'Sail' Natuna (2): Bertemu Penutur Jati Muda Pelestari Budaya

anitaningrum
Pengkaji Bahasa dan Sastra @ Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2021 14:54 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari anitaningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Mbak, siang ini langsung rapat koordinasi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ya," Jefri, rekan saya satu tim, mengingatkan. Pesawat kami baru saja tiba di Natuna.
ADVERTISEMENT
Tadinya saya pikir rapat koordinasi atau apalah itu namanya, sifatnya hanya pertemuan nonformal saja dengan Kabid Kebudayaan seperti biasanya: kami buat janji dengan mereka untuk berkunjung kemudian ngobrol-ngobrol santai. Saya mulai berpikir pertemuan ini akan jadi serius ketika Jefri meneruskan surat undangan rapat koordinasi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata melalui Whatsapp.
"Bapak Kabid sudah mengundang komunitas juga, Mbak," tambah Jefri.
Oke. Sepertinya hari ini memang tidak diatur untuk mengistirahatkan tubuh yang lumayan gemetaran merasakan turbulensi karena hujan deras ketika berangkat dari Batam.
Selepas salat Jumat dan makan siang, kami meluncur ke Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Natuna di Kompleks Perkantoran Natuna Gerbang Utaraku (NGU) atau Kawasan Masjid Agung Natuna. Masih ada 8 kantor dinas organisasi perangkat daerah (OPD) yang beroperasi di wilayah NGU ini yang rencananya akan dipindahkan seluruhnya ke Kompleks Perkantoran Bupati Natuna di Bukit Arai. Sementara kawasan NGU sendiri akan dikembangkan menjadi islamic centre.
foto aerial Kompleks Perkantoran Natuna Gerbang Utaraku (NGU) atau Kawasan Masjid Agung Natuna. source: Batam News
Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Natuna berlokasi di bagian belakang kompleks Masjid Agung Natuna. Dari sini, kita bisa melihat Gunung Ranai dengan jelas. Bang Munir, sopir kami selama di Natuna bercerita bahwa asrama haji yang berada di wilayah ini sedang difungsikan sebagai lokasi isolasi mandiri untuk pasien Covid-19. Ketika kami pulang, kami juga sempat melihat beberapa pasien sedang berjemur di halaman masjid.
ADVERTISEMENT
Memasuki gedung dinas, kami bertemu dengan satu-dua orang pegawai berseragam olahraga. Enak betul ya tidak perlu berganti pakaian selepas olahraga pagi di hari Jumat. Rapat pun sah-sah saja menggunakan seragam olahraga.
Sepanjang menaiki tangga menuju ruangan rapat, saya membayangkan akan bertemu dengan para penutur tradisi dan pelestari budaya yang usianya sudah tidak muda lagi. Bayangan ini ternyata pudar begitu kami masuk ke ruangan rapat.

Natuna dan Geliat Generasi Muda Pelestari Budaya

Kami disambut langsung oleh Hadisun, Kepala Bidang Kebudayaan Dinparbud Natuna. Beliaulah yang mengenalkan kami kepada para anak muda yang begitu bersemangat melestarikan budaya dan menggali sejarah kampung halamannya, Natuna. Berkat beliaulah, sembilan hari di Natuna rasanya tak cukup untuk menjelajahi khazanah budayanya. Ngah Disun, begitu ia biasa dipanggil, sendiri juga tentu saja tak kalah semangatnya dengan adik-adik di komunitas untuk urusan pelestarian budaya di Natuna. Ngah Disun punya jadwal rutin mengunjungi Pulau Tiga untuk mengajarkan kesenian dan selalu menyediakan waktunya untuk kami di tengah kesibukannya selama kami di Natuna.
Ngah Disun (berkaus biru) saat memoderatori rapat koordinasi di hari pertama kami tiba di Natuna
Saya ingat sempat berpapasan dengan dua orang gadis muda di tangga menuju ruangan rapat. Saya pikir mereka berdua adalah mahasiswa atau pelajar yang sedang magang atau semacamnya di sini. Ternyata keduanya adalah perwakilan komunitas yang diundang oleh Ngah Disun untuk bertemu dengan kami. Sebelum rapat dimulai, dalam hati saya bertanya-tanya, "Anak-anak kecil ini disuruh ngapain ya ke sini?"
ADVERTISEMENT
"Siang ini saya sengaja mengundang teman-teman komunitas untuk nantinya bisa membantu Bapak dan Ibu dari Badan Bahasa melakukan pencarian data pemetaan bahasa dan sastra di sini," begitu Ngah Disun mengawali perkenalan dengan anak-anak muda di seberang saya. Kemudian anak-anak muda itu memperkenalkan diri. Setidaknya ada dua komunitas yang sangat membantu pelaksanaan tugas kami di Natuna, yaitu Kompasbenua dan Natuna Sastra.
Kompasbenua, singkatan dari Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Melayu Natuna, digagas oleh Ryanaldo, ASN di Sekretariat Daerah Kabupaten Natuna. Lulus dari Teknik Perminyakan UPN Veteran, Yogyakarta dan menempati jabatan sebagai Inspektur Migas, tidak melunturkan kecintaan Ryan kepada sejarah dan budaya.
"Saat saya merantau di Tarakan, saya dan teman-teman di sana menggagas berdirinya komunitas Tarakan Tempo Doeloe yang berfokus pada pelestarian sejarah dan situs-situs sejarah di Tarakan. Saya berpikir, ini tempat orang saya bikin (komunitas). Nanti saya pulang, saya harus bikin juga," ceritanya.
ADVERTISEMENT
Kompasbenua mengawali gerakannya hanya dari postingan foto-foto lama di Instagram pada tahun 2018. Kemudian mengkhususkan diri kepada sejarah, bahasa, dan cerita rakyat Natuna.
Sementara Natuna Sastra diprakarsai oleh Destriyadi Imam Nuryaddin. Cari saja nama lengkapnya di Google, niscaya karya-karyanya di berbagai media massa akan memenuhi halaman pencarian. Destri adalah alumni Fakultas Bahasa dan Seni UNJ dan saat ini melanjutkan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada juga pengelola laman toknyong.com yang aktif membagikan tulisan mengenai seni, budaya, sastra, dan sejarah Natuna. Dengan slogan "seni berkarya di perbatasan", Natuna Sastra membuka diri bagi siapa saja yang memiliki minat dalam bidang tulis-menulis atau sastra.
Kedua komunitas ini pada dasarnya saling berkolaborasi. Jika Kompasbenua punya kegiatan, Natuna Sastra pasti terlibat. Begitu juga sebaliknya. Anggotanya pun begitu. Saling membantu. Hal ini jelas terlihat ketika kami yang terdiri atas dua tim dengan fokus objek yang berbeda membutuhkan beberapa orang pendamping setiap harinya. Ryan dan Destri kerap berdiskusi mengenai siapa yang cocok ditugaskan untuk membantu apa.
ADVERTISEMENT

