Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Menakar Kenaikan UMP 2025: Peluang Ekonomi atau Ketimpangan Baru?
6 Januari 2025 18:29 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Anisa Nur Oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah resmi menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% untuk tahun 2025 melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025. Kebijakan ini ditetapkan pada 4 Desember tahun 2024 lalu dan langsung menjadi bahan perbincangan hangat di berbagai kalangan. Kenaikan tersebut bahkan lebih tinggi 0,5% dibandingkan dengan rekomendasi awal yang diusulkan oleh Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, yakni sebesar 6%. Penetapan kenaikan UMP ini didasarkan pada pertimbangan berbagai aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, serta indeks tertentu.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Instagram resmi Kementerian Ketenagakerjaan, UMP Provinsi Jawa Tengah tercatat sebagai yang terendah di Indonesia, sebesar Rp 2.169.349,00. Di sisi lain, UMP Jakarta menjadi yang tertinggi, mencapai Rp 5.396.761,00. Perbedaan ini mencerminkan karakteristik ekonomi tiap daerah, tetapi tetap mengikuti panduan kenaikan yang ditetapkan secara nasional.
Walaupun terlihat sederhana, kenaikan UMP selalu menjadi perdebatan di berbagai pihak. Kenaikan ini bukan sekadar penyesuaian angka, melainkan menjadi isu yang melibatkan kepentingan pekerja, pengusaha, maupun pemerintah. Penyesuaian UMP ini harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang, mengingat akan berdampak pada berbagai aspek, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kenaikan UMP 2025 membuka peluang besar bagi peningkatan kesejahteraan pekerja. Dengan penghasilan yang lebih tinggi, pekerja diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok dengan lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup. Hal ini juga berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi rumah tangga yang lebih kuat.
ADVERTISEMENT
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran, terutama di kalangan pengusaha. Biaya tenaga kerja yang lebih tinggi bisa menjadi beban bagi industri, terutama sektor padat karya seperti manufaktur. Tidak sedikit yang khawatir bahwa langkah ini akan memicu pengurangan tenaga kerja sebagai upaya efisiensi. Akibatnya, meskipun kebijakan ini bertujuan memperbaiki kesejahteraan, dampak negatif berupa lonjakan pengangguran tetap menjadi risiko yang perlu diwaspadai.
Kenaikan UMP Belum Tentu Meningkatkan Produktivitas Tenaga Kerja
Teori upah efisiensi Mankiw (2007) menyatakan bahwa upah yang lebih tinggi dapat meningkatkan produktivitas pekerja. Hal ini dikarenakan upah yang layak mampu memotivasi pekerja untuk bekerja lebih optimal serta memperkuat hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja. Namun, hubungan positif ini sangat bergantung pada faktor lain seperti pelatihan, kondisi kerja, dan investasi teknologi.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian Fadilla dan Triani (2024), tantangan utama produktivitas di Indonesia bukan terletak pada rendahnya upah, melainkan keterbatasan keterampilan tenaga kerja. Oleh karena itu, kenaikan upah tidak serta-merta meningkatkan produktivitas jika tidak disertai dengan investasi yang memadai dalam pengembangan keterampilan. Pandangan ini diperkuat oleh Maghfiroh dan Widiyanto (2020) yang menekankan bahwa efek positif dari kenaikan upah hanya akan optimal jika diiringi dengan program pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia.
Data dari CEIC mencatat bahwa produktivitas tenaga kerja di Indonesia mengalami penurunan dari 2,00% pada tahun 2022 menjadi 1,63% pada tahun 2023, meskipun pemerintah telah menaikkan rata-rata UMP sebesar 7,5% pada tahun 2023. Penurunan ini menunjukkan bahwa kenaikan upah saja tidak cukup untuk mendorong produktivitas tenaga kerja tanpa dukungan strategi pembangunan keterampilan dan teknologi.
ADVERTISEMENT
Produktivitas juga erat kaitannya dengan daya saing sumber daya manusia. Indikator Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2023 menempatkan Indonesia di peringkat ke-80 dari 134 negara dalam daya saing tenaga kerja. Posisi ini mencerminkan tantangan besar yang harus diatasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mampu bersaing secara global. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan UMP harus diiringi dengan reformasi di sektor pelatihan kerja dan investasi teknologi guna meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional secara berkelanjutan.
Kenaikan UMP Dinilai Belum Bisa Menyasar Semua Lapisan Masyarakat
Meskipun kenaikan UMP sebesar 6,5% diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja, tetapi kebijakan ini dinilai memiliki keterbatasan karena hanya menyasar kepada pekerja sektor formal. Berdasarkan data BPS, tercatat pada tahun 2023 hanya terdapat 40,69% tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor formal. Ini berarti bahwa lebih dari setengah pekerja atau sekitar 59,31% yang bekerja pada sektor informal. Tenaga kerja sektor informal, seperti pedagang kaki lima, buruh tani, maupun pekerja lepas tidak akan terpengaruh oleh regulasi kenaikan upah minimum yang terjadi. Penghasilan yang mereka dapatkan hanya akan ditentukan oleh kondisi pasar dan bukan oleh peraturan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Keberadaan sektor informal yang dominan ini akan menciptakan tantangan besar dalam pemerataan manfaat kenaikan UMP. Firdaus dan Suryani (2022) menunjukkan bahwa pekerja sektor informal cenderung memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah, dengan akses terbatas terhadap jaminan sosial dan perlindungan kerja. Hal ini dapat memperlebar kesenjangan antara tenaga kerja formal dan informal.
