Konten dari Pengguna

Literasi dalam Tantangan Teknologi: Apakah Buku Fisik Masih Punya Tempat?

Anita Dwiyanti
Mahasiswi Universitas Boyolali Pecinta literasi digital dan teknologi pendidikan. Menulis tentang bagaimana inovasi dapat meningkatkan akses dan kualitas pembelajaran bagi generasi muda.
6 Mei 2025 9:57 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anita Dwiyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto ini diambil oleh Anita Dwiyanti, menangkap momen seseorang yang sedang membaca buku fisik di era digital. Sebuah refleksi tentang bagaimana literasi tetap relevan di tengah kemajuan teknologi.
zoom-in-whitePerbesar
Foto ini diambil oleh Anita Dwiyanti, menangkap momen seseorang yang sedang membaca buku fisik di era digital. Sebuah refleksi tentang bagaimana literasi tetap relevan di tengah kemajuan teknologi.
ADVERTISEMENT
Saat terakhir kali kamu membaca buku fisik? Di era digital yang serba cepat, kebiasaan membaca mengalami perubahan besar. E-book, artikel daring, dan media sosial kini menjadi alternatif utama, menawarkan kenyamanan dalam genggaman. Dengan begitu banyak kemudahan akses yang ditawarkan teknologi, buku fisik seolah menghadapi tantangan eksistensinya. Tapi, apakah benar generasi muda mulai meninggalkan tradisi membaca yang telah bertahan berabad-abad?
ADVERTISEMENT
Teknologi terus membawa pergeseran dalam cara kita mengakses informasi. Buku fisik yang dulu menjadi pilihan utama, kini bersaing dengan format digital yang lebih fleksibel. Meski begitu, buku cetak masih punya tempat tersendiri. Survei GoodStats 2024 menunjukkan bahwa sebagian besar Gen Z, sekitar 73,4%, tetap lebih memilih membaca buku fisik dibandingkan e-book, terutama karena kenyamanan dan pengalaman membaca yang lebih nyata. Fokus pun jadi faktor penting 70% responden mengaku lebih bisa berkonsentrasi dengan buku fisik, tanpa gangguan notifikasi atau distraksi digital.
Namun, pola membaca kini semakin cepat dan instan. 79% responden di Indonesia tetap memilih buku fisik, tetapi sebagian mulai beralih ke format digital karena fleksibilitasnya. Kebiasaan membaca pun berubah hanya 49,3% yang membaca selama 30-60 menit sehari, sementara 36% membaca kurang dari 30 menit. Hal ini menunjukkan bagaimana format digital membuat informasi lebih mudah diakses, tetapi juga mendorong kebiasaan membaca yang lebih singkat.
ADVERTISEMENT
Pergeseran ini tak hanya berdampak pada individu, tetapi juga budaya dan pendidikan. Generasi muda kini lebih sering mengonsumsi informasi dalam format ringkas dari thread Twitter hingga video edukatif berdurasi beberapa menit. Buku fisik tetap menawarkan pengalaman intelektual yang lebih dalam dan reflektif, dengan sensasi membalik halaman, aroma khas kertas, dan kedalaman berpikir yang sulit digantikan oleh layar.
Perubahan ini juga menjadi tantangan bagi dunia pendidikan. Meski buku cetak masih digunakan sebagai bahan ajar, apakah metode pembelajaran yang ada cukup menarik bagi generasi muda? Perpustakaan yang dulu menjadi pusat literasi kini perlu bertransformasi agar tetap relevan di era digital.
Di tengah tren digitalisasi yang terus berkembang, buku fisik tetap memiliki tempatnya. Tantangan ke depan bukan hanya mempertahankan tradisi membaca, tetapi bagaimana kita bisa menggabungkan dunia digital dan fisik secara harmonis agar literasi tetap berkembang. Teknologi dan tradisi tidak harus bertentangan keduanya bisa berjalan berdampingan, membentuk keseimbangan yang memungkinkan kita menikmati literasi dalam berbagai bentuknya.
ADVERTISEMENT
Dengan dukungan institusi pendidikan, komunitas literasi, dan kesadaran individu, buku fisik masih punya peran dalam kehidupan modern. Bukan sekadar benda nostalgia, tetapi bagian dari perjalanan intelektual yang nyata.