Sejarah Panjang Buddha dan Komunisme Hidup Berdampingan di Laos

Anisah Nabilah
Pol-Sci Student in University of Indonesia
Konten dari Pengguna
14 Juli 2022 21:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anisah Nabilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Laos merupakan sebuah negara dengan keberagaman etnis dan bahasa di dalamnya serta menjadi negara yang menganut buddhisme. Dalam sejarahnya, buddha telah masuk dan mengakar kuat dalam masyarakat Laos hingga menentukan mentalitas dan cara hidupnya (Ladwig, 2008). Sekitar 65% populasi di Laos menggambarkan diri mereka sebagai umat buddha terutama saat berkaitan dengan aspek adat, kebiasaan, serta ritual (Ladwig, 2008).
ADVERTISEMENT
Saat Laos masih menerapkan sistem kerajaan, Buddha sendiri telah menjadi agama nasional dengan organisasi bhikkhu, samanera serta pendeta atau yang kerap disebut Sangha yang menempati posisi sejajar dengan hierarki politik. Sangha atau para bhikkhu dipandang sebagai teladan bagi masyarakat serta telah sangat berpengaruh dan terorganisir dengan baik dalam waktu yang lama (Gutter, 2020). Buddhisme Laos menjadi entitas yang tidak dapat dipisahkan dari negara karena kehadirannya di setiap desa, memonopoli pendidikan, serta sangat berperan dalam membuat orang-orang Laos bersatu (Gutter, 2020).
Di sisi lain, Laos sendiri hingga saat ini dikenal sebagai negara komunisme. Secara teoritis, komunisme dan buddhisme merupakan dua hal yang kontras. Buddhisme dikenal sebagai ajaran yang non-toleran terhadap kekerasan, menekankan pada kehidupan yang terlepas dari material dunia atau harmoni, meminimalkan perbedaan kelas ekonomi, serta ketidaksetaraan dilegitimasi oleh buddhis sebagai syarat keharmonisan (Hutchison, 2009).
ADVERTISEMENT
Sedangkan, komunisme menekankan pada materi, hubungan produksi, konflik antar kelas, perjuangan melawan ketidaksetaraan (Hutchison, 2009). Komunisme sendiri juga kerap merujuk kepada penggunaan partai kelas pekerja serta memiliki massa dari kelas proletarian sedangkan Buddhisme dengan Sangha-nya menghabiskan hari-hari kehidupannya untuk merenungkan dan mempelajari teks-teks agama dengan tugas untuk membimbing massa besar kaum awam menuju pencerahan spiritual (Hutchison, 2009).
Kedua paham tersebut justru bersinergi di Laos. Mereka meyakini bahwa Buddhisme dan Komunisme dibangun pada dasar yang sama. Sejak 1950-an, komunis Laos telah bekerja sama dengan para bhikkhu buddha untuk menunjukkan kesamaan antara sosialisme dan buddhisme yang merujuk pada tujuan keduanya yakni mengakhiri penderitaan dan keduanya memiliki belas kasih bagi yang miskin dan dieksploitasi (Gutter, 2020).
ADVERTISEMENT
Pasca pengambilalihan pemerintahan oleh Pathet Lao yang kemudian dikenal sebagai LPRP atau Laos People's Revolutionary Party, Laos resmi menganut sistem yang bertransisi ke sosialis dengan rezim yang pro-komunisme. Paham akan peran dan pengaruh Buddhisme, Rezim Pathet Lao menerapkan strategi politik dengan mengkooptasi agama buddha dan kelompok Sangha guna meminimalkan oposisi politik dan ketidakpercayaan yang akan muncul (Hutchison, 2009).
Pathet Lao dengan cepat membangun legitimasi dengan Sangha melalui perilisan surat program politik perdamaian serta menyatakan menghormati kebijakan resmi agama Buddha dan sukses menarik dukungan dari Sangha Buddhis (Hutchison, 2009). Lembaga Theravada Buddha pun dikooptasi menjadi instrumen pemerintahan untuk tujuan politik berupa turut menyebarkan ideologi sosialisme komunisme selama masa transisi negara menuju sistem sosialisme secara penuh.
ADVERTISEMENT
Namun, kooptasi tersebut tidak serta-merta mempertahankan Buddhisme dan Kelompok Sangha sebelum komunis masuk. Realitanya sejak tahun 1976, Sangha harus beradaptasi dengan mengubah realitas politik menjadi organisasi yang dipolitisasi yang menjadikan bhikkhu sebagai peserta dalam transformasi sosial masyarakat Laos (Gutter, 2020). Tidak hanya itu, hirarki tertinggi Sangha Laos pun diduduki oleh seorang pejabat LPRP yang kemudian mengubah panggilan bhikkhu satu sama lain dengan “kawan” dan menjelaskan ajaran Buddha dengan istilah komunis seperti perhatian meditatif menjadi revolusioner (Gutter, 2020).
