Realitas Pahit di Balik Hak Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Indonesia

Anjani Marta
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
10 Desember 2022 22:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anjani Marta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Penghuni Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa II. Diambil menggunakan Kamera Iphone 11.
zoom-in-whitePerbesar
Potret Penghuni Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa II. Diambil menggunakan Kamera Iphone 11.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebuah cuplikan video berisikan seorang anak laki-laki yang kakinya terikat dan kelaparan pernah menggemparkan media sosial pada bulan Juli 2022. Dalang di balik kejadian tersebut adalah orang tua korban. Ketika ditanyakan oleh pihak berwajib, alasan mereka melakukan hal tersebut adalah karena buah hati mereka mengidap masalah gangguan jiwa.
ADVERTISEMENT
Kasus tersebut merupakan salah satu contoh kurangnya pemenuhan hak asasi manusia, khususnya bagi para kaum marjinal. Dalam hal ini, pelanggaran HAM terhadap pasien gangguan jiwa. Lemahnya pemenuhan HAM menjadi isu yang ramai digaungkan sejak lama. Hal ini menjadi bukti bahwa kesadaran tentang pentingnya HAM masih kurang, khususnya di Indonesia. Lantas, apakah hukum yang berlaku di Indonesia belum mencerminkan budaya pemenuhan HAM?

Payung Hukum Perlindungan HAM di Indonesia

Payung hukum yang melindungi HAM di Indonesia sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Hal ini sebenarnya menjadi bukti bahwa Indonesia sudah mengakui dan menaruh perhatian mengenai HAM. Selain itu, sudah ada UU No. 19 Tahun 2011 yang merupakan pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities (CRPD). Konvensi ini memuat pemenuhan HAM bagi para penyandang disabilitas, baik itu disabilitas fisik, maupun mental. Oleh karena itu, payung hukum perlindungan HAM para penyandang disabilitas juga sudah ada.
ADVERTISEMENT
Namun, realisasi semua Undang-Undang tersebut masih jauh dari kata baik. Pelanggaran HAM masih menjadi bala yang menghantui banyak orang, terutama bagi para kaum marjinal.Dari kasus yang disebutkan di awal tadi saja, kita sudah dapat melihat realitas pelanggaran HAM yang terjadi kepada para pasien gangguan jiwa.

Mengenai Orang dengan Gangguan Jiwa

Pasien gangguan jiwa (ODGJ) merupakan pasien penyandang disabilitas. Meskipun secara fisik mereka bisa saja dikatakan sehat, psikis mereka berkata sebaliknya. Secara hukum, mereka tidak dianggap sebagai subjek hukum karena tidak memiliki kecakapan untuk mempertanggungjawabkan hak dan kewajiban mereka. Akan tetapi, hal ini tidak berarti hak mereka sebagai manusia dapat dicabut begitu saja.
Dengan keterbatasan mereka, seharusnya ada perlindungan dan atensi lebih terhadap eksistensi mereka. Masalah gangguan jiwa bukan seperti penyakit fisik yang akan sembuh dengan istirahat atau dengan obat belaka. Diperlukan penanganan, baik itu secara medis, maupun secara nonmedis untuk membantu proses penyembuhan para pasien.
ADVERTISEMENT
Banyak orang, khususnya masyarakat perkotaan dan kaum milenial di zaman ini sudah memiliki pengetahuan yang baik mengenai masalah kesehatan mental dan pasien gangguan jiwa. Namun, masih banyak orang yang menyepelekan tentang pentingnya masalah gangguan jiwa, terutama bagi masyarakat desa yang kental akan adat istiadat. Oleh karena itu, banyak pasien yang ditanggulangi secara semena-mena.

Miskonsepsi Penanganan Para ODGJ: Hukum Pasung

Pernahkah kalian mendengar istilah hukum pasung? Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, pasung adalah alat untuk menghukum orang yang berbentuk kayu yang dipasangkan di kaki, tangan, bahkan leher seseorang. Hukum pasung merupakan sebuah bentuk miskonsepsi penanggulangan ODGJ yang marak terjadi di masyarakat.
Bayangkan saja, para korban harus hidup terkunci dengan kayu-kayu yang membatasi akses untuk menggerakkan anggota tubuh mereka. Ditambah lagi, para pasien biasanya dikurung di kandang yang sempit. Mereka harus tidur, buang air (kecil dan besar), dan makan di sana. Ejekan, pengucilan, dan pencemoohan sering mereka alami.
ADVERTISEMENT
Pemasungan terhadap ODGJ sudah jelas melanggar lebih dari satu jenis HAM, yaitu hak kebebasan, hak penyandang disabilitas, dan hak untuk hidup tanpa siksaan. Hak mereka untuk mengakses dunia luar juga terkunci. Oleh karena itu, hukum pasung jelas sekali bukan merupakan cara penanggulangan ODGJ yang tepat. Pasien yang dipasung justru akan bertambah parah kondisi kejiwaannya.

