Badai

Anissa Sadino
Provehito in Altum
Konten dari Pengguna
19 Mei 2020 0:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anissa Sadino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Badai
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
"Duduk. Aku mau bicara."
Aku menuruti perintah Badai. Aku duduk di depannya, tanpa suara, seraya menatap wajahnya.
ADVERTISEMENT
Bagian bawah kedua matanya terlihat lebih hitam dari biasanya. Kelihatannya, dia tidak tidur semalaman. Kedua bola mataya terlihat sedikit memerah. Rahangnya mengeras, siap untuk membentak.
Kepalanya bergerak ke arahku. Kedua matanya menatapku. Tatapannya liar. Dia siap menerkamku.
"Aku sudah bilang berapa kali," ucapnya pelan. "Tidak dengan orang itu."
Kami berdua menarik napas. Badai berusaha keras untuk tetap tenang. Kami masih saling menatap, dan aku tahu pembelaanku tak akan diterima.
"Aku berhak menentukan ap..."
"Tidak dengan bajingan itu, Sa," suara Badai sedikit meninggi. "Dia tidak tahu kamu. Dia berbeda keyakinan denganmu. Dia tidak pantas berada di sana."
Aku kembali menghela napas panjang. Kedua tangan Badai mengepal. Tidak, dia tidak akan memukulku. Tapi, dia sedang mempersiapkan diri untuk meninju meja yang ada di antara kami.
ADVERTISEMENT
"Badai," aku menelan ludah. "Buatku, dia orang baik."
"Dia akan menyakitimu di garis akhir, Sa," tubuh Badai gemetar. "Aku tak akan bisa menerimanya. Aku akan mencarinya, pegang omonganku. Dia tidak boleh menyakitimu seperti itu."
"Badai," aku berusaha tetap tenang. "Aku akan urus ini."
"Kamu..." Badai menutup kedua matanya. Kedua tangannya mengepal semakin kencang. "Kamu tidak akan bisa mengurus perasaanmu sendiri."
Aku mulai panik. Badai sudah siap untuk meledak. Aku tak mau dia melukai dirinya sendiri. Badai tak bisa mengontrol emosinya, terutama ketika ekspektasinya yang terlalu tinggi berubah menjadi senjata makan tuan.
"Aku mohon, jangan dia," mata Badai semakin memerah. "Aku benci berurusan dengan hal-hal seperti ini."
ADVERTISEMENT
Aku berlutut di lantai, menggeser meja agar aku berhadapan langsung dengan Badai. Aku menyentuh kedua tangannya. Kepalannya terlalu keras, aku tidak bisa meraih jemari-jemarinya.
"Badai, dengarkan aku," aku menggenggam kedua tangannya. "Redam emosimu. Aku mendengarkan. Aku paham apa yang kamu mau."
"Aku mohon," suara Badai berubah lirih. "Aku tahu yang terbaik buatmu. Dengarkan aku."
Aku mengusap dahi Badai. Dia berkeringat. Sebesar itu rasa takutnya. Sekuat itu dia menahan amarahnya.
Ini aku yang lemah saat berhadapan dengan Badai. Aku yang selalu menuruti permintaannya, aku yang selalu berusaha memenuhi ekspektasinya.
Badai bergantung padaku. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku bertemu dengan orang seperti dia. Badai, lelaki posesif yang tak peduli akan kehadiran manusia lain di Bumi ini selain aku dan ibunya.
ADVERTISEMENT
Sulit untuk melarikan diri dari Badai. Dia selalu menggagalkan pelarianku. Bahkan, dia rela menggali kuburanku hanya untuk bertemu denganku.
Aku dan Badai adalah masa lalu yang tak akan pernah berakhir. Badai berjanji pada dirinya sendiri untuk terus ada dalam hidupku. Dia berjanji untuk tak pernah pergi. Dia berjanji untuk tak pernah tidur hanya untuk memperhatikanku dari jauh.
Entah apa yang aku lakukan untuknya selama ini. Aku tak pernah merasa memberikannya ruang untuk ditinggali. Aku tak pernah merasa berbagi raga dengannya. Aku tak pernah menghancurkannya.
Aku hanya menyayanginya dengan tulus. Layaknya sepasang kekasih, aku menghormati dan menerimanya apa adanya. Itu dulu, dan hanya sebatas itu. Tapi, kenapa Badai merasa aku melakukan hal yang tidak pernah dilakukan perempuan lain untuk hidupnya?
ADVERTISEMENT
Badai pernah bilang, dia tidak bisa memaafkan dirinya jika aku marah padanya. Badai juga kerap gelap mata saat aku bersanding dengan orang lain selain dirinya. Badai menolak untuk diampuni dosanya jika dia membuatku menangis.
Manusia macam apa dia? Menuntut dirinya untuk tunduk pada perempuan yang ragu akan sifat dan sikapnya? Kenapa dia melihatku seperti melihat masa depan? Dia tahu candu itu bahaya, dan kenapa dia tidak mengobati dirinya atau pergi, malah memilih untuk tenggelam dalam candu?
"Kau dengar aku?"
Aku menatap wajah Badai. Sorot matanya yang tajam seakan ingin mencabik-cabik wajahku. Dia sangat kesal padaku. Di satu sisi, dia membenci dirinya sendiri.
"Aku mohon, jangan orang itu," suaranya bergetar. "Kau tidak boleh hidup dengan orang seperti dia. Kau bisa mendapatkan orang yang lebih baik dari dia."
ADVERTISEMENT
Aku bergeming. Bibirku gemetar, aku bisa merasakannya.
"Aku dengar, Badai," ucapku. "Aku akan bicara dengannya nanti malam."
Badai menarik kedua tanganku dan memelukku. Badannya panas. Dia berusaha keras untuk tidak meledak di depanku.
"Aku tahu kita sudah selesai," bisiknya. "Tapi, bukan berarti pengabdianku padamu mati begitu saja."