Menakar Efektivitas Paris Agreement dalam Komitmen Internasional

Anita Putri Rukayah Siregar
Master degree student at Gadjah Mada University majoring International Relations
Konten dari Pengguna
10 Juni 2022 18:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anita Putri Rukayah Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://kumparan.com/solar-kita/paris-agreement-and-pencapaian-indonesia-dalam-mengatasi-isu-climate-change-1wOq9CGxh9C
zoom-in-whitePerbesar
https://kumparan.com/solar-kita/paris-agreement-and-pencapaian-indonesia-dalam-mengatasi-isu-climate-change-1wOq9CGxh9C
ADVERTISEMENT
Pengesahan Paris Agreement (PA) ditandai dengan penandatanganan perjanjian pada bulan Desember 2015 dalam COP21 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Berdasarkan Pasal 2.1.a, perjanjian ini memiliki tujuan utama untuk menahan peningkatan suhu rata-rata global di bawah 2° C pada tingkat pra-industri dan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C pada tingkat industri. Semua pihak menyetujui tujuan ini, dan berkontribusi untuk mewujudkan tujuan perjanjian, didukung oleh semua aktor non-negara, melalui berbagai jenis komitmen seperti Nationally Determined Contributions (NDC) dan Strategi Jangka Panjang, serta membentuk instrumen pemantauan.
ADVERTISEMENT
NDC merupakan rancangan aksi dan mitigasi yang diajukan setiap pihak untuk mengurangi emisi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. NDC sendiri merupakan suatu kewajiban bagi setiap pihak untuk “prepare, communicate and maintain” kontribusi yang dilakukan secara nasional. Namun, timbul perdebatan mengenai potensi implikasi hukum perjanjian dalam pengaplikasiannya ke kebijakan nasional. Misalnya dalam ketentuan NDC yang tidak menentukan batas minimum dan maksimum kontribusi nasional secara eksplisit. Tulisan ini akan menganalisis efektivitas PA dan mempertanyakan potensi keberlakuan perjanjian tersebut untuk menakar komitmen internasional dalam mengimplementasikan PA.
Apakah Paris Agreement Mengikat secara Hukum?
UNFCCC dengan tegas menggambarkan PA sebagai perjanjian internasional tentang perubahan iklim yang legally binding atau mengikat secara hukum. Namun perjanjian tersebut memiliki beberapa celah dalam aturan hukumnya. Misalnya ketiadaan ketentuan terkait pemberian penalti seperti denda atau embargo, untuk pihak yang melanggar ketentuannya, dan tidak adanya pengadilan internasional atau badan pengatur yang siap untuk menegakkan kepatuhan semua pihak. Terlebih dalam teks perjanjiannya memiliki variabel, dengan beberapa kewajiban yang wajib dilaksanakan, sementara yang lain fleksibel. Perbedaan tersebut ditunjukkan dengan penggunaan kata “harus” dan “seharusnya”. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian generasi ketiga ini bersifat progresif dan menciptakan dinamika temporal untuk implementasinya.
ADVERTISEMENT
Contohnya PA mewajibkan setiap pihak untuk memenuhi komitmennya dengan menerbitkan NDC setiap lima tahun sebagaimana tercantum dalam pasal 4.9 “Each Party shall communicate a nationally determined contribution every five years […]”, namun perjanjian tidak mewajibkan setiap pihak untuk melaksanakan metode mitigasi dan implementasi berdasarkan yang tercantum dalam perjanjian sebagaimana tercantum dalam pasal 4.14 “[...] Parties should take into account, as appropriate, existing methods and guidance under the Convention [...]”. Hal ini menunjukkan bahwa PA tidak memiliki target untuk mengikat seluruh pihak secara keseluruhan, namun mengikat semua pihak untuk melaksanakan beberapa kewajiban seperti menerbitkan target nasional melalui NDC.
