"Sail" Natuna (1): Emang Siapa yang Mau ke Natuna?

anitaningrum
Pengkaji Bahasa dan Sastra @ Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud
Konten dari Pengguna
13 Juli 2021 14:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari anitaningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Coba dicek, Mbak, ada gak pesawat ke Natuna tanggal 17. Soalnya di Tr****a adanya tanggal 18." Pesan dari Jefri, rekan saya di Kantor Bahasa Provinsi Kepulauan Riau yang akan bersama bertugas ke Natuna, siang itu sontak saja membuat saya panik membuka berbagai situs penyedia tiket. Benar saja, nihil.
ADVERTISEMENT

Drama Kehabisan Tiket ke Natuna

Hari itu tanggal 15. Kami berencana akan berangkat bersama dari lokasi kami masing-masing ke Batam esok, tanggal 16: saya dari Jakarta dan Jefri dari Tanjung Pinang. Menginap semalam di Batam dan esok paginya, tanggal 17, berangkat ke Natuna.
Apalah daya, tiket Batam ke Natuna untuk tanggal 17 ternyata sudah bener-benar habis.
Cepat-cepat saya beli saja tiket untuk tanggal 18 karena khawatir habis lagi. Kemudian baru mendiskusikan ulang jadwal keberangkatan kami.
Sempat terpikir untuk tetap berangkat tanggal 16 dan menginap dua malam di Batam karena saya sendiri justru sudah membeli tiket pesawat ke Batam pada tanggal 16 itu. Tetapi rasanya kok buang waktu jadinya. Toh, kami juga gak bisa apa-apa di Batam. Cari data gak bisa, mau main ke Singapura juga apalagi karena lockdown. Hehehe.
ADVERTISEMENT
Kami pun sepakat menunda keberangkatan. Saya menjadwal ulang tiket pesawat. Blessing in disguise. Saya jadi punya waktu lebih untuk belanja keperluan anak-anak dan beres-beres rumah sebelum ditinggal ke lapangan selama sepuluh hari. Juga jadi santai menghadiri undangan workshop dari BPS untuk persiapan sensus penduduk.
Alun-Alun Engku Putri, Batam Centre. Difoto dari lantai 4 Hotel Harris, Batam Centre.

Naik Apa ke Natuna?

Ada dua moda transportasi yang bisa dipilih untuk menuju Natuna. Pertama, menggunakan pesawat terbang dari Batam. Kedua, menggunakan kapal laut dari Tanjung Pinang atau Pontianak. Perlu waktu sekitar 1 jam 15 menit (dengan Sriwijaya) atau 1 jam 40 menit (dengan Wings Air) dari Bandara Hang Nadim, Batam untuk sampai di Bandara Raden Sadjad alias Bandara Ranai di Natuna. Sementara jika menggunakan kapal laut akan makan waktu DUA HARI. Ya, dua hari.
ADVERTISEMENT
Tentu saja kami memutuskan untuk naik pesawat. Seingat saya pada minggu-minggu itu hanya Wings Air itu saja pilihan penerbangannya. Entah kenapa gak pilih Sriwijaya ya? Lupa juga. Memang jadwalnya terbatas karena pandemi atau waktunya gak cocok saya kok benar-benar gak ingat. Boleh kita skip saja ya. Informasi dari narahubung kami di Natuna juga, selama pandemi, penerbangan dari dan ke Natuna juga tidak beroperasi pada hari Minggu.
Saya menyerahkan sepenuhnya pilihan penginapan di Batam kepada Evi karena dia dan Miranti yang tiba lebih dahulu di Batam.
langit pukul enam pagi. gelap sekali.

Mendung dari Batam, Cerah Tiba di Natuna

18 Juni 2021.
Pukul 6 pagi saya sudah di ruang makan. Berniat makan sekadarnya demi menjaga imun. Langit gelap sekali saat itu. Saya yang memang belakangan menjadi pencemas luar biasa, seketika mulai khawatir. Secangkir kapucino (cek KBBI ya kalo kamu pikir ini saltik) yang sedianya menjadi mood booster tidak juga membuat saya tenang.
ADVERTISEMENT
Hujan turun dalam perjalanan menuju Hang Nadim. Juga selama kami menunggu waktu boarding. Kami berlima diam-diam sama-sama cemas. Tidak pernah membayangkan naik ATR melintasi Laut Natuna dalam cuaca hujan dan langit gelap.
Pesawat yang kami tumpangi penuh hari itu.
Tadinya saya pikir, "Emang siapa yang mau ke Natuna?"
Pikiran ini juga yang membuat saya menunda-nunda membeli tiket ke Natuna hingga berujung kehabisan tiket itu. Kepada sopir taksi yang mengantar saya ke hotel ketika saya tiba di Batam, saya sempat bertanya, "Emang di Natuna ada destinasi wisata gitu, Pak, kok tiketnya bisa habis gitu sih, Pak?"
Pertanyaan (yang kelihatannya sangat) dangkal karena bapaknya juga jawabnya bingung, "Ya kebanyakan sih penduduk sana, Bu, yang bepergian dari dan ke Natuna."
ADVERTISEMENT
Plus pegawai negeri sipil macam saya.
Dalam kondisi pandemi begini, berada dalam kendaraan umum dengan kapasitas penuh sebetulnya menambah cemas yang lain. Tapi saya kemudian sadar diri: kan lo yang keukeuh jalan, Nitnot. Hehe.
menjelang take off
Kami berlima duduk berpisah. Masing-masing duduk di sisi jendela. Pesawat beberapa kali terguncang cukup keras setelah take off. Saya biasanya menikmati momen take off dan landing dengan menatap keluar jendela. Melihat daratan yang mengecil dan langit biru atau awan putih yang membentang buat saya menyenangkan. Tapi pagi itu, saya hanya bisa melihat awan gelap penuh dari sisi jendela saya. Saya memaksakan diri untuk tidur setelah membaca tidak juga menenangkan kegugupan saya. Kemudian baru terbangun ketika matahari mulai terasa cukup menyilaukan. Ah, syukurlah. Setengah perjalanan kami sepertinya ditemani oleh cuaca cerah.
ADVERTISEMENT
Kami mendarat sekitar pukul 10.25 WIB, lebih cepat lima belas menit dari perkiraan. Selain para anggota TNI (berasa orang penting gitu jadinya, padahal mah dia jemput anggotanya), terik matahari juga menyambut kami di Natuna. Tubuh juga hati kami jadi hangat dibuatnya.
TOUCH DOWN NATUNA. Masih semringah. Belum mabuk laut. Hahaha.
Sinar matahari seringnya melambangkan optimisme, semangat. Persis menggambarkan perasaan kami berlima yang begitu antusias memulai petualangan kami di salah satu kabupaten di Kepulauan Riau ini.
[bersambung]