Konten dari Pengguna

Konsep Komodifikasi Kebudayaan

Anjani Septya Anggraeni
Mahasiswi Prodi Pendidikan Ekonomi Universitas Pamulang
9 Oktober 2024 11:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anjani Septya Anggraeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Karl Marx dalam Encyclopedia of Marxism, mengemukakan pengertian komodifikasi yang berarti transformasi hubungan, sesuatu yang sebelumnya bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli dan menjual. Dengan kata lain komodifikasi: sesuatu yang awalnya tidak termasuk ke dalam area pasar berubah menjadi sesuatu yang komersial; menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan.
ADVERTISEMENT
Komodifikasi juga adalah pengaruh kapitalisme pada psikis konsumen yang menilai barang bukan lagi dari kegunaannya (use value), namun dari sign value dan exchange value. Membeli sepatu bukan karena dipakai untuk menjadi alas kaki, tapi karena sepatu itu bermerk Nike. Kita membayar bukan karena sesuatu itu berguna, namun untuk mengesankan orang lain (misal personality). Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar. Dalam pemikiran bahwa industri budaya akan mengubah formasi nilai guna kepada sesuatu yang diproduksi oleh sistem kapitalis, yaitu mendudukkan dan menggunakan konsumen sebagai suatu komoditas.
Komodifikasi berarti transformasi hubungan, sebelumnya bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli dan menjual. Hal ini menunjukkan bahwa istilah komodifikasi memiliki pengertian yang cenderung mirip dengan komersialisasi, yakni menjadikan sesuatu tidak lagi dinilai dari aspek sentimentil, namun sudah dinilai semata-mata dengan nilai uang. Orang cenderung tidak memandang objek itu secara natural, alami atau mengikuti pakem, namun dengan terang-terangan menjualnya karena nilai ekonomis dan keuntungan tanpa memikirkan etika dan etis lagi.
Wayang kulit. Sumber: freepik.com
Ada kecenderungan bahwa kebudayaan- kebudayaan masyarakat yang dikunjungi wisatawan, menjadi tetap ada dan terpelihara bukan lagi atas sebab awal yakni karena nilai-nilai kemasyarakatan, keakraban, dan kekeluargaan. Pada gilirannya, kebudayaan-kebudayaan itu jadi tetap ada dan terpelihara, namun karena nilai-nilai keuntungan. Jika merujuk pada konsep komodifikasi, maka yang tercabut dari kegiatan tersebut adalah nilai-nilai kekeluargaan dan keakraban tadi. Sesuai dengan yang disampaikan Tylor bahwa kebudayaan itu merupakan suatu kerumitan atas hubungan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Jadi jika memang dinilai terjadi adanya komodifikasi terhadap kebudayaan, tentu bukan hanya dari beberapa unsur kebudayaan saja, namun pada dasarnya semua aspek pembentuk kebudayaan itulah yang rentan mengalami komodifikasi. Apa yang terlihat sekilas dalam industri pariwisata, mungkin saja bisa dikatakan komodifikasi kebudayaan. Biasanya para pelaku kebudayaan menyebut komodifikasi kebudayaan atas kegiatan mencomot suatu aspek kebudayaan (misalnya kesenian, tarian, upacara adat), untuk bisa dipertontonkan kepada wisatawan, yang waktu kunjungannya sangat terbatas.
ADVERTISEMENT