Selain itu, sektor informal dinilai juga memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia. Akan tetapi, pekerja di sektor ini sering terabaikan dalam kebijakan ketenagakerjaan. Mayoritas pekerja sektor informal sering terjebak dalam ketidakpastian pendapatan serta harus menghadapi kenaikan barang dan jasa yang terus menerus. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan kesejahteraan semua pekerja di Indonesia baik itu pekerja sektor formal maupun pekerja sektor informal.
ADVERTISEMENT
Kenaikan UMP Belum Tentu Meningkatkan Daya Beli masyarakat
Presiden Prabowo Subianto pada 29 November 2024 menyampaikan bahwa penetapan upah minimum bertujuan untuk meningkatkan daya beli pekerja dengan tetap memperhatikan daya saing usaha. Namun, kenaikan UMP sebesar 6,5% belum tentu efektif dalam meningkatkan daya beli masyarakat, terutama jika mempertimbangkan adanya perbedaan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi. Data dari BPS menunjukkan bahwa inflasi nasional pada Desember 2024 mencapai 1,57% (year-on-year), sementara pertumbuhan ekonomi triwulan III-2024 sebesar 4,95% (year-on-year). Penyesuaian UMP dilakukan berdasarkan formula: Inflasi + (Alpha x Pertumbuhan Ekonomi), di mana nilai alpha berbeda-beda tergantung jenis industrinya. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (2024) menyarankan nilai alpha untuk industri padat karya berada di kisaran 0,2 hingga 0,5, dan untuk industri padat modal di kisaran 0,2 hingga 0,8. Serikat buruh, di sisi lain, mengusulkan nilai alpha sebesar 1,0 hingga 1,2. Dengan formula tersebut, kenaikan UMP bisa berada di rentang 2,56% hingga 7,51%. Angka yang ditetapkan pemerintah dengan menetapkan kenaikan UMP sebesar 6,5% dianggap cukup beralasan, tetapi tetap perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi yang berbeda-beda di setiap daerah dan sektor industri yang sangat beragam.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kenaikan UMP juga tidak serta-merta memberikan dampak merata pada seluruh pekerja. Banyak pekerja sektor informal yang tidak tercakup dalam kebijakan ini, sehingga mereka tidak mendapat manfaat langsung dari kenaikan UMP. Selain itu, tanpa diimbangi dengan kebijakan pendukung seperti pengendalian harga sembako, peningkatan ketersediaan lapangan pekerjaan formal, dan bantuan sosial untuk pekerja, kenaikan UMP cenderung hanya memberikan dampak jangka pendek. Hal ini diperparah oleh ketidakmerataan kondisi ekonomi dan sosial antarprovinsi, di mana ada daerah dengan tingkat inflasi lebih tinggi namun pertumbuhan ekonominya rendah, sehingga formula UMP yang diterapkan merata secara nasional menjadi kurang relevan. Dengan demikian, kenaikan UMP saja belum cukup untuk menjawab tantangan ketimpangan daya beli dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Untuk benar-benar meningkatkan daya beli masyarakat, pemerintah juga perlu fokus menciptakan lebih banyak pekerjaan formal dan memastikan iklim investasi yang mendukung dunia usaha sehingga secara berjangka peningkatan daya beli masyarakat dapat dicapai secara bertahap.
ADVERTISEMENT
Perlu Langkah Strategis untuk Mendukung Masyarakat dan Pelaku Usaha dalam Menghadapi Kenaikan UMP
Penjelasan di atas belum sepenuhnya menjawab kompleksitas dampak kenaikan UMP di berbagai wilayah dengan karakteristik ekonomi yang berbeda, serta belum mencakup solusi mendalam bagi sektor informal yang sering kali terabaikan dalam kebijakan ini. Generalisasi akibat dari adanya kenaikan UMP sebesar 6,5% yang telah dijelaskan di atas mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi di setiap daerah, Namun, kekhawatiran ini dapat diredam jika pemerintah mengambil langkah strategis untuk mendukung berbagai pihak baik itu masyarakat maupun pelaku usaha. Dengan pendekatan yang lebih holistik, kebijakan kenaikan UMP dapat dirancang agar tidak hanya menjadi solusi jangka pendek, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penulis menyadari bahwa penjelasan dalam artikel ini mungkin terlalu menyederhanakan persoalan yang kompleks. Kritik dari berbagai pihak sangat penting untuk membantu penulis melihat masalah ini dari sudut pandang yang lebih luas dan memahami hal-hal yang mungkin terlewatkan. Masukan dari berbagai pihak akan sangat membantu dalam untuk memperluas perspektif penulis, sehingga dapat lebih inklusif dan mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Dengan adanya kritik dan saran yang membangun, penulis berharap pembahasan mengenai kenaikan UMP dapat menjadi lebih komprehensif dan mendalam, tidak hanya terbatas pada sisi teoritis tetapi juga mencerminkan realitas di lapangan.
Penutup
Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% untuk tahun 2025, sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024, menunjukkan upaya pemerintah dalam menyesuaikan kesejahteraan pekerja dengan kondisi ekonomi terkini, meskipun tetap menyisakan perbedaan signifikan antar daerah. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja dan daya beli masyarakat, namun juga menimbulkan kekhawatiran terkait dampaknya terhadap produktivitas tenaga kerja, sektor informal, dan daya beli masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, kenaikan UMP menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya lebih dari sekadar menaikkan upah. Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan kebijakan pendukung. Dengan sinergi yang baik antara semua pemangku kepentingan, kebijakan kenaikan UMP diharapkan tidak hanya menjawab kebutuhan jangka pendek, tetapi juga menjadi pondasi bagi pembangunan ekonomi yang lebih inklusif dan merata di seluruh Indonesia.