Faktor Pendorong Pemasungan ODGJ

Sebenarnya, ada beberapa faktor pendorong terjadinya tindakan pemasungan. Secara teoritis, ada beberapa faktor pendorong internal terjadinya pemasungan. Pertama, keluarga yang takut dikucilkan secara sosial karena merasa malu anggota keluarganya merupakan pasien ODGJ. Selain itu karena rasa malu, keluarga juga takut pasien akan membahayakan dan melukai orang lain. Kedua, ada faktor predisposisi yang berarti kurangnya pengetahuan sikap keluarga mengenai cara menanggulangi dan merawat para pasien. Selain itu, keluarga juga masih menganggap masalah gangguan jiwa sebagai hal ghaib yang tidak bisa disembuhkan. Faktor terakhir adalah ketidakmampuan keluarga untuk membayar biaya perawatan para pasien.
ADVERTISEMENT
Selain faktor internal tersebut, ada juga faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya tindakan pemasungan. Faktor tersebut adalah adanya stigma yang melekat dalam masyarakat. Masyarakat sering memandang sebelah mata pasien gangguan jiwa. Stigma ini erat kaitannya dengan kondisi sosial, apalagi pada masyarakat pedesaan yang cenderung tradisional dan berpegang teguh pada adat istiadat mereka. Oleh karena itu, masalah gangguan jiwa dianggap sebagai hal yang tabu

Status Quo Hukum di Indonesia Berkaitan dengan Pemasungan

Sampai sekarang, belum ada Undang-Undang yang secara spesifik membahas mengenai tindakan pemasungan. Namun, pelaku bisa dijerat dengan Pasal 333 KUHP tentang Perampasan Kemerdekaan. Selain itu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 19 Tahun 2011 yang membahas hak mengenai penyandang disabilitas juga dapat dipakai untuk menjerat pelaku pemasungan.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Sejatinya, pemasungan terhadap ODGJ menjadi urgensi yang perlu segera dicari solusinya. Sebagai pemangku kewajiban HAM, pemerintah sebenarnya telah menaruh perhatian dalam pembasmian tindakan pasung lewat inisiasi Gerakan Indonesia Bebas Pasung pada 10 Oktober 2010. Namun, gerakan ini belum juga membasmi tindakan pasung secara menyeluruh di Indonesia. Meskipun masyarakat sudah mulai terbuka pemahamannya, masih banyak kasus pemasungan yang dapat dijumpai di tahun ini.
Oleh karena itu, kampanye dan sosialisasi tentang pentingnya HAM, khususnya bagi para penyandang disabilitas perlu digencarkan. Isu kesehatan mental juga perlu dinaikkan kewaspadaannya, salah satu caranya dengan pemberian penyuluhan mengenai penyakit mental dan bagaimana cara yang benar untuk menanggulangi pasien gangguan jiwa. Sosialisasi UU mengenai HAM, khususnya bagi para penyandang disabilitas juga perlu digencarkan ke seluruh masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dari segi hukum, diperlukan peninjauan dan pembahasan kembali mengenai payung hukum perlindungan hak-hak para penyandang disabilitas. Selain itu, diperlukan UU yang secara khusus mengatur mengenai tindakan pemasungan. Jadi, para pelaku akan mempunyai hukum khusus yang menjerat mereka.
Diperlukan penanganan efektif dan komprehensif yang melibatkan semua pihak. Selain itu, semua aspek, mulai dari yuridis, sosiologis, pendidikan, hingga ekonomi juga perlu pembenahan dan pemecahan solusinya masing-masing. Semua pihak harus saling bekerja sama untuk menjadikan Indonesia negara yang sadar dan mau memperjuangkan hak para ODGJ serta menjadi negara yang bebas pasung.