Meskipun mengkooptasi Buddhisme dan Sangha, LPRP hanya mengizinkan satu sekte Buddhisme untuk berdiri yakni sekte yang mendukung pemerintah baru di bawah arahannya (Baird, 2012). Rezim Pathet Lao juga memberlakukan re-education bagi kelompok Sangha agar menjadi progresif dan mempermudah penyebaran doktrin partai melalui mereka (Hutchison, 2009). Perlu diketahui bahwa masyarakat Laos sendiri jauh lebih percaya kepada para bhikkhu daripada pejabat sehingga kelompok Sangha digunakan untuk penyebaran nilai-nilai partai (Baird, 2012).
ADVERTISEMENT
Tetapi tidak sedikit dari bhikkhu yang justru dikirim ke kamp-kamp mengerikan dengan kondisi makanan dan perawatan yang minim hingga banyak dari mereka yang meninggal (Baird, 2012). Keadaan tersebut pada akhirnya menimbulkan banyaknya bhikku dan masyarakat yang melarikan diri ke negara tetangga seperti Thailand pada periode 1975 - 1980-an akhir (Baird, 2012).
Masyarakat Laos yang kabur pun banyak membangun perlawanan atau pemberontakan di perbatasan negara. Beberapa bhikkhu yang merasa kecewa terhadap Pathet Lao dan kabur justru terlibat dalam membantu pemberontak LPRP di perbatasan Laos - Thailand karena mereka memandang bahwa pemberontakan dilandasi oleh tuntutan atas keadilan (Baird, 2012). Bhikkhu tersebut menyebutkan bahwa bantuan yang diberikan sebatas bantuan kemanusiaan yang meliputi logistik makanan, pelatihan medis, serta memberikan uang dengan penggalangan dana guna kegiatan pemberontakan (Baird, 2012). Tindakan tersebut tentu kontras dengan nilai Buddhisme yang tidak toleran dengan kekerasan sedangkan pemberontakan sangat erat kaitannya dengan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Namun, mereka tidak merasa melanggar aturan vinay dan ajaran Buddhisme dengan dalih “kemanusiaan”. Umumnya para bhikkhu percaya bahwa mendukung atau berpartisipasi dalam kekerasan merupakan tindakan tidak pantas tetapi alasan kemanusiaan dinilai dapat diterima (Baird, 2012). Hal ini berimplikasi kepada mereka yang menentang pemerintah Laos dan membenarkan tindakannya akibat adanya dukungan dari para bhikkhu yang ikut melarikan diri.
Peran bhikkhu buddha Laos ini dipandang sebagai bentuk pengaruh rasa nasionalisme dan hak individu mereka yang nyatanya mempengaruhi interpretasi mereka terhadap nilai-nilai Buddhisme dan menunjukkan pergeseran di dalamnya (Baird, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa kompromi dan pergeseran nilai Buddhisme tidak hanya terjadi pada Kelompok Sangha yang bertahan di bawah Rezim Pathet Lao tetapi juga mereka yang melarikan diri.
ADVERTISEMENT
Pada masa transisi, LPRP nyatanya justru memperburuk kondisi Laos dengan ditandai oleh gagalnya pertanian pada tahun 1978. Hal ini mendorong LPRP untuk mengeluarkan resolusi ketujuh dan membalikkan keadaan politik dan jalur ekonomi (Hutchison, 2009). Kondisi ini mendorong Rezim Pathet Lao untuk menegakkan kembali institusi Buddhis sebagai bentuk ketergantungannya pada Sangha untuk legitimasi politiknya meskipun Buddhisme Theravada telah diubah dan dimanipulasi (Hutchison, 2009).
Krisis kehidupan membuat LPRP membuka mata bahwa kerja sama dengan pihak-pihak politik lainnya adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Mereka memilih untuk mengorbankan monopoli ideologi dan organisasi yang ada sebab komunisme Laos tidak dapat diadopsi dengan sendirinya dan harus dimoderatori oleh Theravada (Hutchison, 2009).
Referensi
Baird, Ian G. (2012). Lao Buddhist Monks' Involvement in Political and Military Resistance to the Lao People's Democratic Republic Government since 1975. The Journal of Asian Studies,71, hal. 655-677.
ADVERTISEMENT
Gutter, P. (2020). VI Laos: Symbiosis of communist politics and Buddhist culture?. Essays in Development Studies, hal. 67.
Hutchison, Jason Ray. (2009). For Passion or Power: Buddhism and Communism in Cambodia and Laos. Yale Journal of International Affairs. Spring/Summer Edition.
Ladwig, P. (2008). “Between Cultural Preservation and This-Worldly Commitment: Modernization, Social Activism, and the Lao Buddhist Sangha.” Dalam Goudineau, Y. & Lorillard, M. (eds.): Nouvelles recherches sur le Laos, Paris/Vientiane: EFEO, hal. 1-27.