Mengartikulasikan Paris Agreement ke dalam Hukum Nasional
Apabila kita kembali melihat pada teks perjanjian, terdapat mekanisme prosedural yang mendasarinya, khususnya aturan tentang akuntabilitas, transparansi, dan elemen lainnya yang dapat saling terintegrasi antara tingkat nasional dan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian yang dibentuk tidak hanya berkontribusi untuk meningkatkan tata kelola hukum iklim internasional, tetapi juga juga berkontribusi secara nasional melalui NDC yang diajukan oleh semua pihak untuk menghasilkan langkah-langkah tingkat internasional yang akan menjadi wajib menurut hukum nasional. Oleh karena itu, mekanisme yang dibentuk tidak hanya legal dalam arti sempit, tetapi juga merupakan tipe baru yang menciptakan artikulasi yang baik antara hukum internasional dan hukum nasional.
ADVERTISEMENT
Berkenaan dengan hal tersebut setiap pihak memiliki kewajiban untuk mengubah NDC sebagai sistem implementasi nasional. Kewajiban tersebut sebagaimana dapat dilihat pada pasal 4.2 yang berbunyi “[...] Parties shall pursue domestic mitigation measures, with the aim of achieving the objectives of such contributions.” Contohnya, Indonesia sebagai salah satu Negara pihak dari PA, mengadopsi perjanjian tersebut dalam UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change dan berkewajiban untuk menyampaikan dokumen NDC ke secretariat UNFCCC. Dengan pengadopsian UU tersebut, Indonesia membentuk strategi-strategi pengimplementasian PA lainnya seperti Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dan lain sebagainya. Berdasarkan penerapan tersebut, data diperhatikan bahwa pengimplementasian PA dalam level domestik cukup ketat.
ADVERTISEMENT
Namun perlu diketahui bahwasanya PA dibentuk berdasarkan principle of common but differentiated responsibilities and respective capabilities, yang berarti PA merupakan tanggungjawab bersama namun dibedakan berdasarkan kemampuan masing-masing pihak. Sehingga menarik untuk melihat bagaimana perjanjian ini memberikan kewajiban bagi semua pihak untuk memenuhi isi perjanjian, namun dengan ketiadaan sanksi bagi pelanggar, maka dapat dikatakan bahwa setiap pihak yang tidak dapat memenuhi NDC tidak melanggar peraturan yang telah dibentuk.
Bagaimana Komitmen Internasional dan Efektivitas Paris Agreement?
Terdapat beberapa problematika dalam penerapan NDC sebagai sistem implementasi nasional yang mempengaruhi efektivitas PA. Pertama, sebagaimana telah disebutkan pada artikel 4.2 bahwa setiap pihak harus membentuk langkah-langkah mitigasi domestik, dengan tujuan mencapai NDC-nya. Perlu diketahui bahwa PA tidak mengamanatkan tindakan domestik tertentu atau menghalangi suatu pihak untuk kemudian menarik, memodifikasi atau mengganti tindakan yang telah dilakukan. Dengan demikian, tidak akan ada pelanggaran hukum internasional jika suatu pihak mengubah tindakan domestiknya.
ADVERTISEMENT
Kedua, PA tidak mengharuskan salah satu pihak untuk mencapai NDC-nya dengan ketiadaan penetapan batas minimum dan maksimum, atau menerapkan langkah-langkah implementasi tertentu sebagaimana tecantum dalam artikel 4.14. Sehingga jika terdapat penarikan adopsi strategi domestik atau kegagalan untuk mencapai target pengurangan emisi tidak akan melanggar kesepakatan perjanjian.
Ketiga, ketiadaan sanksi ekonomi atau politik terhadap pihak yang melanggar, tidak mendorong semua pihak lebih responsive dalam memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim, dan bahwa Negara maju akan terus mengabaikan tanggung jawab mereka untuk mendanai aksi iklim di Negara berkembang. Terlebih Negara-negara maju tidak memiliki kewajiban untuk menaikkan target NDC memunculkan ketimpangan dalam mitigasi perubahan iklim. Ketiga poblematika di atas tentunya berdampak pada efektivitas PA. Alih-alih dibentuk untuk mendorong semua pihak berkontribusi dalam mengatasi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, 75 persen dari 184 NDC untuk tahun 2030 tidak mencukupi untuk dapat menahan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius.
ADVERTISEMENT