ADVERTISEMENT