Penutur (Jati) Muda dan Ruh Pelestarian Bahasa Daerah

Indikator paling mudah untuk mengukur apakah suatu bahasa akan atau sedang mengalami kepunahan adalah dengan melihat jumlah penutur jati muda bahasa tersebut. Penutur jati adalah padanan untuk istilah native speaker, penutur yang menggunakan bahasa ibu. Sementara penutur muda merujuk pada generasi penutur jati yang berusia di bawah 25 tahun. Asumsinya, jika jumlah penutur muda suatu bahasa cukup banyak, dapat disimpulkan bahwa proses pewarisan suatu bahasa dari generasi di atasnya berjalan. Namun jika jumlah penutur muda bahasa tersebut sedikit bahkan tidak ada, sudah jelas tidak ada pewarisan dari generasi di atasnya alias orang tua sudah tidak menggunakan dan mengajarkan bahasa tersebut dalam berkomunikasi dengan anak dalam lingkungan keluarga.
ADVERTISEMENT
Keberadaan penutur muda dalam upaya pelestarian bahasa daerah memiliki peranan begitu penting. Penutur muda inilah yang kelak akan meneruskan estafet bahasa daerah kepada generasi berikutnya. Sebab itulah dalam rencana strategisnya, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menerakan jumlah penutur muda sebagai indikator keberhasilan upaya pelindungan bahasa dan sastra daerah. Sayangnya, Badan Pusat Statistik menyimpulkan adanya tren penurunan jumlah penutur bahasa daerah setiap kali sensus penduduk dilakukan. Hasil ini menyiratkan makin sedikitnya generasi muda yang menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi sehari-hari sementara generasi tua yang masih aktif menggunakan bahasa daerah berkurang karena mortalitas.
Sepanjang saya bertugas di lapangan, selalu saja saya temukan kesulitan maestro atau penutur bahasa daerah yang usianya sudah senja itu untuk mengajarkan bahasa daerah beserta tradisinya kepada generasi di bawahnya. Alasannya kebanyakan karena generasi mudanya sudah tidak lagi tertarik kepada bahasa dan budaya daerah. Kuno, ketinggalan zaman, kampungan adalah penilaian yang kerap disampirkan kepada segala hal berbau bahasa daerah. Saya tak pernah merasa heran jika pada setiap rapat koordinasi sebelum melakukan pencarian data, saya hanya bertemu dengan para orang tua. Justru di Natuna-lah saya disajikan pemandangan yang baru.
ADVERTISEMENT
Pertemuan saya dan tim dengan anak-anak muda Natuna ini di hari pertama petualangan kami di Natuna memunculkan harapan baru bagi upaya pelindungan bahasa dan sastra daerah. Jaringan mereka luas. Koneksi mereka tidak hanya seputaran komunitas tetapi juga menyasar tokoh dan pejabat negara. Mereka tak segan menawarkan diri untuk berkolaborasi. Saya rasa perpaduan antara pengalaman mereka merantau (kebanyakan pernah mencicip bersekolah di luar pulau), semangat, serta privilese yang mereka miliki menjadi perpaduan yang apik untuk menggerakkan sebuah komunitas.
Ryan, Destri--dan kawan-kawannya--mengenalkan kami ke berbagai pelosok Natuna dan ceritanya. Saya berdecak kagum dengan keseriusan mereka menelusuri cerita, sejarah, dan budaya Natuna. Sebagai ASN yang jelas-jelas jabatannya adalah pengkaji bahasa dan sastra, saya rasanya tidak punya kedalaman penguasaan terhadap sebuah budaya seperti mereka. Pengetahuan saya melulu di permukaan saja.
ADVERTISEMENT
Maka tak heran ketika atas prakarsa Ngah Disun kami bisa bertemu dengan Wak Yal, sapaan akrab Wakil Bupati Natuna, Rodhial Huda, di kediamannya yang sejuk dan asri, kami menyaksikan betapa akrabnya Ryan, Izam--penggiat budaya Dirjen Kebudayaan yang juga mendampingi kami, dan Wei berbincang-bincang dengan Wak Yal.
Sebetulnya, saya yakin sekali bahwa di daerah lain pun banyak sekali generasi muda yang seperti mereka. Hanya saja mungkin selama ini saya belum berjodoh dengan mereka. Semoga lain waktu, lain kesempatan, di lain daerah.
bersama Wak Yal, Ngah Disun, dan teman-teman komunitas