Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Sadino's Monologue #23
25 Februari 2018 3:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Anissa Sadino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hujan. Berkeluh. Menyesal. Hujan. Berkeluh. Menyesal.
Hujan berhenti, dan malam mendadak bisu. Terlalu sunyi untuk ditinggali, terlalu gelap untuk dinikmati. Di kejauhan, aku bisa melihat bintik-bintik cahaya berwarna kuning menjalar hingga ke bawah bukit.
ADVERTISEMENT
Dunia terlalu tenteram malam ini. Angin dingin membelai rambutku mesra. Rasanya seperti, belasan tangan menyentuh tubuhku dengan lembut. Wangi tanah yang basah dan butiran air di rumput membuatku mendesah. Inikah kehidupan?
Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang membawaku kembali ke rumah. Kedua lenganku basah, membuatku ingin buru-buru pulang. Aku ingin berganti pakaian, aku ingin mandi air panas, aku ingin menikmati teh hangat.
Aku tiba di rumah dan terpaku di teras. Aku bertanya-tanya dalam hati, perlukah aku harus mengetuk pintu?
Pintu rumahku terbuka dan seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Wajahnya malas, kantung matanya cukup tebal, dan mata hitamnya menatapku kesal.
"Dari mana kamu?"
Aku tidak menjawab. Laki-laki tersebut mendongak, tapi kedua matanya masih menatap ke bawah, ke arahku.
ADVERTISEMENT
"Ini jam satu pagi, Sadino. Kamu dari mana?" tanyanya dengan suara yang sedikit meninggi. "Bajumu basah."
"Aku mencarimu di sana," aku menunjuk langit yang bertabur bintang. "Tapi kamu tak ada."
Alis sebelah kiri laki-laki tersebut terangkat. "Kau merasa kehilangan aku di sana?"
Mataku berkedip berulang kali. Kepalaku menunduk tanpa diminta.
"Lihat aku," pinta laki-laki itu dan aku menatapnya. "Jangan pergi sendirian. Aku tidak bisa melihatmu berjalan tanpa arah."
Aku menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan, begitu juga dia. Aku masih menunduk, menolak untuk melihat wajahnya yang mungkin kecewa dengan keputusan untuk pergi seorang diri.
"Sadino," laki-laki itu menepuk bahuku. "Mandi air panas, ya. Nanti aku buatkan teh hangat."
Aku mengangguk dan berjalan melewati laki-laki tersebut tanpa bicara. Aku bisa merasakan kalau dia sedang memandangi punggungku seraya berharap aku akan menoleh padanya.
ADVERTISEMENT
***
Sadino berjalan melewatiku tanpa bicara sepatah kata pun. Kepalanya masih menunduk, dan dia melangkah dengan tergesa-gesa. Dia menghindari untuk bicara lebih banyak denganku.
Aku mendengus. Sadino kini sudah menghilang dari pandangan. Aku berbalik dan memandangi langit yang ditunjuk Sadino. Sebenarnya, ada apa di sana?
Aku bisa merasakan bahwa kedua mataku berbinar saat melihat langit malam ini. Langit yang cerah, gelap, namun mempesona. Ada ratusan bintang berkilau di sana, di tempat yang tak akan pernah bisa kusentuh.
Angin dingin menghantam wajahku dengan pelan. Dinginnya menusuk rusuk, membalut wajah, leher, dan kulit kepalaku. Sebelumnya, hawa di sini tidak pernah sedingin ini.
Aku mengambil bungkusan kecil dari kantung jaketku dan mengeluarkan sebatang rokok. Aku membakarnya dengan korek api gas yang daritadi aku genggam. Asap putih keluar secara perlahan dari mulutku, membuat bibirku bak dilanda kekeringan.
ADVERTISEMENT
Aku mengarahkan asapnya ke langit. Aku mengotori udara yang selalu dipuja Sadino. Aku mendengus, berharap agar perempuan yang kucintai memaafkan dosaku.
Aku ingat. Saat itu, kami baru saling mengenal selama enam bulan. Aku mengajaknya ke sini, ke tempatku berdiri sekarang.
Dia duduk di atas rerumputan yang basah. Dia tak peduli akan tanah dan air yang mengotori celananya. Aku berjongkok di sampingnya. Tiba-tiba, dia menunjuk langit yang terbentang luas di hadapannya.
"Bintang itu paling terang. Aku menyukainya," katanya kala itu. "Aku mau tinggal di sana."
"Itu bukan bintang, Sadino. Itu hanyalah gugusan gas," sahutku.
"Kalau begitu, aku dan kamu akan jadi partikelnya. Kita akan hidup di sana, entah sebagai atom atau molekul. Kita akan menjadi unsur baku," jawabnya.
ADVERTISEMENT
Sadino menatapku. "Tapi, aku tidak akan kehilangan kamu di sana, kan?"
Aku tidak menjawab. Aku memilih untuk diam. Aku melirik Sadino. Dia masih menatapku.
"Kamu bisa kehilangan aku kapan saja," jawabku. "Tapi kamu bisa memilikiku kapan saja."
Sadino tersenyum. Wajahnya terlihat lega. Dia memeluk kedua kakinya dengan erat.
"Aku harap kalimatmu barusan adalah janji yang tak pernah terucap," katanya dengan pelan.
"Hijikata," suara Sadino membangunkanku dari lamunanku. Aku sudah kembali ke realitas.
Aku berbalik menatap Sadino. Dia sudah mandi dan sudah berganti pakaian.
"Mana tehku?" tanyanya.
Aku menepuk dahiku. "Aku lupa. Ayo, kita buat bersama."